Kehilangan sesuatu yang berharga rasanya seperti apa, sih?
Sedih yang pasti.
Pengin nangis.
Galau.
Hmm... gitu, ya?
Iya.
Taik banget si Yoga. Nanya sendiri jawab sendiri.
Ini cerita bukan tentang kehilangan pacar, kehilangan harga diri, ataupun kehilangan keperjakaan.
sumber gambar : hujanpelangi(dot)com |
Ngaco abis.
Mau tau tentang kehilangan sesuatu?
Beginilah ceritanya. Bacalah baik-baik.
Hari ini, tepatnya Minggu pagi, sekitar pukul 7 gue masih ngulet di kasur. Biasanya udah ikutan CFD di Bunderan HI. Tapi ya, sejak bulan Januari kemarin. Setiap hari Minggu dijadwalkan kuliah. Gue yang tadinya kuliah hanya hari Sabtu, kini hari Minggu pun mau nggak mau harus masuk. Daripada udah bayaran mahal-mahal terus nggak masuk kuliah, kan rugi. Padahal, gue belum bayaran. Kacau gue.
Entah, tingkat kemalesan gue pagi tadi benar-benar di level tertinggi. Ngapain kuliah di hari Minggu? Enakan tidur. Begitulah rasa malesnya. Alhamdulillah gue terlepas dari jeratan kasur itu. Begitu bangkit, gue melilitkan handuk di leher. Masuk kamar mandinya nanti dulu. Ini semua karena nonton Spongebob Squarepants. KAMPRET LU, SPONG! Membatalkan niat mandi gue saja.
Singkat cerita gue udah mandi dan berpakaian rapi. Rambut gue sisir klimis belah pinggir ke arah Barat Daya. Atasan kemeja kotak-kotak, dengan bawahan celana warna hitam, dan high heels. Yakali.
Setelah sarapan, gue pamit ke Nyokap.
Tepat pukul 8 gue berangkat dari rumah. Perkuliahan juga masuk jam 8. Kira-kira perjalanan dari rumah ke kampus memakan waktu satu jam. Bisa dipastikan gue adalah mahasiswa teladan yang terlambat hanya 60 menit. Terlambat mah 5-10 menit, Yog! Ini satu jam. GILA! UDAH NGGAK NIAT KULIAH?
Bodo. Namanya juga lagi males banget.
Namun, terlambat yang gue perkirakan hanya satu jam itu salah perkiraan.
Bentar-bentar, satu jam disebut hanya? Emang mahasiswa kurang ajar si Yoga.
Oke, lanjut.
Iya, jadi gue telatnya lebih dari satu jam. Ini semua karena dompet gue jatuh di jalan. TAAAAIIIIIKKKKKKK KOTOOOOKKKKKKK.
Astaghfirullah. Ngomong jorok deh gue.
***
Selesai isi bensin, gue langsung mengendarai motor dengan cepat. Lagi buru-buru malah lampu merah. Parah. Nah, di sini gue sadar kalau dompet gue nggak ada di kantong belakang. Ekspresi wajah gue seperti melihat kuntilanak pake hot pants. Lucu. Iya, soalnya gue kalo lagi panik emang menggemaskan. Halah.
Gue langsung mengambil arah putar balik. Soal telat kuliah? Bodo amat. Nanti aja bisa ngasih alesan. Ini lebih darurat. Gue telusuri jalan yang telah gue lalui tadi. Gue perhatikan baik-baik setiap jalan. FYI, dompet gue warna hitam. Pokoknya gue fokus sama warna hitam. Lumayan lama juga gue mencari, ya sekitar 5 menitlah. Kok, nggak ketemu-ketemu. Ya Tuhan... Pengin nangis rasanya.
Bukan apa-apa, ini bukan soal duit di dalam dompet itu. Duitnya mah nggak seberapa, kira-kira cuma beberapa ratus ribu. ANJIRRRRR... BERAPA RATUS RIBU ITU BANYAK, BEGO! Aduh. Gapapalah soal duit. Yang terpenting itu KTP, KTM, SIM, STNK, NPWP, kartu ATM BRI 2 biji. Pokoknya kartu-kartu dan identitasnya itu yang paling penting. Ini kok malah riya, ya? Isi dompet disebutin semua. Nggak ada maksud tapi deh. Sumpah.
