Tragedi Tanggal Delapan Belas dan Selamat Lebaran

“Dam, telepon ibu atau ayah.”
“Nggak ada pulsa gue, Mas,” ujar Sadam.
Ya, Allah.

Gue berusaha mengeluarkan HP di kantung jaket dengan tangan yang masih gemetaran. Gue menelepon ke nomor Bokap, tapi nggak ada jawaban. Lalu  ke nomor Nyokap, “Nomor yang Anda hubungi, tidak menjawab. Silahkan tunggu beberapa saat lagi.”

Di saat kayak gini, orangtua gue malah susah dihubungi. Gue udah kebingungan banget.


***

Semua berawal dari cerita Kiki—sahabat gue—saat sebelum bulan Ramadan. Waktu itu, Kiki minta tolong ke gue untuk nganterin dia ke rumah pacarnya.
“Lu yang bawa motor nih,” kata Kiki terbatuk-batuk sambil menyerahkan kunci motor.
“Wahaha, cemen banget lu. Baru begadang sekali aja sakit,” ledek gue.
“Yeh, songong lu. Eh, tapi gue jadi takut dah, Yog.”
“Takut kenapa?” tanya gue.
“Takut mati. Mana dosa gue banyak banget.”

Gue tertawa mendengar sahabat gue yang tiba-tiba menjadi cemen. Padahal, biasanya si Kiki selalu santai dan tidak begitu memikirkan dosa.

“Serius nih gue. Selama ini, salat gue bolong-bolong mulu. Udah gitu, gue tadi mimpi buruk. Gue beneran takut, Men. Gue nggak begitu inget mimpi gue apaan. Yang gue inget jelas, tanggal 18 kejadiannya.”
“Yelah, mimpi doang. Santai aja. Efek mau puasa kali lu jadi tobat. Ya udah, jangan ngomong doang. Mulai dijalanin dong,” kata gue sok bijak.
***


18 Juni 2015

“Udah nggak takut mati lagi lu?” tanya gue kepada Kiki.
“Hahahanjir, segala diingetin.”

Namun, tidak terjadi apa-apa di tanggal 18.

***

18 Juli 2015

Nyokap mengajak kami sekeluarga pergi main sekalian silaturahmi ke rumah Bude—kakaknya yang tinggal di Sawangan, Depok.
“Kenapa nggak bilang dari kemarin kalo mau pergi?” tanya gue kepada Nyokap.
Nyokap melihat gue dengan aneh. “Ya udah, kamu mau ikut nggak?”

Gue seperti males-malesan untuk ikut. Rasanya pengin tetap tinggal di rumah.

“Buruan, mumpung masih pagi.” kata Bokap. “Biar nggak macet.”
Kemudian Bokap memanaskan motor. Ngomong-ngomong, motornya bukan dikata-katain. Apalagi dipanggang pake oven dengan suhu 100 derajat Fahrenheit. Bukan. Maksudnya, motornya dibiarkan dalam keadaan hidup, agar mesinnya panas. (bukannya motor itu benda mati?) Ah, pokoknya gitu, deh.

Bokap boncengan sama Nyokap, sedangkan gue sama adik gue, Sadam.
Karena sudah tau jalan menuju rumahnya, gue pun jalan duluan. Di sebuah jalan daerah Lebak Bulus arah ke Ciputat, gue bertanya kepada Sadam, “Lu bisa naik motor nggak?”
“Bisa,” jawab Sadam songong.
“Ya udah, lu yang di depan nih.” Entah kenapa gue mendadak males mengendarai motor.
“Gue bisanya matic,” kata Sadam ngeles.
“HALAH! BILANG AJA NGGAK BISA.”
“Hehehe.”
***

Pagi itu, suasana jalan masih sepi kendaraan. Namun, suara klakson motor dan mobil yang membuat jalanan terasa ramai.
Mentang-mentang masih pagi, pada ngebut dan buru-buru amat. Batin gue.

Gue mengendarai motor hanya dengan kecepatan 40-60 km/h. Gue nggak mau kenceng-kenceng karena udaranya dingin banget. Udah pake jaket gini aja udaranya masih nembus ke badan.

Di sebuah jalan di kawasan Depok, gue menghindari galian Telkom—yang berbentuk kotak gitu. Gue pun mengambil jalan di sebelah kanan. Saat sedang berjalan dengan kecepatan sedang, tiba-tiba terdengar bunyi klakson yang cukup mengagetkan gue.

TIIINNNN. TIINNNNNN. TIINNNNNNN.

Gue refleks membanting setang ke kiri. Tiba-tiba ada jalanan yang tidak rata, motor gue pun oleng. Gue berusaha mengerem, tetapi tidak seimbang dan malah terjatuh.

