Ngomongin Kentut dan Kenangan Puasa di Zaman Dahulu

Ketika salat, gue pernah beberapa kali mules. Iya, secara mendadak perut terasa sakit, dan kalo ditahan malah semakin nggak karuan.
Mau nggak mau, gue pun mundur dari barisan salat. Hmm, tentu saja untuk kentut.

Gue lebih milih batalin salat dan segera kentut daripada tetep salat sambil nahan kentut. Karena itu memang nggak baik, Gaes. Salat kita jadi nggak khusyuk.

Sok alim amat gue. Taik dah.

Emang, sih, malu sama orang di sekitar kalo tau-tau mundur dari barisan salat. Namun, itu lebih baik daripada nahan-nahan kentut, eh malah kentut pas lagi rukuk atau sujud.
Nggak lucu aja gitu, misal gue lagi rukuk atau sujud, terus tau-tau bunyi “Preeettt.” Atau “Duuutttt.”
Dan bisa saja orang yang di belakang gue langsung kesal karena dikentutin.


Kalo orang itu mendadak marah gimana?
“WOI, BEGO! LAGI RUKUK TAU-TAU KENTUT. MANA BAU LAGI! BIKIN BATAL SALAT GUE AJA! SIALAN LU!”

Kemudian orang-orang yang ada di sekitar gue jadi risih. Ibadah salat berjamaah pun jadi nggak khusyuk. Apalagi kalo imamnya udah nggak fokus. Kacau sudah.

Kira-kira, ada kejadian begitu nggak, ya? Kalo beneran ada, astagfirullah.

Duh, ini ngapa malah bahas kentut?

Gapapalah, kentut itu manusiawi. Lanjut!
Setelah kentut, tentunya gue memilih pulang ke rumah. Iya, gue malu untuk salat di masjid lagi. Gue akan libur sehari dulu untuk datang ke masjid. Yoi, supaya orang-orang lupa kalo gue pernah kentut. Hehehe.
***

Ngomong-ngomong soal kentut, tadi pas salat Tarawih, gue mendadak mules. Bagusnya, gue mules saat Tarawih putaran ketiga—6 rakaat.
Tinggal 2 rakaat lagi, gue pun bisa pulang dengan damai. Batin gue.

FYI, di rumah gue Tarawihnya 20 rakaat, dan ditambah Witir 3 rakaat. Jadi, gue bisa pulang dengan santainya. Yang mungkin orang-orang berpikir atau berkata dalam hatinya. Oh, mungkin dia lagi capek. Makanya baru 8 rakaat udah pulang.

Mereka nggak tau aja kalau sebenernya gue pengin boker. Huwahahaha.

Sampai di rumah, gue langsung ke WC. Oiya, gue biasa boker sambil bawa HP. Saat sedang asyik scroll-scroll timeline Twitter, gue melihat sebuah twit tentang indahnya Ramadan zaman dulu. Gue refleks senyum-senyum sendiri sambil mengenang sesuatu.

***

“Pak, udah rakaat berapa, ya?” tanya gue kepada seorang bapak-bapak berkumis di sebelah gue.
“Baru juga 6, Dek. Masih 4 lagi.”

Itu adalah salah satu pertanyaan gue di sela-sela salat Tarawih pada 6 tahun yang lalu.

Enam tahun yang lalu, gue memang suka banget menghitung jumlah rakaat salat Tarawih. Di pikiran gue saat itu, gue ingin ibadah salat Tarawih yang imamnya cepet. Tentu saja kalau cepat selesai gue bisa bermain sama temen-temen gue.

Biasanya, sepulang Tarawih gue tidak langsung pulang. Gue malah main lari-larian, perang sarung, dan main petasan.

Gue masih ingat betul, kalau gue nggak bisa bikin selepetan dari sarung. Di mana temen-temen gue pada nyelepetin gue pake ujung sarungnya yang lancip sampai gue kesakitan. Sedangkan gue, gue nggak jago bikin selepetan. Gue hanya bisa membalas pake ujung yang satunya lagi—yang dibuntel gitu.

