SEO Blog ~ Google terbelit masalah pajak di Indonesia. Beberapa waktu lalu diberitakan, Google Indonesia menghadapi kemungkinan penyelidikan karena terindikasi melakukan pelanggaran pajak.
“Kami akan meningkatkan tahapan ke investigasi karena mereka menolak diperiksa. Ini merupakan indikasi adanya tindak pidana,” ujar Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Jakarta Khusus, Muhammad Hanif, sebagaimana dilansir Reuters, Kamis (15/9/2016).
Google Indonesia dianggap mengemplang pajak karena belum menjadi badan usaha tetap (BUT). Dengan kata lain, Google Indonesia belum menjadi wajib pajak.
Selama ini Gogle hanya membuat kantor perwakilan di Indonesia, bukan kantor tetap. Oleh karena itu, transaksi bisnis Google yang terjadi di Tanah Air tak berpengaruh pada peningkatan pendapatan negara.
Padahal, transaksi bisnis periklanan di dunia digital (yang merupakan ladang usaha Google) pada tahun 2015 saja mencapai 850 juta dollar AS atau sekitar 11,6 triliun.
Google kemudian merespons surat tersebut pada Agustus lalu dengan menyatakan bahwa Google tidak harus punya Bentuk Usaha Tetap (BUT) di Indonesia sehingga tidak bisa diperiksa ataupun dikenai pajak.
“Padahal dari sisi ketentuan perpajakan dan juga Kominfo pun sudah menegaskan bahwa penyedia jasa-jasa seperti itu memang harus punya bentuk usaha tetap di Indonesia," kata Hestu Yoga kepada wartawan BBC Indonesia, Mehulika Sitepu.
Hestu menjelaskan bahwa perusahaan teknologi raksasa yang berbasis di California, Amerika Serikat, itu menunjuk sebuah kantor perwakilan di Jakarta, Google Indonesia.
Kantor perwakilan tersebut lalu mendapat fee atau bayaran sebesar 4% dari nilai total pemasukan iklan di Indonesia. Oleh Google Indonesia, menurut Hestu Yoga, bayaran sebesar 4% itu dijadikan basis perpajakan.
Padahal, lanjut Hestu, seharusnya semua penghasilan dari pemasang iklan di Indonesia yang menjadi basis pajak Google Indonesia.
“Tapi mereka mengatakan bahwa penghasilannya hanya sebesar fee-nya tadi, sebesar yang diterima PT Google Indonesia itu," kata Hestu Yoga.
Kementerian Komunikasi dan Informatika mengestimasi nilai iklan digital di Indonesia mencapai US$850 juta atau sekitar Rp11,6 triliun. Pendapatan utama Google berasal dari iklan digital.
Kepada BBC, juru bicara Google Indonesia, Jason Tedjasukmana, menyatakan Google Indonesia telah dimasukkan sebagai perusahaan lokal sejak 2011.
“Kami terus bekerja sama dengan pihak berwajib dan membayar semua pajak yang berlaku," jawab Jason Tedjasukmana.
Ditjen Pajak juga telah memeriksa tiga perusahaan internet raksasa lain, Yahoo, Twitter dan Facebook, sebagaimana dilaporkan kantor berita AFP.
Ketiga perusahaan asal AS tersebut dikatakan telah memenuhi ketentuan perpajakan Indonesia.
Ketua Umum Masyarakat Telematika (Mastel) Indonesia Kristiono yang dihubungi Kompas, Selasa (20/9) di Jakarta, mendukung langkah Direktorat Jenderal Pajak yang mewajibkan Google mendirikan bentuk usaha tetap (BUT) di Indonesia.
Menurut Kristiono, layanan yang ditawarkan Google sudah seharusnya memenuhi ketentuan regulasi yang berlaku di Indonesia. Google memperoleh manfaat ekonomi di Indonesia.
Google tercatat sudah menjadi anggota Mastel Indonesia. Kristiono menyambut positif sikap tegas Direktorat Jenderal Pajak yang ingin meningkatkan kasus tersebut ke penyidikan tindak pidana jika Google terus menolak pemeriksaan.
”Ini merupakan momentum yang bagus bagi pemerintah untuk menata ulang kedaulatan siber Indonesia. Proses pengembangan sistem pencatatan pembayaran nasional (national payment gateway) perlu dilanjutkan. Pengembangannya harus dilengkapi pusat data nasional sehingga semua arus lalu lintas data internet ataupun transaksi elektronik dapat terekam,” ujar Kristiono.
Menurut Reuters, sebagaimana dirangkum KompasTekno, Selasa (20/9/2016), raksasa internet itu ditaksir menghadapi tagihan pajak sebesar 418 juta dollar AS atau sekitar Rp 5,5 triliun untuk periode tahun 2015 saja.
Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Jakarta Khusus, Muhammad Haniv, mengatakan, pihaknya menyambangi kantor Google Indonesia pada Senin (19/9/2016) kemarin.
Ditjen Pajak menduga bahwa tahun lalu Google hanya membayar 0,1 persen dari total pajak pendapatan dan pertambahan nilai yang menjadi kewajibannya.
Saat dimintai komentar, pihak Google Indonesia mengulangi pernyataan yang sama seperti minggu lalu, yakni perusahaan tersebut menyatakan telah bekerja sama dengan otoritas dan membayar semua pajak.
"Argumen Google yang disampaikan adalah mereka melakukan perencanaan pajak," kata Haniv.
"Perencanaan pajak tersebut sah, tetapi jika negara yang menghasilkan pendapatan tersebut tidak mendapatkan apa pun dari hasil pendapatan tersebut, hal itu tidak sah," katanya.
Sebagian besar pemasukan Google Indonesia dialihkan ke Google Asia Pacific yang berkantor di Singapura. Haniv mengatakan, Google Asia Pacific menolak diaudit bulan Juni sehingga status penyelidikan pajaknya ditingkatkan ke investigasi kriminal.
Apabila terbukti bersalah, Google terancam harus membayar empat kali lebih besar dari jumlah tagihan pajak maksimum hingga bisa mencapai angka Rp 5,5 triliun untuk tahun 2015 saja.
Haniv enggan mengungkap rincian tagihan pajak Google selama periode lima tahun.
Ditjen Pajak berencana mengejar penyelenggara-penyelenggara layanan online lain (over the top/OTT) yang beroperasi di Indonesia, seperti Facebook, yang turut diduga menunggak pajak.
Haniv mengatakan, transaksi bisnis periklanan digital mencapai 830 juta dollar AS per tahun. Sebanyak 70 persen dari angka tersebut dikuasai oleh Facebook dan Google.
"Kasus ini kan sebenarnya dipicu semakin maraknya praktik aggressive tax planning dimana intensi melakukan tax planning dengan cara mencari kelemahan ketentuan pajak baik dalam level domestik dan internasional," ujar Darusalam kepada Kompas.com, Jakarta, Jumat (16/9/2016).