BRAAAAKKKK.

Pandangan gue mulai gelap beberapa saat. Gue tidak begitu ingat, kejadiannya begitu cepat. Entahlah, klakson yang tadi mengagetkan gue itu berasal dari motor atau mobil. Kami berdua tergeletak di tepi kiri jalan yang agak ke tengah. Gue berusaha bangkit dari motor, tetapi kaki kanan gue tertiban motor. Tangan kanan gue begitu lemas sehingga tidak dapat digerakkan untuk mengangkat motor itu. Gue melihat beberapa motor yang melintas dan cuek saja sama keadaan gue.

Ya, tidak semua orang peduli terhadap sesama. Begitu miris.

Akhirnya, ada satu orang bapak-bapak yang memarkirkan motornya di pinggiran jalan. Ia langsung mengangkat motor yang menimpa gue. Lalu, ada juga bapak-bapak lain—yang kebetulan jalan kaki di sekitar tempat kejadian—ikut membantu gue berdiri dan duduk di pinggiran jalan.

“Gapapa, Dek?” tanya salah satu bapak itu.
Gapapa gimana, Pak? Kaki saya keseleo, tangan kanan saya juga. Terus tangan, kaki, dan muka pada luka dan lecet-lecet begini masih ditanya gapapa. Parah!

Gue hanya bergeming menahan sakit.

“Kalo gapapa, saya duluan ya, Dek.”
“Iya, makasih, Pak,” kata gue.

Bapak yang satunya bertanya-tanya kepada gue, “Emang kamu dari mana? Mau ke mana? Semalam berbuat apa?”

Kemudian, bapak itu menyuruh gue untuk menelepon keluarga atau kerabat gue. Lalu, pergi begitu saja. Gue mulai menelepon orangtua gue. Karena tidak ada jawaban, gue hanya duduk pasrah sambil melihat keadaan adik gue.

“Lu gapapa?” tanya gue.
“Gapapa, kok,” kata adik gue geleng-geleng sambil memegangi lututnya.
Yang mungkin dalam hatinya menjawab, “Gapapa palelu! Dengkul gue sakit nih. Bego amat lu jadi kakak! Bikin gue jatoh.”

Gue mulai berjalan ke arah motor sambil terpincang-pincang. Gue mencoba melihat keadaan motor,  ternyata setangnya bengkok. Namun, motor masih bisa dinyalakan. Gue pun nekat mengemudikan motor itu lagi. Tentunya dengan kecepatan yang sangat pelan. Saking pelannya, kalo balapan sama keong, pasti yang menang si keong. Oke, ini berlebihan.

Kampretnya, di tengah jalan gue baru sadar kalau rumah Bude gue sudah pindah.
Mampus. Gue harus ke mana, nih?
Tidak lama setelah itu, Bokap menelepon ke HP Sadam. Gue tidak begitu mendengarkan obrolan mereka. Gue fokus melihat jalanan, takut terjatuh lagi.


Setelah telepon berakhir, gue bertanya ke Sadam, “Di mana rumahnya? Kita mau dijemput nggak?”
“Nggak tau,” jawabnya.

Astagfirullah.

Gue masih tetap nekat mengendarai motor tanpa tahu arah tujuan yang jelas.

***

Gue melihat Nyokap berdiri di depan sebuah gapura di pinggiran jalan. Gue langsung memberhentikan motor. Di saat itu juga, tangan kanan gue nggak bisa digerakkan, rasanya begitu kaku.
Begitu sampai di rumah Bude, gue langsung disambut dengan pertanyaan-pertanyaan.
“Ya, Allah, kok bisa jatuh, Yog? Jatuh di mana? Semalam berbuat apa?”

“SI AYAH, ANAKNYA JATUH BUKANNYA DIJEMPUT!” omel Nyokap kepada Bokap.
“Lah, katanya nggak apa-apa,” jawab Bokap.
“Apaan, pas Sadam bilang, ‘Yah, Mas Yoga jatoh nih.’ Eh, Ayah cuma hah-hah doang,” celetuk Sadam.

Gue kadang nggak ngerti sama Bokap. Meskipun di rumah gue sering bercanda, tapi pas kecelakaan kayak gini ya gue kagak pernah bercanda. Kacau.
Gue cuma takut, suatu hari Bokap dapet telepon dari rumah sakit. Eh, Bokap malah merespons, “Rumah sakit mana? Rumah Sakit Jiwa? Hahaha, gapapa. Rawat aja anak saya, Dok. Dia emang udah gila.”

Parah.

