Hatiku Disate

Halo! Selamat Iduladha teman-teman. Yaelah, hari gini baru ngucapin. TELAT WOY! Ke mana aja lu, Yog?

Oke, abaikan.

Gimana rasanya lebaran kemarin? Seru? Pada nyate gak nih? Anak kos langsung perbaikan gizi dong, ya?

Kalo buat gue sendiri, entah kenapa Hari Raya Kurban ini semakin biasa aja dari tahun ke tahun. Pokoknya menurut gue jadi gak menarik lagi seiring bertambahnya umur.

Pertama, karena gue gak begitu doyan daging sapi (sukanya kalo udah jadi bakso dan rendang), apalagi daging kambing. Bisa muntah gue yang ada kalo makan kambing, kecuali daging kambingnya disate. Nah, gue masih bisa makan deh. Itu pun palingan cuma sekitar enam tusuk. Lebih dari itu kepala gue pusing. Huhu. Yoga memang lemah. Selera makanannya mah tempe dan tahu. Tahu-tahu dia jadian sama yang lain. Apaan!


Kedua, gak begitu suka nontonin penyembelihan hewan kurban. Selain udah gak seru lagi, gue juga males sama baunya. Bau kambing itu terkadang bisa bikin gue muntah. Apalagi kalo bau kambing itu sudah tercampur dengan bau sapi dan bau badan gue sendiri yang belum mandi dari hari Sabtu. Ya, Tuhan, bau hari Sabtu kayak gimana coba?

Ketiga, saat malam takbiran gak ramai petasan. Beda banget sama Hari Raya Idulfitri. Lebaran Kurban begini langit tidak akan dihiasi oleh petasan. Ya kecuali, lebaran Iduladha ini bertepatan pada tanggal 1 Januari. Muahaha.

Keempat, patuh dan suka bermusyawarah.

Kelima, rela menolong dan tabah.

Btw, kok malah jadi Dasa Darma Pramuka?
Mana yang paling nyambung hanya nomor 1 dan 2 pula. Nomor tiga udah kayak buat manjang-manjangin tulisan aja. Kalo mau panjang mah padahal tinggal ke Mak Erot, ya? Etapi Mak Erot udah meninggal. Gimana dong? Dan ini gue dari ngetik apaan, sih? :(

Astagfirullah. Oke-oke, serius.

Asli, momen lebaran ini beda banget sama 5-10 tahun yang lalu.

Dulu, walaupun gue gak begitu suka daging kambing, gue akan tetep ikutan nyate. Asyik aja rasanya bisa kumpul bareng temen-temen untuk nyate. Ya, walaupun gue harus ikut patungan beli arang, gue juga yang ngipasin, dan yang makanin satenya malah mereka. Temen-temen gue memang bajingan! Anyway, gue bahagia sama momen itu.

Kemudian, menonton pertarungan hewan melawan tukang jagal ini rasanya juga menyenangkan sekali. Gimana proses si Bapak Tukang Jagal menjatuhkan si sapi. Gimana si sapi mencoba untuk bertahan hidup. Si Sapi akan berusaha melawan karena masih pengin hidup lebih lama lagi demi mewujudkan cita-citanya (walaupun kita semua tahu kalau sapi ini kerjaannya palingan cuma makan rumput dan boker). Apa coba cita-cita mereka? Jadi astronaut? Jadi pengusaha? Atau jadi Youtuber? Yo wasap ma fren. Gue ngasal beatbox. Brrrcikepeeeeeh.

Setelah itu, akhirnya si sapi pasrah karena berhasil dirobohkan. Gue masih ingat betul ketika melihat wajah sapi yang akan disembelih. Matanya berkaca-kaca, tanda ia ingin menangis. Namun, air matanya itu pasti ia tahan-tahan, ia tidak membiarkannya menetes setetes pun.

Yoi, karena akan sangat memalukan jika menangis ketika dilihat banyak orang. Si sapi ini nggak mau terlihat lemah. Sampai ke proses terakhir, ketika tukang jagal mulai berdoa dan menggorok leher si sapi. Darah segar mulai mengalir. Leher sapi yang putih ini pun mulai berubah merah. Dan kalau kalian memperhatikan ke area pantat, kala itulah isi perut sapi ini keluar. Sapi boker di saat-saat terakhirnya. Warnanya kuning rada kecokelat-cokelatan bagai daun yang mengering.

Sayangnya, semua momen itu gak bisa gue nikmati lagi sekarang ini. Alhasil, kemarin sepulang salat Id gue cuma bisa tidur-tiduran aja sampai sore. Sumpah, gue nggak males kok. Gue hanya capek menangis dan ketiduran. Kalau boleh jujur, gue nggak sok menangisi para hewan kurban yang akan mati ini. Nggak. Gue nggak sebaik dan sepeduli itu terhadap mereka. Gue menangis karena....

***

Masjid di dekat rumah gue penuh sekali. Sampai-sampai gue dan Kiki (sahabat gue) tidak kebagian tempat. Alhasil, kami pun mencari masjid lain. Kami salat di Masjid Nurul Iman yang berada lumayan jauh dari rumah. Gobloknya, udah jauh kami malah tetap memilih untuk berjalan kaki. Yha, biar pahalanya banyak kalo kata orang. Kan dihitung dari langkah kaki. Caileh.