Dalam istilah pajak, tax planning diartikan sebagai usaha-usaha wajib pajak untuk meminimalkan pembayaran pajaknya. Namun ada satu titik dari tax planning yang dianggap tidak bisa ditoleransi yakni aggressive tax planning.
Saat mencapai titik agresif itu, para wajib pajak mencoba mencari kelemahan ketentuan pajak di satu negara.
Di Indonesia, kelemahan ketentuan pajak bisa terlihat dari persoalan Google. Seperti diketahui, pendapatan Google dari Indonesia mencapai triliunan rupiah, terutama dari iklan.
Namun perusahaan asal AS itu belum membayar pajak untuk transaksi yang dilakukan di tanah air. Google hanya menempatkan perwakilannya yakni Google Indonesia yang berkantor di Jakarta dan bukan sebagai Badan Usaha Tetap (BUT).
Sementara di Indonesia, pengenaan pajak bisa dilakukan bila suatu badan usaha merupakan BUT. Persoalan BUT diakui Ditjen Pajak sangat pelik.
Hingga saat ini Google menolak disebut BUT. Padahal menurut Ditjen Pajak, Google Indonesia sudah berbentuk badan hukum dengan status sebagai Penanaman Modal Asing (PMA) sejak 15 September 2011 dan menginduk kepada dari Google Asia Pacific Pte Ltd.
Darussalam mengatakan persoalan Google dan perusahaan penyedia layanan internet lainya sudah mulai dicegah oleh banyak negara.
Bahkan Organisasi untuk Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) dan negara G-20 sudah menyepakati satu hal.
"Mewajibkan wajib pajak untuk mengungkapkan skema tax planningnya. Ini tertuang dalam aksi no 12 Base Erosion Profit Shifting (BEPS)," kata dia.
Ketentuan kewajiban pengungkapa tax planning itu disebut dengan mandatory disclosure rule (MDR). Oleh karena itu, ia mengatakan bahwa Indonesia harus menerapkan MDR untuk mencegah skema aggressive tax planning.
Selain itu kata Darussalam, sejumlah negara mulai melakukan pendekatan moral untuk "memerangi" agressive tax planning.
Pendekatan moral dibangun agar kepatuhan membayar pajak hadir dari inisiatif bukan paksaan atau ancaman. Saat ini, negara yang berhasil menerapkan hal tersebut adalah Inggris.
Menurut Ditjen Pajak, Inggris adalah negara yang mampu membuat Google mau membayar pajak atas bisnisnya di negeri Ratu Elizabeth tersebut.
Pekan ini, sorotan atas pajak Google kembali dikemukakan Direktorat Jenderal Pajak Jakarta. Lembaga tersebut mengatakan Google menolak diperiksa lebih lanjut soal pajak, sehingga ada indikasi pelanggaran di sektor itu.
Google Indonesia sendiri telah membantah tuduhan tersebut. Menurut Head of Corporate Communication Google Indonesia, Jason Tedjakusuma, PT Google Indonesia telah beroperasi sebagai perusahaan Indonesia sejak 2011 lalu. Artinya, perusahaan itu sudah menunaikan kewajibannya sesuai porsi.
Meski demikian, belum jelas alasan mengapa Google Indonesia menolak diperiksa. Ditjen Pajak mengatakan akan menyelidiki lebih dalam soal hal ini.
Selain di Indonesia, masalah pajak Google ternyata juga terjadi di negara-negara lain. Google disebut sengaja memanfaatkan celah hukum agar bisa membayar pajak sekecil-kecilnya padahal telah meraup pendapatan sebesar-besarnya.
Berikut kasus-kasus pajak Google di empat negara lain, sebagaimana dihimpun KompasTekno dari beberapa sumber, Sabtu (17/9/2016).
Menurut pemerintah Italia, Google telah melakukan manipulasi pajak dengan mengalokasikan pendapatan yang diperoleh di Italia ke Irlandia. Oleh karena itu, pajak yang disetor Google ke Italia menciut jadi 2,2 juta euro atau Rp 32 miliar pada 2015 lalu.
Sama seperti di Indonesia, Google Italia juga berdalih telah mematuhi ketetapan pajak di tiap negara operasi mereka.
Kesepakatan itu terjadi antara otoritas pajak dengan Google Inggris. Namun, beberapa politikus dan ahli pajak menganggap nilai itu terlampau kecil. Otoritas pajak Inggris juga dinilai tak transparan dalam diskusinya bersama pihak Google.
Nilai 130 juta poundsterling dibayar Google untuk menebus pajak selama 10 tahun. Padahal, pendapatan Google Inggris dalam rentang waktu itu ditaksir mencapai 7,2 miliar poundsterling atau Rp 123 triliun.
Sama seperti di negara lain, pemerintah Perancis mengatakan Google membawa sebagian besar pendapatannya ke Irlandia. Alhasil, pajak yang dibayar Google ke Perancis hanya secuil dari penghasilan yang diraup di negeri tersebut.
Pemerintah Perancis menuntut Google membayar 1,6 miliar euro atau setara Rp 23,5 triliun.
Pemerintah Spanyol mengaku kecewa atas niat Google di negaranya yang dianggap cuma cari untung. Perwakilan Google Spanyol pun melontarkan pernyataan seragam dengan perwakilan Google di negara lain.
"Kami patuh terhadap regulasi fiskal di Spanyol, sama seperti kami patuh di semua negara tempat kami beroperasi," perwakilan tersebut menuturkan.
Kasus pajak Google di beberapa negara masih berlanjut, sama seperti di Indonesia. Hingga kini, belum dijabarkan berapa nominal pajak penghasilan yang seharusnya disetor Google Indonesia ke negara.
"(Persuahaan) apapun ya harus ada bentuk usaha tetapnya di Indonesia. Itu syaratnya. Harus ada bentuk usaha tetapnya baru atas dasar itu kemudian bisa dibuat hitung-hitungan berapa pajaknya. Kalau itu enggak ada, ya susah," kata Darmin di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Jumat (16/9/2016).
Darmin mengakui saat ini Indonesia belum memiliki aturan perpajakan yang maksimal untuk memajaki perusahaan penyedia layanan internet seperti Google. Oleh karena itu, pemerintah akan terus mendorong Google untuk membentuk BUT.
"Kalau enggak, enggak ketemu," ucap Darmin.
"Mereka telah menolak diperiksa dan menolak ditetapkan sebagai Bentuk Usaha Tetap (BUT), maka kita akan melakukan langkah lebih keras," kata Kepala Kanwil Direktorat Jenderal Pajak Jakarta Khusus Muhammad Haniv di Jakarta, Kamis (15/9/2016).