Gue meringis-ringis sambil menjawab pertanyaan-pertanyaan yang ditanyakan Bude dan sepupu gue.
Saking lelahnya menjelaskan kecelakaan itu, gue langsung bilang, “Duh, ada tukang urut yang buka nggak? Tangan kanan Yoga nggak bisa digerakin nih. Sakit banget.”

Salah satu sepupu gue mengecek rumah tukang urut yang mungkin buka praktek.

Sambil menunggu kabar dari sepupu, gue membuka HP, dan melihat tanggal "18 Juli 2015". Tiba-tiba gue teringat sama ketakutan Kiki waktu itu.

Ya Allah, jangan-jangan mimpi buruk si Kiki itu firasat dia buat gue. Terus tadi pagi feeling gue nggak enak ternyata kejadian begini.

Gue mengirim teks di Line kepada Kiki, “Gue nanti nggak jadi ikut ke Puncak.”
Yang langsung dibalas sama dia, “Lah, kenapa?”
Gue mulai menjelaskan dan menceritakan tragedi yang terjadi sekitar pukul 6  di Depok, gue juga mengingatkan dia tentang angka 18 itu.

Kini, giliran dia yang menakut-nakuti gue. Gue bener-bener takut, gue nggak siap sama apa yang bakalan terjadi nanti. Gue langsung mengabari beberapa teman dekat untuk meminta maaf kepada mereka. Gue juga meminta maaf di grup WA yang terlalu sering bercanda kelewatan. Yak, setidaknya gue masih sempet minta maaf jika nanti ada hal-hal yang tidak diinginkan. Gue bener-bener minta maaf secara tulus.

Setelah selesai menceritakan kejadian tadi ke Kiki dan minta maaf ke temen-temen, tak lama setelah itu sepupu gue memberi kabar baik dan langsung mengantarkan gue ke tukang urut.

***

Tukang urut mulai membaluri tubuh gue dengan minyak. Awalnya seluruh badan, lalu mulai ke bagian-bagian yang keseleo.

Saat mengurut tangan kanan gue, Bude bertanya ke tukang urut, “Bu, tulangnya nggak ada yang patah kan?”
Gue yang mendengar kalimat itu, mendadak pengin nangis.
“Nggak, kok.”
“Tulangnya ada yang retak?”
Tukang urutnya malah terdiam dan terus mengurut tangan gue.
Mampus gue.
Bu, segera jawab, Bu. Gue takut.
Ya, Allah.
“Nggak, cuma keseleo aja.”
Fyiuuuhhh. Syurkurlah. Alhamdulillah, akhirnya gue bisa bernafas dengan lega.

Singkat cerita, gue sudah selesai urut. Namun, besoknya gue harus urut lagi. Orang-orang mah liburan lebaran pada jalan-jalan, gue malah ke tukang urut. Ada-ada aja kan.

Karena tangan kanan yang keseleo, gue berlatih untuk membuat tangan kiri gue menjadi aktif. Ngetik dan megang hape pake tangan kiri, minum pake tangan kiri, cebok juga pake tangan kiri.

Udah dulu, ya. Sakit nih tangan gue buat ngetik. Jadi untuk sementara waktu, kayaknya mau istirahat nge-blog dulu deh. (sampai sembuh)

Gue taroh gambar luka-lukanya di sini, ah. Itung-itung buat kenangan gue juga.


Kiri: Luka dengkul dan siku sebelah kanan
Kanan: Kedua tangan


dagu gue nggak mulus lagi
karena belum ada bengkel yang buka, masih begini deh


Mungkin luka yang terlihat tidak seberapa sakitnya, tetapi luka yang tidak terlihat itu jauh lebih sakit.

Pesan moral: Jangan ngebut-ngebut di jalanan. Yang udah hati-hati aja bisa kecelakaan, apalagi yang nggak hati-hati. Jaga keselamatan kalian, ya! Jangan bercandain temen yang kecelakaan motor dengan pertanyaan “Tapi motornya gapapa, kan?” Lu belum pernah disuruh minum air aki, ya?

Satu lagi, jangan meremehkan sebuah firasat.

Oiya, minta doanya ya temen-temen. Tolong doain gue biar cepet sembuh, biar bisa ngetik-ngetik lagi. Dan semoga gue nggak trauma untuk naik motor. Aamiin.

Ngomong-ngomong, selamat lebaran, mohon maaf lahir dan batin ya. Maaf banget udah sering bikin tulisan atau curhatan yang nggak jelas, maaf kalo tulisan gue garing dan nggak lucu, dan maaf juga udah komentar ngaco di blog kalian.

Terima kasih.
SHARE

Unknown

  • Image
  • Image
  • Image
  • Image
  • Image
    Blogger Comment

0 comments:

Post a Comment