“Kalem aja, Yog. Santai-santai, jangan panik. Berdoa semoga nanti ketemu,” batin gue.
Gue melihat dari kejauhan ada warna hitam. Gue langsung semangat untuk samperin. Begitu dilihat,
SOBEKAN KANTONG PLASTIK HITAM.
ARGGGHHHHHHHH!!!
Gue udah nggak tau lagi harus gimana. Gue hanya bisa berdoa,
“Ya Allah, maafin Yoga kalo banyak dosa. Tolong Ya Allah, semoga dompet hamba-Mu ini ketemu. Aamiin.”
“Oiya, coba ke pom bensin. Mungkin aja di sana,” pikir gue. Gue pun bergegas menuju pom bensin yang tidak begitu jauh dari rumah gue.
Gue keliling-keliling area pom bensin sebanyak 7 kali. Dikira tawaf kali.
Nggak ketemu juga. Oalah.
Daripada muter nggak jelas. Mending tanya ke pegawai SPBU-nya aja.
“Pak, liat dompet warna item nggak?” tanya gue.
“Wah, mana saya tau, Dek,” jawab Bapak itu.
“Kalo nomor henpon tapi ada, kan?”
“...”
OKE-OKE, SERIUS. Masih aja lu, Yog. Kena musibah bukannya sedih malah bercanda mulu. I-iya, maaf. :(
Daripada semakin pusing, lebih baik gue pulang.
***
“Kenapa pulang lagi, Yog?” tanya Nyokap.
“...” Gue belum pengin ngomong. Gue haus. Gue mau minum dulu.
Segelas air putih pun habis. Nambah lagi segelas.
“YOG! DITANYAAAAINNNN JUGA!” bentak Nyokap.
“UHUK.” Gue keselek. Sial.
“Dompet Yoga jatuh, Bu,” kata gue lemas.
“KOK, BISA? JATUH DI MANA? NGGAK KETINGGALAN, KAN?” tanya Nyokap yang mendadak raut wajahnya menjadi tegang.
Gue langsung mencari-cari dompet di kamar gue. Eh, bego. Kan tadi pas isi bensin ada. Kenapa gue malah cari di rumah? Nggak mungkin ketinggalan. Aduh, kacau-kacau. Begitulah kebodohan gue pagi tadi.
“Nggak, Bu. Tadi pas isi bensin masih ada.”
“KENAPA, SIH? KENAPA?” tanya Bokap dengan suara berat, rambutnya yang masih acak-acakan, dan mata kriyep-kriyep. Karena ada suara ribut-ribut. Bokap terbangun dari tidur nyenyaknya.
“Si Yoga, dompetnya jatuh,” kata Nyokap menjelaskan.
“Emang ditaro di mana?” tanya Bokap. Mata yang tadinya sayu kemudian melotot.
“Kantong belakang,” jawab gue.
“DIBILANGIN JANGAN TARO DI KANTONG BELAKANG! RAWAN COPET.”
“Yah, ini jatuh. Bukan dicopet,” jawab gue pelan.
“SAMA AJA! MAKANYA, TARO KANTONG YANG DEPAN, ATAU TARO TAS!” Bokap ikut-ikutan ngomel.
Gue pengin nangis. Udah sedih kehilangan dompet, malah diomel-omelin. Ya tau, yang salah gue. Tapi kan, namanya lagi apes.
“Yaudah, bantuin cari, yuk!” Gue mengajak Bokap untuk mencari dompet itu di jalan yang tadi.
“Cari di mana? Udah jatuh pasti ilang. Apalagi kalo diambil orang.”
Rasa optimis akan dompet itu ketemu pun sirna. Kata-kata Bokap malah menjatuhkan gue.