Menurut Haniv, pendapatan Google dari Indonesia mencapai triliunan rupiah, terutama dari iklan, tetapi belum membayar pajak untuk transaksi yang dilakukan di tanah air.
Alasannya, Google Indonesia hanya beroperasi sebagai kantor perwakilan, bukan sebagai Badan Usaha Tetap (BUT). Dengan demikian, Google tidak pernah dipotong PPN maupun PPh-nya.
Sebagai informasi, kantor Google Indonesia berada di Sentral Senayan II, Jalan Asia Afrika, Jakarta. Kantor perwakilan tersebut mulai ditempati Google sejak tahun 2013.
Menurut catatan Direktorat Jenderal Pajak, Google di Indonesia telah terdaftar sebagai badan hukum dalam negeri di KPP Tanah Abang III dengan status sebagai PMA sejak 15 September 2011 dan merupakan "dependent agent" dari Google Asia Pacific Pte Ltd di Singapura.
Dengan demikian, menurut Pasal (2) ayat (5) huruf (N) UU Pajak Penghasilan, Google seharusnya berstatus sebagai BUT, sehingga setiap pendapatan maupun penerimaan yang bersumber dari Indonesia berhak dikenakan pajak penghasilan.
Juru bicara Google Indonesia menyebutkan bahwa selama ini pihaknya telah membayar pajak dan mengikuti berbagai peraturan yang ditetapkan oleh Pemerintah Indonesia. Perusahaan pun sudah berdiri sebagai badan hukum Indonesia
"PT Google Indonesia telah beroperasi sebagai perusahaan Indonesia sejak tahun 2011. Kami telah dan akan terus bekerja sama dengan Pemerintah Republik Indonesia dan telah dengan taat membayar semua pajak yang berlaku di Indonesia," ujar Head of Corporate Communication Google Indonesia, Jason Tedjakusuma, saat dihubungi KompasTekno, Jumat (16/9/2016).
“Kami akan terus, Ditjen Pajak mengenakan pasal yang ada,” kata Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati di Kantor Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Jakarta, Jumat (16/9/2016).
Meski Google tetap pada pendirian dan menggunakan argumentasinya sendiri, mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia itu menegaskan, negara memiliki wadah untuk mendiskusikan sengketa pajak.
“Dan kalau kami (pemerintah dan Google) sepakat atau tidak sepakat, juga ada peradilan pajak,” ucap Sri Mulyani.
Agar kejadian serupa tidak berulang, Sri Mulyani menegaskan, pihaknya telah meminta tim Ditjen Pajak untuk melakukan kajian terhadap perusahaan-perusahaan penyedia layanan berbasis internet atau over the top (OTT) global.
Sri Mulyani mengakui bahwa persoalan memajaki perusahaan-perusahan ini juga menjadi permasalahan di banyak negara. Oleh karena itu, pihaknya perlu berhati-hati dan melakukan perbandingan dengan negara lain.
“Sehingga, jangan sampai Pemerintah Indonesia membuat rezim yang kemudian dianggap tidak kompetitif, atau sebaliknya menjadi sangat tidak mampu mengoleksi potensi penerimaan negara,” ucap Sri Mulyani.
Bahkan, lanjutnya, kalau perlu Indonesia bersama negara-negara lain membentuk forum internasional sebagai wadah bagi para menteri keuangan untuk membahas soal pajak untuk perusahaan-perusahaan ini.
“Sehingga, menteri-menteri keuangan tidak memiliki interpretasi sendiri-sendiri. Tetapi, untuk sekarang, saya minta DJP untuk memberikan kajian, proposal proses pemungutan pajak untuk aktivitas seperti itu,” ujar Sri Mulyani
Jumlah itu lebih tinggi 16 persen dibanding tahun sebelumnya dan membuat berang negara-negara tempat Google mencari pendapatan -yang seharusnya bisa menarik pajak dari Google.
Di Perancis saja, menurut Huffington Post, Google meraup 1,7 miliar Euro tiap tahun, tapi mengaku hanya memperoleh pendapatan 225 juta Euro dan karena itu cuma membayar pajak sebesar 5 juta Euro.
Di Inggris, hasil penyelidikan selama enam tahun menyimpulkan bahwa Google berlaku curang dengan membayar pajak jauh lebih sedikit daripada yang semestinya.
Jumlah pembayaran pajak (berlaku surut) yang dijanjikan Google ke pemerintah Inggris setelah ketahuan -sebesar 130 juta Poundsterling- dinilai sangat kecil dibanding skala bisnis Google di negara tersebut.
Daily Mail menyebutkan bahwa Google setidaknya memiliki 5 kantor utama di Inggris, negeri yang menjadi pasar kedua terbesar bagi Google di luar Amerika Serikat.
Biaya yang dikeluarkan Google untuk mendirikan kantor-kantor di Inggris serta merekrut 5.000 orang karyawan konon mencapai kisaran 1 miliar Poundsterling.
Toh, perusahaan yang dulu bermoto “Don’t be Evil” (jangan berlaku jahat) tersebut ngotot tak punya kantor permanen di Inggris, dan karenanya tak perlu membayar pajak perusahaan sebesar 20-an persen di negara itu
Profit dari Inggris sebesar 8 miliar Poundsterling per tahun dialihkan oleh Google ke Irlandia, sebagaimana aliran uang dari berbagai belahan dunia lainnya
Pendapatan Google dari luar AS tidak disalurkan ke Tanah Airnya karena bisa dikenai pajak pemasukan perusahaan sebesar 35 persen. Alih-alih melakukan itu, Google mentransfer dana pemasukan global ke Irlandia, yang menjadi markas operasional untuk wilayah Eropa, Timur Tengah, dan Afrika.
Mengapa Irlandia? Karena peraturan pajak di negara ini memiliki celah yang bisa dimanfaatkan untuk menghindari pajak.
Di Irlandia, Google memiliki dua anak perusahaan. Salah satunya mengumpulkan pendapatan dari berbagai wilayah di dunia. Lainnya memegang hak atas paten dan properti intelektual Google.
Anak perusahaan pertama yang mengumpulkan pendapatan akan menyalurkan dana tersebut sebagai “pembayaran royalti” ke anak perusahaan kedua yang memegang paten. Di Irlandia, royalti dipajaki lebih rendah dibandingkan pemasukan jenis lain.
Tapi dana tak langsung ditransfer, melainkan dialihkan terlebih dahulu ke anak perusahaan lain di Belanda, yakni Google Netherlands Holdings B.V., untuk menghindari pajak penghasilan (withholding tax) di Irlandia tadi, sekaligus pajak tinggi yang dikenakan apabila dana langsung dipindahkan ke negara tax haven.