Gara-gara itu, gue nggak boleh ikutan perang sarung. Katanya gue bermain curang.

Sedih.

Gue juga masih ingat betul, saat perang petasan sama temen sendiri dan akhirnya malah musuhan.
Waktu itu, sepulang salat Tarawih, gue dan teman-teman langsung pergi ke suatu tempat yang lapang. Walaupun tempat itu bukan lapangan, tapi gue sebut saja lapangan. Yoi, kami akan bermain petasan di lapangan. Awalnya, kami hanya iseng-iseng main lempar-lemparan petasan korek. Sampai-sampai keisengan gue yang menaruh petasan korek di kantung celana si Bagus—salah satu temen gue.

Tiga.
Dua.
Satu.
DUAAAAARRRRRR.

“ANJEEEEENGGG!” teriak Bagus.
Gue tertawa ngakak melihat hal itu.
“Oh, lu yang naro, Yog? Sakit bego, nih,” ujar Bagus.

Setelah gue perhatikan, ternyata celana Bagus bolong. Ia juga begitu kesakitan sambil memegang pahanya. Karena tidak terima, Bagus gantian melempari gue petasan jangwe.

Taik.

Parah banget ini, masa petasan korek dibalas sama petasan jangwe?

Nggak adil, weyyy!

Akhirnya, gue dikeroyok sama temen-temen gue pake petasan korek dan jangwe. Mereka melempari gue petasan-petasan kampret itu. Alhamdulillah, gue bisa menghindari petasan itu dengan baik. Tidak ada petasan yang mengenai gue.

Kesal karena dikeroyok, gue menyalakan petasan tembak yang kecil.

Btw, kalian tau petasan tembak, kan?

Kalau nggak tau, petasan tembak itu yang habis dinyalakan langsung diarahkan atau ditembakkan ke langit.
Kalo nggak tau juga, ini fotonya.


sebelum dinyalakan


setelah meledak di langit.
sumber : Klik Aja
Bukan petasan tembak yang besar seperti ini, kok. Yang kecil pokoknya dah, nggak begitu bahaya. Kalo nggak salah, itu yang 10 kali tembakan.

Setelah petasan nyala, gue mengarahkan petasan tembak itu ke temen-temen gue. Awalnya, maksud gue hanya ingin menakut-nakuti mereka. Namun dari 10 tembakan itu, ada salah satu yang nggak sengaja mengenai dada si Bayu—temen gue yang lain. Yang gue kaget, bajunya sampe bolong, dadanya pun jadi terluka bakar. Tak lama setelah itu, Bayu pun menangis. Melihat Bayu menangis, teman-teman yang lain langsung berseru, “Jangan temenin Yoga lagi, yuk. Dia mainnya parah. Temen sendiri dicelakain.”

Mereka pun mengantar Bayu pulang ke rumahnya, dan segera meninggalkan lapangan itu. Mereka juga meninggalkan gue.

Gue hanya terdiam dan merasa bersalah.

Ya, gue musuhan sama temen-temen gue karena kebodohan itu. Gue juga diomelin habis-habisan sama orangtuanya Bayu. Entah kenapa, gue bisa khilaf. Saat itu, gue benar-benar kesetanan. Gara-gara itu juga gue dianggap sebagai teman yang jahat. Padahal niat gue hanya bercandaan. Emang, sih, gue sadar kalau tindakan itu sungguh keterlaluan.

Tapi, apakah mereka itu juga tidak berpikir? Kalau petasan jangwe yang mereka lemparkan ke gue itu bisa saja mengenai tubuh, atau bahkan muka gue?

Namanya main dan bercandaan, ya wajar dong kalo dibales. Giliran ada korban, malah musuh-musuhan.

Huft.

Bersyukur sekali nggak ada cewek yang ikut pada hari itu. Gue hanya nggak bisa bayangin, kalau petasan tembak itu mengenai teman gue yang cewek. Kaos yang ia pakai bolong, teteknya kelihatan. Kan parah.

