Kontroversi masalah foto Cut Meutia pada uang seribu rupiah keluaran terbaru sepertinya masih menjadi pembahasan dikalangan masyarakat Aceh sejak uang tersebut diluncurkan, banyak netizen Aceh maupun luar Aceh yang berdebat mengenai uang tersebut terkait dengan fotonya, malai dari tidak menggunakan kerudung sampai dengan foto tersebut asli atau bukan.
Seperti dilansir oleh aceh.tribunnews.com terbitan tanggal 28 Desember 2016.
Beberapa pakar dan pemerhati sejarah Aceh ikut andil untuk membahas polemik tersebut yang diadakan di 3 in 1 Cofee, Lampineueng Banda Aceh pada tanggal 27 Desember 2016.
Kegiatan yang bertema “Hijab Untuk Cut Meutia” ini di gagas oleh anggota DPRA, Asrizal H Asnawi dan diikuti oleh Yayasan Advokasi Rakyat Aceh (YARA), dan sekolah Hamzah Fansuri.
Dalam acara tersebut, pihak panitia mencoba menghubungi salah satu anggota keluarga Cut Meutia yang berada di Matang Kuli Aceh Utara yakni Teuku Akmaluddin, beliau merupakan salah satu keturunan dari Cut Meutia yang menetap di kecamatan tersebut.
Seperti dilansir oleh aceh.tribunnews.com terbitan tanggal 28 Desember 2016.
Beberapa pakar dan pemerhati sejarah Aceh ikut andil untuk membahas polemik tersebut yang diadakan di 3 in 1 Cofee, Lampineueng Banda Aceh pada tanggal 27 Desember 2016.
Kegiatan yang bertema “Hijab Untuk Cut Meutia” ini di gagas oleh anggota DPRA, Asrizal H Asnawi dan diikuti oleh Yayasan Advokasi Rakyat Aceh (YARA), dan sekolah Hamzah Fansuri.
Dalam acara tersebut, pihak panitia mencoba menghubungi salah satu anggota keluarga Cut Meutia yang berada di Matang Kuli Aceh Utara yakni Teuku Akmaluddin, beliau merupakan salah satu keturunan dari Cut Meutia yang menetap di kecamatan tersebut.
Dalam sambungan telepon dengan panitia, Teuku Akmaluddin menjelasakan “Gambar Cut Meutia tidak pakai jilbab. Gambar yang di uang Rp 1.000 itu bukan foto asli, tapi itu rekayasa. Gambar itu diambil dari foto wajah kemenakannya, Cut Nursidah,” katanya.
Pada diskusi tersebut turut dihadiri oleh beberapa narasumber utama antara lain adalah Arkeolog dari kampus Unsyiah Dr Husaini Ibrahim MA, cicit terakhir dari Sultan Aceh Darussalam, Tuwanku Warul Walidin bin Tuwanku Muhammad Yusuf, Advokat Mukhlis Mukhtar, SH, Anggota DPRA Asrizal Asnawi dan dua pegiat sejarah aceh yaitu Haikal Afifa dan Muhajir Ibnu Marzuki.
Dosen Program Studi Pendidikan Sejarah dari Kampun Universitas Syiah Kuala, Dr Husaini Ibrahim MA berpendapat bahwa, sejarah tanpa pembuktian tidak bisa dijadikan sandaran. Pembuktian dalam sejarah sangat penting untuk mengetahui kebenarannya. Terkait Cut Meutia, meski tidak pernah ditemukan gambarnya yang mengenakan kain penutup kepala, Husaini meyakini sosok pejuang Aceh itu menutup kepalanya dengan ija sawak (sejenis selendang).
Senada dengan Haikal Afifa dari Institut Peradaban Aceh juga menjelaskan bahwa dalam sejarah tidak ditemukan adanya gambar Cut Meutia yang mengenakan penutup kepala atau tidak mengenakan penutup kepala. Tapi, sambungnya, dalam beberapa literatur atau catatan penulis Belanda disebutkan Cut Meutia adalah sosok yang taat beragama.
Acara yang dimoderatori oleh mantan Wali Kota Sabang Munawar Liza Zaini ini bertujuan untuk meluruskan sejarah Aceh tentang kehidupan pejuang Aceh pada masa penjajahan Belanda.
Bukan hanya foto Cut Meutia yang menjadi perdebatan, tapi juga pahlawan Frans Kaisiepo yang ada di uang lembaran 10.000. Frans Kaisiepo (lahir di Wardo, Biak, Papua, 10 Oktober 1921 – meninggal di Jayapura, Papua, 10 April 1979 pada umur 57 tahun) adalah pahlawan nasional Indonesia dari Papua.
Frans terlibat dalam Konferensi Malino tahun 1946 yang membicarakan mengenai pembentukan Republik Indonesia Serikat sebagai wakil dari Papua. Ia mengusulkan nama Irian, kata dalam bahasa Biak yang berarti tempat yang panas. Selain itu, ia juga pernah menjabat sebagai Gubernur Papua antara tahun 1964-1973. (wikipwdia.com)
Pada diskusi tersebut turut dihadiri oleh beberapa narasumber utama antara lain adalah Arkeolog dari kampus Unsyiah Dr Husaini Ibrahim MA, cicit terakhir dari Sultan Aceh Darussalam, Tuwanku Warul Walidin bin Tuwanku Muhammad Yusuf, Advokat Mukhlis Mukhtar, SH, Anggota DPRA Asrizal Asnawi dan dua pegiat sejarah aceh yaitu Haikal Afifa dan Muhajir Ibnu Marzuki.
Dosen Program Studi Pendidikan Sejarah dari Kampun Universitas Syiah Kuala, Dr Husaini Ibrahim MA berpendapat bahwa, sejarah tanpa pembuktian tidak bisa dijadikan sandaran. Pembuktian dalam sejarah sangat penting untuk mengetahui kebenarannya. Terkait Cut Meutia, meski tidak pernah ditemukan gambarnya yang mengenakan kain penutup kepala, Husaini meyakini sosok pejuang Aceh itu menutup kepalanya dengan ija sawak (sejenis selendang).
Senada dengan Haikal Afifa dari Institut Peradaban Aceh juga menjelaskan bahwa dalam sejarah tidak ditemukan adanya gambar Cut Meutia yang mengenakan penutup kepala atau tidak mengenakan penutup kepala. Tapi, sambungnya, dalam beberapa literatur atau catatan penulis Belanda disebutkan Cut Meutia adalah sosok yang taat beragama.
Acara yang dimoderatori oleh mantan Wali Kota Sabang Munawar Liza Zaini ini bertujuan untuk meluruskan sejarah Aceh tentang kehidupan pejuang Aceh pada masa penjajahan Belanda.
Bukan hanya foto Cut Meutia yang menjadi perdebatan, tapi juga pahlawan Frans Kaisiepo yang ada di uang lembaran 10.000. Frans Kaisiepo (lahir di Wardo, Biak, Papua, 10 Oktober 1921 – meninggal di Jayapura, Papua, 10 April 1979 pada umur 57 tahun) adalah pahlawan nasional Indonesia dari Papua.
Frans terlibat dalam Konferensi Malino tahun 1946 yang membicarakan mengenai pembentukan Republik Indonesia Serikat sebagai wakil dari Papua. Ia mengusulkan nama Irian, kata dalam bahasa Biak yang berarti tempat yang panas. Selain itu, ia juga pernah menjabat sebagai Gubernur Papua antara tahun 1964-1973. (wikipwdia.com)
0 comments:
Post a Comment