Regulasi Irlandia tak mengenakan pajak untuk pembayaran royalti tertentu ke perusahaan yang berbasis di negara sesama anggota Uni Eropa (Belanda). Dari sana, barulah sebagian besar dana kembali ditransfer ke anak perusahaan kedua di Irlandia sebagai pemegang royalti.
Meski terdaftar di Irlandia, anak perusahaan kedua pemegang properti intelektual ini tak berkantor di negara tersebut, melainkan negara lain yang dikenal sebagai tax haven -misalnya Bermuda dalam kasus Google- yang tak mengenakan pajak pemasukan korporasi sama sekali, alias 0 persen.
Sekali lagi terdapat celah regulasi yang dieksploitasi karena Irlandia tidak mengategorikan perusahaan yang manajemen pusatnya berada di luar negeri sebagai tax resident.
Dana akan sulit dilacak begitu sampai di Bermuda karena anak perusahaan Google di sana memiliki status hukum sebagai “unlimited liability company”. Artinya, menurut hukum Irlandia, perusahaan yang bersangkutan tidak diwajibkan membuka informasi finansialnya.
Dengan memanfaatkan skema “Double Irish with a Dutch Sandwich” di atas, Google menghindari pembayaran pajak pemasukan perusahaan di Irlandia sebesar 12,5 persen yang sudah lebih kecil dibandingkan AS (35 persen) atau Inggris (28 persen).
Tahun 2015, Alphabet, perusahaan induk Google yang dicurigai turut dibentuk lewat restrukturisasi untuk menghindari pajak di AS, mencatat rata-rata rate pajak hanya 6,3 persen di luar Negeri Paman Sam. Angka tersebut cuma seperempat dari rata-rata tax rate yang diberlakukan di negara-negara tempat Google beroperasi.
Meski terdengar curang, praktik ini sepenuhnya legal karena sesuai dengan peraturan-peraturan yang berlaku (dengan memanfaatkan celah-celah tertentu).
“Google menaati peraturan pajak di semua negara tempat kami beroperasi,” ujar seorang juru bicara Google ketika dimintai komentar oleh Forbes.
Kepastian itu didapat setelah Muhammad Haniv, Kepala Kanwil DJP Jakarta Khusus, melakukan pertemuan intensif dengan pihak Google Indonesia selama beberapa pekan terakhir.
Menurutnya, regulasi yang akan dikeluarkan pemerintah menegaskan bahwa operasional Google Indonesia berbentuk BUT berlaku surut sehingga pajak tahun 2015 yang sedang diperiksa dapat dikenakan tarif pajak perusahaan normal.
“Jadi mereka kan menempatkan server di Indonesia, baik oleh dia maupun orang lain, itu Badan Usaha Tetap. Penegasan bentuknya dan ini juga berlaku surut ke belakang," kata Muhammad Haniv kepada wartawan BBC Indonesia, Mehulika Sitepu.
Tarif pajak perusahaan di Indonesia adalah sebesar 25% dari laba kena pajak.
Berdasarkan perkiraan Muhammad Haniv, pendapatan iklan Google dapat mencapai Rp5 triliun. Dengan asumsi margin 35% dari total pendapatan, maka laba kena pajak Google adalah sebesar Rp1,75 triliun. Dengan demikian perkiraan pajak perusahaan Google dapat mencapai Rp437,5 miliar.
Menurut Muhammad Haniv, pendapatan iklan internet di Indonesia sebesar US$830 juta (Rp11 triliun) dan diperkirakan setengahnya berasal dari Google.
Namun Google Indonesia hanya membayar pendapatan iklan sebesar 4% dari pendapatan iklan di Indonesia, yang disebut sebagai fee atau bayaran kepada Google Indonesia sebagai kantor perwakilan Google yang berpusat di California tersebut.
Google Indonesia juga berkilah lewat surat Agustus lalu bahwa mereka tidak harus memiliki Badan Usaha tetap di Indonesia sehingga tidak bisa diperiksa ataupun dikenai pajak.
"Kami terus bekerja sama dengan pihak berwajib dan membayar semua pajak yang berlaku," sebut jubir Google Indonesia Jason Tedjasukmana melalui surat elektronik.
“Saya sudah punya jurus untuk membuat mereka bertekuk lutut. Saya sudah punya datanya. Saya sudah punya caranya dan mereka tidak bisa lari lagi," kata Muhammad Haniv.
Sebelumnya muncul pemberitaan bahwa Ditjen Pajak merazia kantor Google Indonesia terkait pemeriksaan pajak tersebut.
Namun Muhammad Haniv menepis pemberitaan tersebut, mengatakan bahwa kedatangan ke kantor Google Indonesia adalah hal yang normal dalam permeriksaan permulaan (preliminary investigation).
Baca juga: Game di Laman Hasil Pencarian Google
Dari berbagai Sumber
“Kami akan meningkatkan tahapan ke investigasi karena mereka menolak diperiksa. Ini merupakan indikasi adanya tindak pidana,” ujar Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Jakarta Khusus, Muhammad Hanif, sebagaimana dilansir Reuters, Kamis (15/9/2016).
Google Indonesia dianggap mengemplang pajak karena belum menjadi badan usaha tetap (BUT). Dengan kata lain, Google Indonesia belum menjadi wajib pajak.
Selama ini Gogle hanya membuat kantor perwakilan di Indonesia, bukan kantor tetap. Oleh karena itu, transaksi bisnis Google yang terjadi di Tanah Air tak berpengaruh pada peningkatan pendapatan negara.
Padahal, transaksi bisnis periklanan di dunia digital (yang merupakan ladang usaha Google) pada tahun 2015 saja mencapai 850 juta dollar AS atau sekitar 11,6 triliun.
Ditjen Pajak akan selidiki Google Indonesia
Juru bicara Ditjen Pajak, Hestu Yoga Saksama, berkata pihaknya telah mengirimkan sebuah surat pada April lalu meminta dilakukannya pemeriksaan laporan pajak.Google kemudian merespons surat tersebut pada Agustus lalu dengan menyatakan bahwa Google tidak harus punya Bentuk Usaha Tetap (BUT) di Indonesia sehingga tidak bisa diperiksa ataupun dikenai pajak.
“Padahal dari sisi ketentuan perpajakan dan juga Kominfo pun sudah menegaskan bahwa penyedia jasa-jasa seperti itu memang harus punya bentuk usaha tetap di Indonesia," kata Hestu Yoga kepada wartawan BBC Indonesia, Mehulika Sitepu.
Hestu menjelaskan bahwa perusahaan teknologi raksasa yang berbasis di California, Amerika Serikat, itu menunjuk sebuah kantor perwakilan di Jakarta, Google Indonesia.
Kantor perwakilan tersebut lalu mendapat fee atau bayaran sebesar 4% dari nilai total pemasukan iklan di Indonesia. Oleh Google Indonesia, menurut Hestu Yoga, bayaran sebesar 4% itu dijadikan basis perpajakan.
