Sepotong Hati di Segelas Milkshake Cokelat (Bagian Empat)

Nggak terasa, cerita bersambung proyek menulis WIDY sudah sampai bagian keempat. Nah, bagi kalian yang ketinggalan, alangkah lebih baiknya membaca cerita sebelumnya supaya nyambung.

Bagian pertama di blog Wulan: Potongan Pertama
Bagian kedua di blog Icha: Potongan Kedua
Bagian ketiga di blog Darma: Potongan Ketiga

Udah baca?

Belum, ya? Duh... baca dong teman-teman. Kalo baca nanti dapet pahala, loh. Muahaha. Maaf ngaco.
Sudah baca atau belum, itu hak kalian.  Jadi, langsung aja mari baca cerita bersambung bagian keempat.

***


Agus dan Mei telah tiba di dalam cafe. Agus pun langsung menuju posisi duduk favoritnya, sedikit mojok yang tidak terlalu pojok. Agus memilih posisi duduknya ini agar ia bisa dengan leluasa melihat jalanan yang macet sembari menunggu waktunya untuk pulang. Di mana pemandangan sebuah jalanan macet ini selalu menarik di mata Agus. Sudut pandang Agus memang aneh.

“Oh iya, kenapa lu milih jurusan PLB, Mei?” tanya Agus tanpa berani menolehkan wajah pada lawan bicaranya. Iya, Agus masih sedikit grogi di dekat perempuan.

“Gue juga nggak ngerti awalnya gimana bisa milih jurusan itu,” jawab Mei menolehkan kepalanya dengan mantap, sambil menatap mata Agus. Kini Agus tidak bisa berbuat apa-apa. Mata sipit dan senyuman Mei yang manis itu seolah menahannya untuk membuang muka lagi.

Agus mendadak terpukau. Mei pun tidak melanjutkan kalimatnya. Mei seperti sedang mengingat-ingat akan sebuah memori tentang jurusannya.

Kemudian suasana di meja mereka berdua menjadi hening. Tidak ada lagi obrolan. Hanya suara di dalam kafe yang terdengar; bunyi langkah kaki para waiter yang mondar-mandir dan pengunjung yang baru pada datang, suara obrolan para pengunjung yang terdengar samar-samar, dan sebuah lagu romantis dari Mocca yang berjudul Secret Admirer.

“Memang kenapa, Gus? Jurusan gue aneh banget, ya?” tanya Mei memecah keheningan, dengan senyum jenakanya. Senyum yang membuat setiap orang ingin sekali disenyumi olehnya.

“Ng... nggak apa-apa. Gue malah baru tahu tentang PLB.”
“Hah?” tanya Mei kaget.
“Iya, serius. Hmm... PLB itu jurusan kayak gimana sih, Mei?” jawab Agus begitu polos.


Mei tertawa akan kepolosan Agus. Pandangan Mei beralih dari Agus ke sepatu sneakersnya. Ia kembali mengukir senyum di bibirnya, menatap Agus kembali, lalu menjawab, “PLB itu ya... jurusan Pendidikan Luar Biasa. Lu tahu SLB, kan?”

Agus memang tidak tahu apa-apa mengenai beberapa jurusan di kampusnya. Agus masih semester satu. Ia baru beberapa bulan yang lalu resmi menjadi mahasiswa, berbeda dengan Mei yang memang kakak tingkatnya. Mei sudah semester tiga.

“Sekolah Luar Biasa, kan?” tanya Agus memastikan.

“Betul,” jawab Mei. “Nah, nanti kalo lulus gue akan jadi guru di sekolah itu. Di perkuliahan itu kita diajarkan cara membimbing, berteman, dan bersahabat dengan mereka—anak-anak berkebutuhan khusus—tanpa diskriminasi. Bahkan, kita bisa mendapatkan inspirasi dari mereka. Buat gue, kita tidak pantas terlalu banyak mengeluh. Mereka yang berkebutuhan khusus yang kondisinya berbeda dengan kebanyakan orang pun bisa memberikan kisah inspirasinya yang sangat mengagumkan...”

Agus menyimak setiap kalimat yang terlontar dari mulut Mei. Suaranya yang begitu menawan, membuat Agus mendengarkannya dengan fokus.

“...Seperti Beethoven yang tuli dan tunarungu, dia pun bisa menjadi musisi ternama. Stevie Wonder yang tunanetra, ia berhasil membawa 22 Grammy Awards karena prestasinya di dunia musik. Lalu, Helen Keller dengan kondisinya yang buta dan tuli, dia berhasil lulus dari perguruan tinggi. Setidaknya setiap gue mendapat tugas kuliah dan terjun ke lapangan (SLB), gue selalu menaruh hormat dan kagum kepada mereka teman teman berkebutuhan khusus. Mereka selalu bisa tersenyum meski kondisinya berbeda.”

Spontan Agus mengangguk-anggukan kepala. Spontan juga Agus ikut mengukir senyum.

Gadis ini selain cantik, ternyata hatinya juga mulia. Mei cantik luar dan dalam, batin Agus.

“Wah, hebat sekali, ya, Mei, jurusan kuliah lu,” puji Agus. “Btw, lu mau pesan apa nih? Keasyikan ngobrol kita sampe lupa mesen. Ehehe,” lanjutnya.
“Iya, nih. Sampe lupa. Hahaha.”
“Oiya, nanti biar gue yang traktir, ya. Hahahaha.”


"Eh, gak usah repot-repot, Gus. Mending gue aja yang traktir. Kan, gue yang ngajak lu ke sini,” usul Mei.

“Gue ajalah, Mei” kata Agus, ia tak ingin kehilangan harga dirinya. Mana mungkin kencan pertama ini malah cewek yang bayar. Ya, kencan. Bagi Agus itu merupakan sebuah kencan. Karena Agus memang menantikan momen berduaan seperti ini lagi setelah Mei menghilang beberapa minggu.

“Udah, gue aja, Gus. Itung-itung itu permintaan maaf gue ketika numpahin milkshake cokelat lu.”

“Ahaha. Lu masih inget aja. Itu kesalahan gue, kok. Ya udah lupain aja soal itu, pokoknya sekarang gue yang traktir,” ujar Agus.

“Ya udah kalo lu maksa. Tar gue pesen yang banyak kalo gitu, ah,” ledek Mei.

Agus pun tertawa.

Bagusnya si Mei mengalah dalam perdebatan siapa yang akan traktir mereka. Karena akan menjadi sangat krusial bila percakapannya menjadi:

“Udah gue aja yang bayar, Gus,” kata Mei.
“Gue aja, Mei,” balas Agus tak mau kalah.
“Gue.”
“Pokoknya gue!”

“Dibilang gue, ya gue!” Mei mendadak emosi.
“GUE AJA TAEK!" Agus ikutan terpancing.
“GAK MAU TAU, HARUS GUE YANG TRAKTIR!”
“GUEEE AJA SIALAN!”

Dan begitu terus selanjutnya sampai Widy Cafe bangkrut dan tutup, sehingga kafe itu menjadi panti pijat plus-plus.



BERSAMBUNG.


PS: Mohon maaf bila penutup ceritanya ngawur begitu. Soalnya kesepakatan bersama cerita per bagian hanya 500-700 kata. Ehehe. Maaf, yaaa. Oiya, kan sudah sampe bagian keempat nih. Bisa kali kakak kritik dan sarannya.

Terima kasih.
SHARE

Unknown

  • Image
  • Image
  • Image
  • Image
  • Image
    Blogger Comment

0 comments:

Post a Comment