Setelah kalian membaca cerita goblok YANG INI. Kalian pasti nyesel banget. Tapi, ya udahlah. Gue bakalan lanjut bercerita lagi. Jangan pernah kapok bacanya, ya.
Tidur hanya 2 jam membuat mata gue begitu sipit, gue bener-bener ngantuk. Kira-kira setelah salat Subuh, teman-teman gue yang lain menghilang dari kamar, kecuali Debby yang malah tidur lagi.
Gue melihat keadaan di luar, tapi tetep nggak ada mereka. Hanya ada sepupunya Aldi yang sedang duduk sambil ngopi. Gue pun bertanya kepadanya, “Bang, Aldi sama temen-temen yang lain ke mana?”
Kemudian ia menunjuk ke arah Barat, memberi tahu gue kalau yang lain berjalan ke arah sawah. Tanpa pikir panjang, gue langsung menyusul mereka. Gue melihat di pinggiran kali, ada mbak-mbak yang mencuci baju. Pantas saja, air kalinya begitu jernih dan tidak ada sampah, bener-bener suasana pedesaan. Beda banget sama di kota, deh.
Gue melewati jalan setapak untuk menuju ke sawah. Kira-kira 5 menit berjalan, gue pun melihat mereka yang sedang asyik menunggu matahari terbit. Mereka begitu menikmati udara di pagi hari. Gue juga ikutan meletakkan tangan menyilang di dada seperti yang lain. Karena jarang banget melihat pemandangan yang indah, gue langsung mengeluarkan HP dari saku celana sebelah kiri. Gue foto gunung dan sawah yang tepat di depan mata.
Masya Allah |
Karena mereka tidak ada yang membawa HP, maka hanya gue yang selfie.
Ini dia penampakannya, kalian jangan muntah, ya.
Peace, love, and gaul. |
Setelah puas melihat sunrise, kami langsung bergegas kembali ke rumah sepupu Aldi dan sarapan mi instan.
***
Kami memulai perjalanan menuju Curug Nangka di kawasan Gunung Salak. Di perjalanan, kami mampir sebentar ke minimarket untuk membeli camilan dan air mineral. Setelah itu lanjut lagi. Jalanannya banyak banget yang rusak. Setiap 10 meter, pasti ada aja jalanan yang berlubang. Sekitar satu jam perjalanan, kami pun sampai di pintu masuk Curug Nangka. Gue langsung foto pintu masuk yang terdapat tulisan ‘Curug Nangka Kawasan Gunung Salak’, biar kekinian tentunya.
Selamat datang |
Bentar-bentar.
Ini di kawasan Gunung Salak? Astaghfirullah. Kejadian di rumah sepupu Aldi udah bikin gue takut. Ini malah pergi ke curug di kawasan Gunung Salak—yang terkenal angker—pula.
Mitosnya, sering banget ada yang hilang. Duh, gimana ini?
Tapi ya udahlah. Gue nggak begitu peduli. Intinya niat gue hanya ingin refreshing, nggak ada maksud buruk.
Bismillah aja, semoga nanti kami berlima bisa mendaki dengan selamat. Dan tentunya bisa pulang selamat.
Oiya, harga tiketnya kalo nggak salah Rp. 7.500 per orang, tetapi itu belum termasuk parkir. Kata petugasnya, untuk parkir per motor Rp. 5.000. Setelah masuk, dan melewati gerbang kedua, kami diberhentikan oleh petugas dari Menteri Kehutanan. Kampretnya, mereka minta jatah. Karena kami 5 orang, ia meminta uang Rp.50.000.
ANJIR. INI PETUGAS MENTERI KEHUTANAN APA PREMAN? KAMI BERLIMA DIPALAK COY!
Sudah jauh-jauh datang ke curug ini, mau nggak mau kami membayar uang palakan itu. Ya, daripada balik lagi, jauh.
Karena Aldi yang bertanggung jawab atas perjalanan ke curug ini, ia yang nalangin uang itu terlebih dahulu. Kemudian kami parkir, dan segera menjelajahi area Curug Nangka.
Ada curug yang letaknya masih di bawah, ada yang di atas. Karena kami berlima ini suka banget ngebolang, maka kami langsung menuju ke curug yang letaknya di atas. Bener-bener mendaki banget. Baru berjalan 15 menit, Aldi langsung mengeluh, “Gila, engap banget gue.” Eko juga ikut-ikutan ngeluh.
Anehnya, udah ngeluh engap, mereka berdua ini malah nyalain rokok. Kan ketauan begonya. Alhamdulillah gue nggak ngerokok, jadi kondisi fisik gue oke-oke aja untuk mendaki. Ya, meskipun kurus Yoga tetap kuat. Yoih.
Curug Nangka |
Aldi |
Debbi cowok bukan cewek |
Entah, kami sudah berjalan berapa lama, tak terasa sebentar lagi sampai. Curug-nya sudah terlihat jelas di depan mata. Namun, kami lebih memilih istirahat dulu di pos gitu. Tentunya, sambil selfie rame-rame.
Inilah kami.
Belakang : Yoga, Debby Depan : Eko, Aldi, Sadam |
Langsung saja kami menuju ke curug. Kami adalah orang pertama yang sampai di curug paling atas di hari itu. Benar-benar sepi. Ingin rasanya gue langsung nyebur dan basah-basahan karena tadi nggak sempat mandi pagi. Namun, kami berlima tidak ada yang membawa baju ganti. Bodoh sekali kami.