Padahal, lanjut Hestu, seharusnya semua penghasilan dari pemasang iklan di Indonesia yang menjadi basis pajak Google Indonesia.
“Tapi mereka mengatakan bahwa penghasilannya hanya sebesar fee-nya tadi, sebesar yang diterima PT Google Indonesia itu," kata Hestu Yoga.
Kementerian Komunikasi dan Informatika mengestimasi nilai iklan digital di Indonesia mencapai US$850 juta atau sekitar Rp11,6 triliun. Pendapatan utama Google berasal dari iklan digital.
Kepada BBC, juru bicara Google Indonesia, Jason Tedjasukmana, menyatakan Google Indonesia telah dimasukkan sebagai perusahaan lokal sejak 2011.
“Kami terus bekerja sama dengan pihak berwajib dan membayar semua pajak yang berlaku," jawab Jason Tedjasukmana.
Ditjen Pajak juga telah memeriksa tiga perusahaan internet raksasa lain, Yahoo, Twitter dan Facebook, sebagaimana dilaporkan kantor berita AFP.
Ketiga perusahaan asal AS tersebut dikatakan telah memenuhi ketentuan perpajakan Indonesia.
Kasus Pajak Google Jadi Momentum Menata Kedaulatan "Cyber" RI
Pemeriksaan terhadap Google dan perusahaan digital dari luar negeri lainnya menjadi momentum untuk menata ulang kedaulatan cyber Indonesia. Untuk itu diperlukan pusat data agar lalu lintas data dan transaksi pembayaran bisa terekam.Ketua Umum Masyarakat Telematika (Mastel) Indonesia Kristiono yang dihubungi Kompas, Selasa (20/9) di Jakarta, mendukung langkah Direktorat Jenderal Pajak yang mewajibkan Google mendirikan bentuk usaha tetap (BUT) di Indonesia.
Menurut Kristiono, layanan yang ditawarkan Google sudah seharusnya memenuhi ketentuan regulasi yang berlaku di Indonesia. Google memperoleh manfaat ekonomi di Indonesia.
Google tercatat sudah menjadi anggota Mastel Indonesia. Kristiono menyambut positif sikap tegas Direktorat Jenderal Pajak yang ingin meningkatkan kasus tersebut ke penyidikan tindak pidana jika Google terus menolak pemeriksaan.
”Ini merupakan momentum yang bagus bagi pemerintah untuk menata ulang kedaulatan siber Indonesia. Proses pengembangan sistem pencatatan pembayaran nasional (national payment gateway) perlu dilanjutkan. Pengembangannya harus dilengkapi pusat data nasional sehingga semua arus lalu lintas data internet ataupun transaksi elektronik dapat terekam,” ujar Kristiono.
Google Utang Pajak 5 Triliun Per Tahun Ke Indonesia
Pemerintah Indonesia terus mengejar Google yang diduga telah menunggak pembayaran pajak selama lima tahun.Menurut Reuters, sebagaimana dirangkum KompasTekno, Selasa (20/9/2016), raksasa internet itu ditaksir menghadapi tagihan pajak sebesar 418 juta dollar AS atau sekitar Rp 5,5 triliun untuk periode tahun 2015 saja.
Logo di Kantor Google California |
Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Jakarta Khusus, Muhammad Haniv, mengatakan, pihaknya menyambangi kantor Google Indonesia pada Senin (19/9/2016) kemarin.
Ditjen Pajak menduga bahwa tahun lalu Google hanya membayar 0,1 persen dari total pajak pendapatan dan pertambahan nilai yang menjadi kewajibannya.
Saat dimintai komentar, pihak Google Indonesia mengulangi pernyataan yang sama seperti minggu lalu, yakni perusahaan tersebut menyatakan telah bekerja sama dengan otoritas dan membayar semua pajak.
"Argumen Google yang disampaikan adalah mereka melakukan perencanaan pajak," kata Haniv.
"Perencanaan pajak tersebut sah, tetapi jika negara yang menghasilkan pendapatan tersebut tidak mendapatkan apa pun dari hasil pendapatan tersebut, hal itu tidak sah," katanya.
Sebagian besar pemasukan Google Indonesia dialihkan ke Google Asia Pacific yang berkantor di Singapura. Haniv mengatakan, Google Asia Pacific menolak diaudit bulan Juni sehingga status penyelidikan pajaknya ditingkatkan ke investigasi kriminal.
Apabila terbukti bersalah, Google terancam harus membayar empat kali lebih besar dari jumlah tagihan pajak maksimum hingga bisa mencapai angka Rp 5,5 triliun untuk tahun 2015 saja.
Haniv enggan mengungkap rincian tagihan pajak Google selama periode lima tahun.
Ditjen Pajak berencana mengejar penyelenggara-penyelenggara layanan online lain (over the top/OTT) yang beroperasi di Indonesia, seperti Facebook, yang turut diduga menunggak pajak.
Haniv mengatakan, transaksi bisnis periklanan digital mencapai 830 juta dollar AS per tahun. Sebanyak 70 persen dari angka tersebut dikuasai oleh Facebook dan Google.
Penyebab Google Tersandung Masalah Pajak
Menurut pengamat pajak dari Danny Darussalam Tax Center (DDTC), Darussalam, persoalan pajak Google dan sejumlah perusahaan layanan internet di suatu negara, dipicu oleh praktik perencanaan pajak yang agresif atau aggressive tax planning."Kasus ini kan sebenarnya dipicu semakin maraknya praktik aggressive tax planning dimana intensi melakukan tax planning dengan cara mencari kelemahan ketentuan pajak baik dalam level domestik dan internasional," ujar Darusalam kepada Kompas.com, Jakarta, Jumat (16/9/2016).
Dalam istilah pajak, tax planning diartikan sebagai usaha-usaha wajib pajak untuk meminimalkan pembayaran pajaknya. Namun ada satu titik dari tax planning yang dianggap tidak bisa ditoleransi yakni aggressive tax planning.
Saat mencapai titik agresif itu, para wajib pajak mencoba mencari kelemahan ketentuan pajak di satu negara.
Di Indonesia, kelemahan ketentuan pajak bisa terlihat dari persoalan Google. Seperti diketahui, pendapatan Google dari Indonesia mencapai triliunan rupiah, terutama dari iklan.
Namun perusahaan asal AS itu belum membayar pajak untuk transaksi yang dilakukan di tanah air. Google hanya menempatkan perwakilannya yakni Google Indonesia yang berkantor di Jakarta dan bukan sebagai Badan Usaha Tetap (BUT).
Sementara di Indonesia, pengenaan pajak bisa dilakukan bila suatu badan usaha merupakan BUT. Persoalan BUT diakui Ditjen Pajak sangat pelik.
