Mengenai Project WIDY

Sebelum mulai membaca tulisan ini, kalian boleh membaca bagian yang WIDY terlebih dahulu. Itu pun jika kalian bersedia, kalau tidak... ya gapapa. Santai. Nggak dosa, kok. Paling gue cuma bete aja.
Halah.

Di antara kalian mungkin udah ada yang nungguin (oke, ini gue ngetiknya pede banget, kayak beneran ada yang nungguin aja), gimana jalan cerita atau kelanjutan dari proyek menulis cerita bersambung WIDY ini.



Alhamdulillah. Akhirnya bagian pertama sudah dipublikasikan di blog Wulan: Sepotong Hati di Segelas Milkshake Cokelat.

Sebelum mengunjungi link itu, gue ingin menjelaskan ke kalian kalau project ini dalam setiap ceritanya dikerjakan secara bersama-sama. Bukan per bagian.

Hm... kalian ngerti maksud gue nggak?

Just in case ada yang belum ngerti. Jadi, maksudnya tuh begini....

Itu cerita di blog Wulan bukan hanya Wulan yang menulis, melainkan kami berempat. Iya, kami menulisnya secara keroyokan.

Misalnya yang pertama mulai cerita itu si Wulan, “Setelah mata perkuliahan usai, Agus seperti biasanya langsung mampir ke cafe di dekat kampus... blablabla....”, itu Wulan ketik di Line sampai beberapa kalimat atau satu paragraf.

Lalu, gantian si Icha yang melanjutkan, “Namun, mulai hari ini Agus berniat memberanikan diri mendekati perempuan itu. Karena hari ini wanita itu sedang cantik-cantiknya... blablabla....”

Kemudian gantian Darma, “Kemudian menghembuskannya perlahan-lahan, dan berkata, "Lu sering ke sini, ya?" tanya Agus ke gadis cantik itu... blablabla.....”

Dan terakhir gue, “Mei,” jawabnya, ditutup dengan senyum yang menghiasi wajah pualamnya. Agus hanya bisa terpaku. Tangannya membeku... blablabla....”

Nah, kami mengetiknya seperti itu.

Jadi, tidak selalu tentu bagian-bagiannya. Ini semua tergantung mood atau ide kami masing-masing. Di saat Wulan lagi krisis ide, mungkin ia hanya mengetik satu sampai dua kalimat saja. Lalu misalkan si Icha sedang mood sekali untuk menulis, sehingga ia bisa mengetik panjang sampai satu paragraf, atau lebih. Oiya, kayaknya Icha ini emang suka yang panjang-panjang, Gaes (plis, ini kita lagi bahas tulisan, bukan celana atau kacang).

Selanjutnya Darma atau gue yang juga tidak menentu panjangnya seberapa. Tapi, kalo punya gue, sih, nggak terlalu panjang. Ya, palingan lebih dari 11 cm lah (ini apa coba?)

Oiya, penjelasan itu hanya sebagian contoh saja. Sumpah, kami berempat justru sudah lupa menulis kalimat yang mana saja. Karena draft awalnya pun juga sudah diedit—supaya lebih enak dibaca.

Jadi, kami tidak full menulis satu cerita per orang. Sekali lagi, kami menulisnya rame-rame atau keroyokan. Begitulah.

***

Selanjutnya urusan cerpen pun beres, kini kami berempat mulai bingung menentukan judul yang menarik.
Semua berawal dari gue yang mengatakan kalau cerpen bagian pertama sudah selesai gue edit. Dan gue baru sadar kalau kami ternyata belum menemukan judul dari cerpen tersebut.

Gue langsung panik. Keringet dingin juga mulai bercucuran. MAMPUS.

Maaf, gue panik bukan karena judul, tapi karena kebelet boker di sebuah warkop yang tidak menyediakan wc umum.

FYI, kadang gue memang suka pergi ke warkop untuk mendapatkan inspirasi ketika bermain project WIDY ini. Gue pun langsung menutup aplikasi Line dan segera pulang ke rumah untuk boker (sumpah, ini nggak penting banget untuk diketik, apalagi kalian baca).

Saat urusan perut sudah kelar, gue melihat kembali grup WIDY. Darma mulai mengusulkan sebuah judul “Kasih Tak Sampai”.
Icha sendiri bilang, “Wah, iyaaa. Aku juga belum kepikiran sama sekali. Tapi kalo ‘Ketika Hai menjadi Mei’ gimana?”.

Wulan kala itu sedang buntu ide dan sakit, sehingga tidak dapat berpikir dengan jernih.

Gue sendiri sebenernya punya beberapa pilihan judul:
Satu. Kamu Pilih Siapa?
Dua. Cafe Cinta
Tiga. Sebuah Mahakarya yang Sedikit Mesum

Namun, ide judul gue kayaknya terlalu basi dan nggak ada yang bener.

Sembari menunggu ide untuk judul, kami berempat kembali melanjutkan cerita bersambung itu.

Di tengah-tengah menyambung cerita, Darma mengusulkan kembali kalau judulnya “Agustus di bulan Mei”
Woy, Dar. Agus dan Mei itu hanyalah nama orang, nggak ada hubungannya sama bulan. Batin gue.
Lagi-lagi Darma memberi saran, “Untitled saja”.

Tidak ada respons.

Yang lain—Icha dan Wulan—mulai menghilang dari grup, sepertinya sudah pada tidur.

Gue sendiri memilih untuk bergeming.

***

Gue berniat untuk tidur, barangkali besok pagi akan mendapatkan pencerahan akan sebuah judul cerita itu. Namun, kebiasaan gue membaca buku-buku lama (dibaca: belum mampu beli buku baru) suka muncul di tengah malam. Malam itu, gue membaca novel Raditya Dika, Manusia Setengah Salmon. Di sebuah bab terdapat cerita yang menurut gue sangat menarik. Gue mengecek judulnya, “Sepotong Hati di Dalam Kardus Cokelat”.

Wih, keren banget nih, pikir gue.

Gue mulai membaca cerita yang kami berempat buat itu dari awal sampai akhir. Kebetulan sekali di cerita itu, tokoh Agus saat di cafe membeli minuman milkshake cokelat (yang rencananya akan menjadi minuman favoritnya).

Gue pun mencoba memodifikasi judul di salah satu cerita Radit, dan mengusulkan sebuah judul: “Sepotong Hati di Segelas Milkshake Cokelat”.
Kami berempat setuju

Asoy!

Begitulah gambaran singkat mengenai proyek menulis WIDY ini.

Nah, bagi kalian yang sudah membaca bagian pertamanya, menurut kalian ceritanya bagaimana? Mohon kritik dan saran. Bisa sampaikan ke gue, ataupun anggota WIDY yang lainnya. Semoga itu bisa jadi penyemangat ataupun motivasi untuk kami berempat. Terima kasih sebelumnya.

PS: Bagian kedua atau lanjutan cerita dari blog Wulan, selanjutnya akan di-posting di blog Icha pada hari Minggu (jika tidak ada kendala).


Sekali lagi, terima kasih.
SHARE

Unknown

  • Image
  • Image
  • Image
  • Image
  • Image
    Blogger Comment

0 comments:

Post a Comment