Belum lagi kalau luka bakarnya nggak hilang-hilang. Nanti ketika dia udah jadi seorang ibu, bisa-bisa anaknya nggak mau nenen.

Astagfirullah, gue ngetik apa barusan. :(

Dari tadi kayaknya gue cuma ngomongin perang sarung dan petasan. Sebenarnya, gue paling kangen banget sama Ramadan di zaman dulu itu karena puasanya. Puasa di zaman gue SD-SMP terasa lebih indah. Gue masih ingat, pertama kali gue berhasil puasa setengah hari di saat kelas 2 SD. Hmm, saat kelas 1, gue lebih banyak nggak puasanya. Lalu, saat kelas 3 SD, gue sudah mulai latihan puasa full sampai Magrib. Nyokap memberikan motivasi berupa uang jajan yang lebih dari cukup. Pada saat gue kelas 3 SD, uang jajan gue hanyalah 1.000-2.000 perak. Kalau gue kuat sampai Magrib, gue akan diberikan uang Rp 5.000, dan THR sebesar Rp 100.000. Jadi, begitu lebaran, gue bakal dapet THR dari orangtua beserta uang jajan yang gue tabung.

Mantap!

Selain dapet pahala, gue juga dapet duit.

Lalu, gue juga rindu akan perjuangan menahan lapar dan haus. Ketika SD-SMP, puasa itu benar-benar membuat gue tidak berdaya.

Awalnya, dari pagi hingga siang, gue tidak mengeluh saat menjalankan puasa. Lapar dan haus benar-benar tidak terasa karena kegiatan sekolah. Memasuki waktu Ashar, gue hanya bisa tidur-tiduran karena badan gue terasa lemas, gue juga merasa cacing-cacing ini sedang moshingmenendangi perut gue. Gue seperti tidak sarapan dan makan siang. Eh, puasa bukannya emang gitu, Yog? Oiya, sorry-sorry.

Dulu, gue sering mengeluh.
“Bu, Yoga nggak kuat. Lemes banget. Haus. Lapar.”
“Bu, Yoga minum aja, ya? Kalo Yoga mati kehausan gimana, nih?”
Akhirnya, Nyokap bersabda, “Kalo kamu mengeluh gitu mulu, pahala puasanya bakal hilang. Terus uang jajan sama THR nggak jadi ibu kasih, ya.”
“IYA, NGGAK NGELUH LAGI. YOGA KUAT, KOK!” kata gue, penuh semangat.
Berkat motivasi Nyokap, gue pun berhasil menahan rasa haus dan lapar itu.

Namun, begitu azan Magrib, gue malah langsung menyeruput segelas sirup jeruk yang ditambahkan es batu. Gue juga langsung makan lontong, gorengan, bihun, dan kolak secara brutal. Gue seperti gembel-gembel kelaparan yang tidak makan seminggu. Hina sekali gue pada waktu itu. Ujung-ujungnya gue terlalu kekenyangan dan males salat Magrib.

Astagfirullah.

Sumpah, gue kangen banget rasanya ngeluh begitu. Sekarang, kalau lapar dan haus, gue tinggal main game, nonton film secara maraton, atau mungkin malah mengetik tulisan yang panjang kayak gini. Tak terasa, tau-tau sudah azan Magrib.

Waktu begitu cepat berlalu, ya. Beginikah rasanya bertambah dewasa?

Banyak sebenarnya hal-hal yang gue rindukan di zaman dulu. Mengingat tulisan gue sudah sepanjang ini, dan mungkin kalian udah males banget untuk membacanya lebih lanjut. Biarkan gue sudahi tulisan ini sampai di sini.


Terima kasih sudah membaca sampai habis. Gimana pengalaman Ramadan kamu 3-6 tahun yang lalu? Boleh curhatkan pengalamanmu di kolom komentar. Silahkan.
SHARE

Unknown

  • Image
  • Image
  • Image
  • Image
  • Image
    Blogger Comment

0 comments:

Post a Comment