Hingga saat ini Google menolak disebut BUT. Padahal menurut Ditjen Pajak, Google Indonesia sudah berbentuk badan hukum dengan status sebagai Penanaman Modal Asing (PMA) sejak 15 September 2011 dan menginduk kepada dari Google Asia Pacific Pte Ltd.
Darussalam mengatakan persoalan Google dan perusahaan penyedia layanan internet lainya sudah mulai dicegah oleh banyak negara.
Bahkan Organisasi untuk Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) dan negara G-20 sudah menyepakati satu hal.
"Mewajibkan wajib pajak untuk mengungkapkan skema tax planningnya. Ini tertuang dalam aksi no 12 Base Erosion Profit Shifting (BEPS)," kata dia.
Ketentuan kewajiban pengungkapa tax planning itu disebut dengan mandatory disclosure rule (MDR). Oleh karena itu, ia mengatakan bahwa Indonesia harus menerapkan MDR untuk mencegah skema aggressive tax planning.
Selain itu kata Darussalam, sejumlah negara mulai melakukan pendekatan moral untuk "memerangi" agressive tax planning.
Pendekatan moral dibangun agar kepatuhan membayar pajak hadir dari inisiatif bukan paksaan atau ancaman. Saat ini, negara yang berhasil menerapkan hal tersebut adalah Inggris.
Menurut Ditjen Pajak, Inggris adalah negara yang mampu membuat Google mau membayar pajak atas bisnisnya di negeri Ratu Elizabeth tersebut.
Pajak Google Juga Dipermasalahkan di 4 Negara Ini
Pada 2015 lalu, transaksi iklan digital di Indonesia mencapai 850 juta juta dollar AS atau Rp 11,6 triliun. Sebanyak 70 persen dari nilai itu dikatakan berasal dari perusahaan internet global (OTT) yang beroperasi di Indonesia, termasuk Google.Ilustrasi |
Google Indonesia sendiri telah membantah tuduhan tersebut. Menurut Head of Corporate Communication Google Indonesia, Jason Tedjakusuma, PT Google Indonesia telah beroperasi sebagai perusahaan Indonesia sejak 2011 lalu. Artinya, perusahaan itu sudah menunaikan kewajibannya sesuai porsi.
Meski demikian, belum jelas alasan mengapa Google Indonesia menolak diperiksa. Ditjen Pajak mengatakan akan menyelidiki lebih dalam soal hal ini.
Selain di Indonesia, masalah pajak Google ternyata juga terjadi di negara-negara lain. Google disebut sengaja memanfaatkan celah hukum agar bisa membayar pajak sekecil-kecilnya padahal telah meraup pendapatan sebesar-besarnya.
Berikut kasus-kasus pajak Google di empat negara lain, sebagaimana dihimpun KompasTekno dari beberapa sumber, Sabtu (17/9/2016).
1. Italia
Otoritas pajak di Italia meminta Google membayar 300 juta euro atau setara Rp 4,4 triliun pada awal 2016. Nilai itu telah dikalkulasi dari pendapatan rata-rata Google selama enam tahun berbisnis di Negeri Pasta.Menurut pemerintah Italia, Google telah melakukan manipulasi pajak dengan mengalokasikan pendapatan yang diperoleh di Italia ke Irlandia. Oleh karena itu, pajak yang disetor Google ke Italia menciut jadi 2,2 juta euro atau Rp 32 miliar pada 2015 lalu.
Sama seperti di Indonesia, Google Italia juga berdalih telah mematuhi ketetapan pajak di tiap negara operasi mereka.
2. Inggris
Urusan pajak Google Inggris dengan pemerintah di sana telah didiskusikan dalam rentang waktu cukup panjang. Akhirnya, pada Februari 2016, Google sepakat membayar pajak sebesar 130 juta poundsterling atau Rp 2,2 triliun.Kesepakatan itu terjadi antara otoritas pajak dengan Google Inggris. Namun, beberapa politikus dan ahli pajak menganggap nilai itu terlampau kecil. Otoritas pajak Inggris juga dinilai tak transparan dalam diskusinya bersama pihak Google.
Nilai 130 juta poundsterling dibayar Google untuk menebus pajak selama 10 tahun. Padahal, pendapatan Google Inggris dalam rentang waktu itu ditaksir mencapai 7,2 miliar poundsterling atau Rp 123 triliun.
3. Perancis
Kantor Google di Paris, Perancis, diuber-uber tim investigasi pajak Negeri Eiffel pada Mei lalu. Pemerintah setempat menuding Google tak kooperatif soal kewajiban pajaknya.Sama seperti di negara lain, pemerintah Perancis mengatakan Google membawa sebagian besar pendapatannya ke Irlandia. Alhasil, pajak yang dibayar Google ke Perancis hanya secuil dari penghasilan yang diraup di negeri tersebut.
Pemerintah Perancis menuntut Google membayar 1,6 miliar euro atau setara Rp 23,5 triliun.
4. Spanyol
Sekitar satu bulan pasca penggrebekan kantor Google di Perancis, insiden serupa menimpa kantor Google di Madrid, Spanyol, pada Juni 2016. Dasarnya pun sama: Google dituding berkelit dari kewajiban pajak.Pemerintah Spanyol mengaku kecewa atas niat Google di negaranya yang dianggap cuma cari untung. Perwakilan Google Spanyol pun melontarkan pernyataan seragam dengan perwakilan Google di negara lain.
"Kami patuh terhadap regulasi fiskal di Spanyol, sama seperti kami patuh di semua negara tempat kami beroperasi," perwakilan tersebut menuturkan.
Kasus pajak Google di beberapa negara masih berlanjut, sama seperti di Indonesia. Hingga kini, belum dijabarkan berapa nominal pajak penghasilan yang seharusnya disetor Google Indonesia ke negara.
Menko Darmin: Google Harus Jadi Badan Usaha Tetap, Baru Bisa Ditarik Pajak
Menteri Koordinator bidang Perekonomian Darmin Nasution menegaskan bahwa Google harus manjadi badan usaha tetap (BUT) apabil ingin beroperasi di Indonesia. Hanya dengan cara itu pemerintah bisa memungut pakak dari perusahaan internet asal Silicon Valley, Amerika Serikat itu.Menko Perekonomian Darmin Nasution mengumumkan Paket Kebijakan Ekonomi XI, di Kantor Presiden, Kompleks Istana, Jakarta, Selasa (29/3/2016). |
Darmin mengakui saat ini Indonesia belum memiliki aturan perpajakan yang maksimal untuk memajaki perusahaan penyedia layanan internet seperti Google. Oleh karena itu, pemerintah akan terus mendorong Google untuk membentuk BUT.
"Kalau enggak, enggak ketemu," ucap Darmin.
Sudah Punya Kantor di Senayan, Mengapa Google Tidak Bayar Pajak?
Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan memastikan akan terus mengejar kewajiban perpajakan yang belum dipenuhi secara tepat oleh perusahaan Google di Indonesia.Pintu masuk menuju "Warung Mbah Google" |
Menurut Haniv, pendapatan Google dari Indonesia mencapai triliunan rupiah, terutama dari iklan, tetapi belum membayar pajak untuk transaksi yang dilakukan di tanah air.
Alasannya, Google Indonesia hanya beroperasi sebagai kantor perwakilan, bukan sebagai Badan Usaha Tetap (BUT). Dengan demikian, Google tidak pernah dipotong PPN maupun PPh-nya.
Sebagai informasi, kantor Google Indonesia berada di Sentral Senayan II, Jalan Asia Afrika, Jakarta. Kantor perwakilan tersebut mulai ditempati Google sejak tahun 2013.
Menurut catatan Direktorat Jenderal Pajak, Google di Indonesia telah terdaftar sebagai badan hukum dalam negeri di KPP Tanah Abang III dengan status sebagai PMA sejak 15 September 2011 dan merupakan "dependent agent" dari Google Asia Pacific Pte Ltd di Singapura.
Dengan demikian, menurut Pasal (2) ayat (5) huruf (N) UU Pajak Penghasilan, Google seharusnya berstatus sebagai BUT, sehingga setiap pendapatan maupun penerimaan yang bersumber dari Indonesia berhak dikenakan pajak penghasilan.
Ini Jawaban Google Atas Tudingan Tak Bayar Pajak
Google Indonesia angkat bicara soal tudingan melakukan pelanggaran pajak atau tak membayar pajak di Indonesia. Tudingan itu muncul setelah Direktorat Jenderal Pajak (Ditjen Pajak) mengumumkan bahwa Google telah menolak untuk diperiksa.Juru bicara Google Indonesia menyebutkan bahwa selama ini pihaknya telah membayar pajak dan mengikuti berbagai peraturan yang ditetapkan oleh Pemerintah Indonesia. Perusahaan pun sudah berdiri sebagai badan hukum Indonesia
"PT Google Indonesia telah beroperasi sebagai perusahaan Indonesia sejak tahun 2011. Kami telah dan akan terus bekerja sama dengan Pemerintah Republik Indonesia dan telah dengan taat membayar semua pajak yang berlaku di Indonesia," ujar Head of Corporate Communication Google Indonesia, Jason Tedjakusuma, saat dihubungi KompasTekno, Jumat (16/9/2016).
Gerah atas Penolakan Google, Pemerintah Akan Bawa Kasus ke Peradilan Pajak
Pemerintah Indonesia menegaskan tetap pada pendirian bahwa Google harus melunasi kewajiban pajaknya di Indonesia.Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati |
Meski Google tetap pada pendirian dan menggunakan argumentasinya sendiri, mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia itu menegaskan, negara memiliki wadah untuk mendiskusikan sengketa pajak.
“Dan kalau kami (pemerintah dan Google) sepakat atau tidak sepakat, juga ada peradilan pajak,” ucap Sri Mulyani.
Agar kejadian serupa tidak berulang, Sri Mulyani menegaskan, pihaknya telah meminta tim Ditjen Pajak untuk melakukan kajian terhadap perusahaan-perusahaan penyedia layanan berbasis internet atau over the top (OTT) global.
Sri Mulyani mengakui bahwa persoalan memajaki perusahaan-perusahan ini juga menjadi permasalahan di banyak negara. Oleh karena itu, pihaknya perlu berhati-hati dan melakukan perbandingan dengan negara lain.
“Sehingga, jangan sampai Pemerintah Indonesia membuat rezim yang kemudian dianggap tidak kompetitif, atau sebaliknya menjadi sangat tidak mampu mengoleksi potensi penerimaan negara,” ucap Sri Mulyani.
Bahkan, lanjutnya, kalau perlu Indonesia bersama negara-negara lain membentuk forum internasional sebagai wadah bagi para menteri keuangan untuk membahas soal pajak untuk perusahaan-perusahaan ini.
“Sehingga, menteri-menteri keuangan tidak memiliki interpretasi sendiri-sendiri. Tetapi, untuk sekarang, saya minta DJP untuk memberikan kajian, proposal proses pemungutan pajak untuk aktivitas seperti itu,” ujar Sri Mulyani
Cara Google Memanfaatkan "Celah" untuk Menghindari Pajak
Awal tahun ini, Bloomberg melaporkan bahwa Google menghindari pajak senilai 2,4 miliar dollar AS (Rp 31 triliun) pada 2014 dengan memindahkan pendapatan senilai 12 miliar dollar AS (Rp 157 triliun) ke sebuah perusahaan penampung di Bermuda.Jumlah itu lebih tinggi 16 persen dibanding tahun sebelumnya dan membuat berang negara-negara tempat Google mencari pendapatan -yang seharusnya bisa menarik pajak dari Google.
Di Perancis saja, menurut Huffington Post, Google meraup 1,7 miliar Euro tiap tahun, tapi mengaku hanya memperoleh pendapatan 225 juta Euro dan karena itu cuma membayar pajak sebesar 5 juta Euro.
Di Inggris, hasil penyelidikan selama enam tahun menyimpulkan bahwa Google berlaku curang dengan membayar pajak jauh lebih sedikit daripada yang semestinya.
Jumlah pembayaran pajak (berlaku surut) yang dijanjikan Google ke pemerintah Inggris setelah ketahuan -sebesar 130 juta Poundsterling- dinilai sangat kecil dibanding skala bisnis Google di negara tersebut.
Daily Mail menyebutkan bahwa Google setidaknya memiliki 5 kantor utama di Inggris, negeri yang menjadi pasar kedua terbesar bagi Google di luar Amerika Serikat.
Biaya yang dikeluarkan Google untuk mendirikan kantor-kantor di Inggris serta merekrut 5.000 orang karyawan konon mencapai kisaran 1 miliar Poundsterling.
Toh, perusahaan yang dulu bermoto “Don’t be Evil” (jangan berlaku jahat) tersebut ngotot tak punya kantor permanen di Inggris, dan karenanya tak perlu membayar pajak perusahaan sebesar 20-an persen di negara itu
Profit dari Inggris sebesar 8 miliar Poundsterling per tahun dialihkan oleh Google ke Irlandia, sebagaimana aliran uang dari berbagai belahan dunia lainnya
Kenapa Irlandia?
Bagaimana cara Google menghindari pajak? Sang raksasa internet menggunakan strategi yang dikenal dengan istilah “Double Irish With a Dutch Sandwich”, mengacu pada dua negara yang digunakan sebagai fasilitator, yakni Irlandia dan Belanda, untuk menuju tujuan akhir berupa negara tax haven.Pendapatan Google dari luar AS tidak disalurkan ke Tanah Airnya karena bisa dikenai pajak pemasukan perusahaan sebesar 35 persen. Alih-alih melakukan itu, Google mentransfer dana pemasukan global ke Irlandia, yang menjadi markas operasional untuk wilayah Eropa, Timur Tengah, dan Afrika.