Gue putuskan untuk mencarinya sekali lagi. Nggak begitu peduli soal terlambat kuliah. Yang penting dompet kudu ketemu dulu. Namanya juga usaha. Tak lupa juga berdoa. Bokap nggak taunya ngikutin dari belakang.
Sampai di jalanan dekat lampu merah yang tadi hilangnya dompet. Gue langsung pasrah.
“Udah, berangkat kuliah sana. Kalau yang nemu orang baik pasti dikembaliin. Rezeki nggak kemana,” kata Bokap menyemangati.
“Aamiin.” Gue berdoa dalam hati.
Setelah itu, Bokap gue pulang. Sedangkan gue berangkat menuju ke kampus. Meskipun hari Minggu, tetap saja jalanan tidak bersahabat. Yap, macet. Di tengah kemacetan, gue informasiin ke temen-temen sekelas kalau dompet gue hilang, dan bertanya apa sudah hadir dosennya.
***
“Dompet lu ilang, Yog? Serius?” Salah seorang teman BBM gue. Gue jawab sejujurnya. Tidak lama setelah itu, teman yang lain BBM juga, “Tes kontak.”
TAIK.
Gue melihat jam tangan gue. Jarum pendek menunjukkan angka 9, dan jarum panjangnya menunjukan angka 8. “Fiuh.” Gue mengela nafas. Gue menaiki tangga menuju ke kelas.
Sesampainya di kelas, gue langsung duduk di bangku deretan belakang. Gue nggak menghiraukan dosen yang sedang menulis di papan tulis. Teman-teman melihat gue dengan tatapan iba. Kasihan sekali gue.
“Ketemu, Yog?” tanya Rizky.
Gue menggelengkan kepala. Dia ikut geleng-geleng.
“Emang jatuhnya di mana, sih?” tanya Kosim.
Pertanyaan ini kampret banget sumpah. Kalo gue tau letak percisnya, gue langsung ke tempat itu. Yailah, gue mana tau jatuh di mana. Namanya juga jatuh. Duh. Kesel sendiri.
“LAGIAN SELEBOR. JADI ORANG NGGAK HATI-HATI,” omel Kosim.
Gue menunduk lesu.
Teman-teman yang lain pun bertanya-tanya. Gue jawab jujur seadanya.
Tapi, masih ada satu teman gue yang ngajak bercanda.
“Yaudah ikhlasin, daripada aipon lu yang ilang, ye kan?” kata Arif.
Ya Tuhan malah diledek. Sama-sama berharga tau.
Pikiran gue melayang ke mana-mana. Gue nggak menyimak dengan baik perkuliahan jam pertama.
Jam kedua pun begitu.
“Udah, Yog. Pasti diganti sama rezeki yang lebih banyak,” kata beberapa teman menyemangati.
Gue hanya bisa mengamini.
Gue mencoba untuk ikhlas. Gue pasrahkan semuanya kepada Tuhan.
Namun, hati belum benar-benar ikhlas. Gue berharap semua ini hanya mimpi. Gue hanya males ngurusin surat-surat dan identitasnya itu. Asli, itu ribet. KTP ke RT, RW, dan kelurahan dulu. Blokir kartu ATM, ngurus SIM dan STNK ke SAMSAT. Halah, galau berat.
Tapi, dengan bodohnya gue tampar pipi sendiri. Gue coba aja, siapa tau mimpi. Apakah gue terbangun dari tidur nyenyak?
*PLAAAAKKKK*
SAKIT. Ini realita. AHHHHHH TIDAAAKKKKK.
Setidaknya, gue masih bisa menjalani hidup. Dan mungkin setelah kejadian ini, gue mencoba memperbaiki kesalahan dan keteledoran gue. Namanya musibah. Nggak ada yang tau, kan. Rezeki nggak kemana. Gue tersenyum.
Tulisan ini ditulis dengan tangan yang gemetaran dan perasaan gundah gulana.
Doain gue ya temen-temen blogger, semoga ada yang balikin dompetnya. :’)
Sekian curhatan hari ini. Terima kasih.
0 comments:
Post a Comment