Karena sebelum salat Id mesti berpuasa, tidak boleh makan dan minum, kami pun merasakan dehidrasi setelah salat. Maka, sepulang salat Id kami mampir terlebih dahulu untuk beli minuman. Kami membeli es teh manis dalam plastik di sebuah warung pinggir jalan. Btw, perjalanan pulang ini melewati tempat pemakaman umum. Karena tidak biasanya melihat orang yang berziarah ketika Iduladha, gue langsung bertanya ke Kiki, “Emang Iduladha juga rame yang ziarah, ya?”

“Gak tau juga. Biasanya pas Idulfitri, sih,” jawab Kiki. “Sekalian ziarah kalo gitu, yuk!”

“Boleh. Kebetulan lebaran Idulfitri kemaren gue gak sempet.”

Pertama, gue menemani Kiki berziarah ke makam kakeknya. Baru setelah itu, gantian Kiki yang menemani gue ke kuburan Kakek dan Nenek. Selesai mendoakan kakek-nenek gue, kami berpindah ke pusara Aulia Barbara, adik perempuan gue.

Dan entah kenapa, gue masih aja cengeng ketika berkunjung ke rumahnya. Karena malu ada Kiki, gue pun hanya bisa menunduk sambil meneteskan air mata. Dan begitu doa selesai, gue segera mengelap air mata itu. Gue tidak ingin terlihat lemah di depan dia. 

Sesampainya di rumah, gue sarapan lontong sayur dan opor ayam. Barulah setelah itu masuk ke kamar dan mendengarkan musik. Lagi asyik mendengarkan lagu dari The Trees and The Wild, tiba-tiba Kiki mengirimkan gue sebuah foto. Momen barusan ketika gue merapalkan doa di kuburan Aulia.


Foto kiriman Yoga Akbar Sholihin (@ketikyoga) pada



Gue memandangi foto itu baik-baik. LAH, ANJIR! NAMA BOKAP GUE KOK BERUBAH? WAH, TYPO! Aturan Subar malah jadi Sabar. Ya, Allah. SABAR. SABAR. SABAR.

Kemudian gue melihat tanggal kelahiran dan kematiannya yang sama. Gue jadi flashback kejadian pada tahun 2013. Di mana adik yang gue tunggu-tunggu kelahirannya itu malah pergi untuk selama-lamanya. Gue mendadak bersedih. Suasana hati gue kacau-balau. Apalagi saat lagu TTATW berganti menjadi lagu “Yang Patah Tumbuh, yang Hilang Berganti” dari Banda Neira. Gerimis pun turun di sudut mata gue. Kemudian gue langsung tiduran, menekan earphone agar lebih menempel ke lubang telinga. Gue memejamkan mata dan menikmati kegundahan ini.

Dan entah kenapa, gue tiba-tiba ingin upload foto itu di Instagram. Inilah caption-nya yang sedikit gue perbaiki:


"Hai, adik kesayangan. Maaf ya, kakakmu ini baru datang berkunjung pas Iduladha. Soalnya waktu lebaran Iduliftri kakakmu ini lagi bener-bener depresi. Jadinya, ya Kakak gak sempet nengokin kamu. Oiya, sekarang kakakmu ini udah bangkit lagi dong. Masalah kelam kemarin udah saya ketawain. Lucu juga ya ngetawain masalah kemarin itu. Kok saya bisa-bisanya terpuruk lama banget kayak gitu. Gak nyangka banget Yoga lemah. HAHAHA.

Anyway, menurutku masih lucuan muka kamu, sih. Walaupun waktu itu Kakak hanya sempat melihatmu untuk yang pertama dan terakhir kalinya. Maaf ya kalo sekarang lupa wajah kamu seperti apa. Kakak gak sempet mengabadikan kamu ke sebuah foto. Yang pasti kamu itu tetap yang tercantik bagi saya. Iya, kamu kan bidadari surga. Maaf juga ya, kalo saya ini cengeng. Masih aja nangis setiap kali berkunjung ke rumahmu. Udah ah, gitu aja. Love you, Aulia. :*"


Sehabis lagu Banda Neira, kini “Melankolia” dari Efek Rumah Kaca yang menemani kesedihan gue dan membuat hujan turun semakin deras. Duh, hatiku rasanya seperti disate. Ditusuk-tusuk begitu menyakitkan. Rongga dada gue pun sesaknya bukan main. Gue gak ngerti gimana caranya menyudahi tangisan ini. Oleh karena itu, gue cuma bisa menyelami sampai lelah hati.

Nikmatilah saja kegundahan ini
Segala denyutnya yang merobek sepi
Kelesuan ini jangan lekas pergi
Aku menyelami sampai lelah hati

Melankolia~

Terima kasih sudah baca.
SHARE

Unknown

  • Image
  • Image
  • Image
  • Image
  • Image
    Blogger Comment

0 comments:

Post a Comment