Mengapa Irlandia? Karena peraturan pajak di negara ini memiliki celah yang bisa dimanfaatkan untuk menghindari pajak.
Di Irlandia, Google memiliki dua anak perusahaan. Salah satunya mengumpulkan pendapatan dari berbagai wilayah di dunia. Lainnya memegang hak atas paten dan properti intelektual Google.
Anak perusahaan pertama yang mengumpulkan pendapatan akan menyalurkan dana tersebut sebagai “pembayaran royalti” ke anak perusahaan kedua yang memegang paten. Di Irlandia, royalti dipajaki lebih rendah dibandingkan pemasukan jenis lain.
Tapi dana tak langsung ditransfer, melainkan dialihkan terlebih dahulu ke anak perusahaan lain di Belanda, yakni Google Netherlands Holdings B.V., untuk menghindari pajak penghasilan (withholding tax) di Irlandia tadi, sekaligus pajak tinggi yang dikenakan apabila dana langsung dipindahkan ke negara tax haven.
Regulasi Irlandia tak mengenakan pajak untuk pembayaran royalti tertentu ke perusahaan yang berbasis di negara sesama anggota Uni Eropa (Belanda). Dari sana, barulah sebagian besar dana kembali ditransfer ke anak perusahaan kedua di Irlandia sebagai pemegang royalti.
Meski terdaftar di Irlandia, anak perusahaan kedua pemegang properti intelektual ini tak berkantor di negara tersebut, melainkan negara lain yang dikenal sebagai tax haven -misalnya Bermuda dalam kasus Google- yang tak mengenakan pajak pemasukan korporasi sama sekali, alias 0 persen.
Sekali lagi terdapat celah regulasi yang dieksploitasi karena Irlandia tidak mengategorikan perusahaan yang manajemen pusatnya berada di luar negeri sebagai tax resident.
Dana akan sulit dilacak begitu sampai di Bermuda karena anak perusahaan Google di sana memiliki status hukum sebagai “unlimited liability company”. Artinya, menurut hukum Irlandia, perusahaan yang bersangkutan tidak diwajibkan membuka informasi finansialnya.
Dengan memanfaatkan skema “Double Irish with a Dutch Sandwich” di atas, Google menghindari pembayaran pajak pemasukan perusahaan di Irlandia sebesar 12,5 persen yang sudah lebih kecil dibandingkan AS (35 persen) atau Inggris (28 persen).
Tahun 2015, Alphabet, perusahaan induk Google yang dicurigai turut dibentuk lewat restrukturisasi untuk menghindari pajak di AS, mencatat rata-rata rate pajak hanya 6,3 persen di luar Negeri Paman Sam. Angka tersebut cuma seperempat dari rata-rata tax rate yang diberlakukan di negara-negara tempat Google beroperasi.
Meski terdengar curang, praktik ini sepenuhnya legal karena sesuai dengan peraturan-peraturan yang berlaku (dengan memanfaatkan celah-celah tertentu).
“Google menaati peraturan pajak di semua negara tempat kami beroperasi,” ujar seorang juru bicara Google ketika dimintai komentar oleh Forbes.
Ditjen Pajak pastikan Google Indonesia bayar pajak perusahaan 25%
Direktorat Jenderal Pajak memastikan Google Indonesia berbentuk Badan Usaha Tetap (BUT) di Indonesia sehingga akan dikenai pajak perusahaan sebesar 25%.Kepastian itu didapat setelah Muhammad Haniv, Kepala Kanwil DJP Jakarta Khusus, melakukan pertemuan intensif dengan pihak Google Indonesia selama beberapa pekan terakhir.
Menurutnya, regulasi yang akan dikeluarkan pemerintah menegaskan bahwa operasional Google Indonesia berbentuk BUT berlaku surut sehingga pajak tahun 2015 yang sedang diperiksa dapat dikenakan tarif pajak perusahaan normal.
“Jadi mereka kan menempatkan server di Indonesia, baik oleh dia maupun orang lain, itu Badan Usaha Tetap. Penegasan bentuknya dan ini juga berlaku surut ke belakang," kata Muhammad Haniv kepada wartawan BBC Indonesia, Mehulika Sitepu.
Tarif pajak perusahaan di Indonesia adalah sebesar 25% dari laba kena pajak.
Berdasarkan perkiraan Muhammad Haniv, pendapatan iklan Google dapat mencapai Rp5 triliun. Dengan asumsi margin 35% dari total pendapatan, maka laba kena pajak Google adalah sebesar Rp1,75 triliun. Dengan demikian perkiraan pajak perusahaan Google dapat mencapai Rp437,5 miliar.
Pendapatan iklan Google Indonesia
Selama beberapa bulan terakhir, Ditjen Pajak memeriksa Google Indonesia karena dianggap tidak membayar pajak sesuai dengan pendapatan iklan mereka di Indonesia.Menurut Muhammad Haniv, pendapatan iklan internet di Indonesia sebesar US$830 juta (Rp11 triliun) dan diperkirakan setengahnya berasal dari Google.
Namun Google Indonesia hanya membayar pendapatan iklan sebesar 4% dari pendapatan iklan di Indonesia, yang disebut sebagai fee atau bayaran kepada Google Indonesia sebagai kantor perwakilan Google yang berpusat di California tersebut.
Google Indonesia juga berkilah lewat surat Agustus lalu bahwa mereka tidak harus memiliki Badan Usaha tetap di Indonesia sehingga tidak bisa diperiksa ataupun dikenai pajak.
"Kami terus bekerja sama dengan pihak berwajib dan membayar semua pajak yang berlaku," sebut jubir Google Indonesia Jason Tedjasukmana melalui surat elektronik.
'Bertekuk lutut'
Muhammad Haniv menyatakan optimistis dapat menagihkan pajak ini ke Google Indonesia.“Saya sudah punya jurus untuk membuat mereka bertekuk lutut. Saya sudah punya datanya. Saya sudah punya caranya dan mereka tidak bisa lari lagi," kata Muhammad Haniv.
Sebelumnya muncul pemberitaan bahwa Ditjen Pajak merazia kantor Google Indonesia terkait pemeriksaan pajak tersebut.
Namun Muhammad Haniv menepis pemberitaan tersebut, mengatakan bahwa kedatangan ke kantor Google Indonesia adalah hal yang normal dalam permeriksaan permulaan (preliminary investigation).
Baca juga: Game di Laman Hasil Pencarian Google
Dari berbagai Sumber
0 comments:
Post a Comment