Akhirnya, kami hanya foto-foto dan bikin video seru-seruan sambil ngeledekin yang tidak ikut.
Eko, Aldi, Debbi, Sadam, Yoga |
Kira-kira satu jam kami bermain di curug, kami mulai merasa lelah dan ingin segera turun. Ketika kami ingin mengambil tas masing-masing, Eko langsung kaget. “Tas gue ke mana, ya?”
“Lah, tadi lu taro mana?” tanya Aldi.
“Di sini kayaknya,” jawab Eko. Raut mukanya terlihat kebingungan.
“Coba lu inget-inget lagi,” kata gue sambil bantuin mencari tasnya.
“Duh, dompet gue taro di tas lagi.”
***
Sudah berusaha mencari dan mengingat-ingat, tetapi tas Eko nggak ketemu juga. Gue awalnya berpikir kalau ada yang mengambil. Namun, mengingat curug ini di kawasan gunung, pasti jarang orang yang berpikiran negatif untuk mencuri tas itu.
Saking frustrasinya, Eko bertanya kepada pedagang nasi bungkus. FYI, di Curug Nangka ini banyak juga yang jualan. Sempet kaget gue awalnya, tapi yang namanya mencari uang, nggak ada salahnya, kan. Tau gitu, gue bawa makanan dan minuman yang banyak. Terus gue jualin deh di curug. Susah emang anak Manajemen, pikirannya mau dagang mulu, mentalnya emang pengusaha. Huwahaha.
Salah satu dari pedagang tersebut bilang, “Tadi pas saya naik ke sini, kalo nggak salah ada tas di pos.”
Eko langsung berseru, “OIYA, GUE BARU INGET!”
Eko pun turun dengan terburu-buru, kami terpaksa mengikutinya dengan cepat. Eko sampai di pos paling pertama.
“Gimana? Ada, Ko?” tanya Debby.
Eko nyengir.
Alhamdulillah.
“Lu, sih, goblok, main tinggal-tinggal aja. Bagus nggak ilang,” protes Sadam.
Setelah itu, kami pun turun dan pulang.
Ternyata, mendaki itu lebih menyenangkan daripada turun. Pas turun, gue ngeri banget melihat keadaan di bawah. Karena takut, gue pun membiarkan Aldi yang memimpin di depan. Setelah 10 menit berlalu, Aldi juga ngeri. “Lu aja yang di depan, Yog. Gantian!”
“AH, CEMEN LU!” kata gue sok berani.
“Ya udah, kalo gue cemen, lu yang di depan, gih,” balas Aldi.
“Licin, Di. Takut jatoh gue.”
“HALAH! Pengecut juga kan lu!” ledek Aldi.
Tidak ingin dibilang cemen dan pengecut, gue langsung memimpin perjalanan menuruni curug. Bismillah. Langkah demi langkah, gue turun dengan pelan-pelan dan berhati-hati. Tiba-tiba terdengar bunyi dari belakang. BRUUKKKK
Sadam langsung tertawa ngakak. “HUWAHAHAHA.”
Ada seorang cewek yang kebetulan berdiri dekat situ juga bilang, “Yah, jatoh.”
Gue melihat Aldi sedang duduk di tanah. Dengan polosnya gue bertanya, “Lu kenapa duduk, Di? Capek?”
“TAEEEE. JATOH GUE. SIALAN!”
Debby, Eko, dan Sadam masih tertawa-tawa. Aldi pun segera bangkit dan berdiri dari duduknya.
“Malu banget itu dilihatin cewek. Sebagai cowok lu gagal,Coy,” ujar Sadam.
“Berisik lu, Dam!” kata Aldi kesel. “Ah, gara-gara lu nih, Yog! Milih jalan kagak bener, jatoh kan gue!” protes Aldi ke gue.
“Lah, kok nyalahin gue? Jatuh mah jatuh aja. Gue buktinya kagak jatuh.”
***
Kami sudah sampai di parkiran dan segera pulang. Sebelum sampai rumah, di jalanan sekitar Parung, kami mampir ke penjual es kelapa di pinggir kiri jalan. Es kelapa ini ditraktir sama Sadam. Di perjalanan ini, gue jarang banget ngeluarin duit. Temen-temen gue memang pengertian. Jadi pengangguran nggak sedih-sedih banget rupanya. Apalagi kalo punya temen-temen baik dan seru kayak mereka. Huehehe.
Ternyata, hanya dengan uang Rp.20.000, gue bisa bahagia banget. Perjalanan ini begitu menyenangkan buat gue, semoga temen-temen gue juga seneng. Lagian, meskipun ngabisin duit banyak juga nggak masalah, kok. Kata orang-orang, pengalaman itu lebih berharga daripada uang, kan? Mumpung masih muda, nikmatin aja hidup ini sebelum tua. Takutnya nanti nyesel belum pernah berpetualang ke mana-mana, rugi banget masa mudanya. Hihihi.
Maaf, kalo gue nggak pandai bercerita. Gue masih belajar menulis cerita soalnya. Hehehe
Terima kasih sudah membaca. Sampai jumpa di cerita perjalanan-perjalanan berikutnya.
0 comments:
Post a Comment