Mulanya berawal dari obrolan sepulang kuliah. Gue, Aldi, Arief, Saddam, Ria, dan beberapa teman lain (takut kebanyakan orang kalo disebut semua) sedang malas pulang dan masih duduk-duduk di sekitaran kampus. Namun, beberapa teman yang cewek memutusan untuk pulang. Ya, mungkin udah dijemput cowoknya dan lanjut malam Mingguan, kecuali Ria (makanya disebutin).
Kami memang sudah hafal atas kemacetan Pamulang setiap jam pulang kampus: pukul 5 atau setengah 6 sore. Maka dari itu, kami akan menunggu hingga selesai salat Magrib atau bahkan sehabis azan Isya. Biasanya menghindari macet dengan nongkrong atau makan-makan.
Iya, kami tipe mahasiswa kunang-kunang. Kuliah-nangkring-kuliah-nangkring.
“Kayak biasa, ya. Nongkrong dulu kita,” ujar Aldi ke teman-teman.
“Oke,” jawab anak-anak.
“Ng... gue gak bisa kayaknya deh,” kata Ria.
“Kenapa? Mau jalan sama cowok lu?” tanya Arief sewot.
“Ciyee malem Mingguan,” ledek gue.
“No. I don’t have money,” kata Ria sok berbahasa Inggris.
“I don’t have enough money kali,” kata gue sotoy dan bermaksud membenarkan.
“Oh, iya maksudnya itulah!”
Btw, yang bener gue apa Ria, sih? Muahaha. Bodo, ah.
Lanjut.
“Jorok lu pada! Ngomongin mani-mani segala,” kata Saddam yang entah kenapa sempet-sempetnya mikir mesum.
“Salah wey. Aturan mah meni,” celetuk Aldi yang mungkin maksudnya ialah “many”.
“Bener dong m-o-n-e-y dibacanya mani,”
“MENI!” Aldi ngotot. “Duit, kan, maksud kalian?”
Gue dan Ria tertawa atas kesotoyan Aldi.
“Iya, duit,” kata gue. “Tapi dibacanya mani bukan meni,”
“Iya. Kalo meni itu artinya banyak,” jelas Ria. “Yang tulisannya m-a-n-y,” lanjutnya sambil mengeja.
“Udah diemin aja. Aldi mah jago bahasa Inggrisnya,” kata Arief sarkas.
Aldi langsung malu sendiri dan bilang kalau dirinya lupa. Kami semua terus-terusan meledek kebodohannya barusan. Lalu, dia ngomel-ngomel nggak jelas. Akhirnya Ria tetap pulang dengan alasan nggak punya duit. Dan kami pun nongkrong tanpa Ria. Nongkrong nggak ada ceweknya emang bikin males.
***
Itu adalah sebuah kejadian yang nggak penting. Anehnya, gue malah menemukan ide untuk tulisan di blog. Yang berjudul: Kata yang Membuat Gue Terlihat Bodoh.
Seumur-umur, gue jarang banget terlihat bodoh, tapi kalo terlihat ganteng dan keren itu nggak usah dipertanyakan. Kalian juga udah pada tau, kan? Halah.
SOK KEREN DAH LU, YOG!
Jadi begini, gue akan mencoba observasi. Hm... atau lebih tepatnya mengumpulkan beberapa kata yang mirip dan membuat gue terlihat bodoh. Ya mirip seperti kebodohan Aldi di pembuka tulisan, “money” dan “many”.
OIYA, SOK GANTENG JUGA LU, YOG! (ini gue ngapain, sih?)
Skip.
Satu.
Gue masih ingat, ketika SD ada temen yang pernah cerita soal jalan-jalan ke PRJ (Pekan Raya Jakarta). Gue sendiri masih belum tahu banyak saat itu. Seumur-umur, gue baru ke sana dua atau tiga kali (sumpah gue merasa gagal sebagai anak Jakarta). Dan yang gue inget dari PRJ saat SD hanyalah rame banget dan gue pernah beli kerak telor di sana.
Lalu, di kemudian hari ada anak baru di kelas gue.
“Lu pindahan dari sekolah mana?” tanya gue basa-basi.
“Dari SDN 01 Kebayoran,” jawab si anak baru malu-malu.
“Oh, rumah lu di sana?” tanya gue SKSD. “Deket dong sama PRJ?”
“Kok PRJ?” tanya dia heran.
Dengan penuh rasa percaya diri, gue langsung menjawabnya, “Iya. Itu PRJ, kan, di Kebayoran.”
Dia memandang gue aneh. Seperti ingin bilang, “DASAR SOTOY KAU ALFONSO KEPARAT!” Tapi karena anak baru, ia tidak berkata apa-apa.
Gue lalu memanggil Agus—teman yang pernah cerita soal PRJ—, dan bermaksud menanyakannya.
“Gus, waktu itu lu, kan, pernah cerita soal PRJ. Nah, itu bener di Kebayoran bukan, sih?”
“Kemayoran, Yog,” jawabnya kalem.
Gue mulai bertanya-tanya dalam hati.
KEMAYORAN? JADI YANG BENER KEMAYORAN, BUKAN KEBAYORAN?
KEMA BUKAN KEBA.
Bodohnya diriku.
Karena salah gue langsung minta maaf ke anak baru. “Oalah. Maaf-maaf, gue ingetnya PRJ di Kebayoran, ternyata yang bener Kemayoran.”(LU SOK GANTENG SIH, YOG!).
Dan saat itu, gue langsung merasa gagal sebagai siswa yang mendapat peringkat satu di kelas. Gue langsung terlihat bodoh di mata temen sekelas maupun anak baru. Pas SD nggak bisa bedain mana Kemayoran dan Kebayoran. Ya, Tuhan.
Dua.
Gue dan beberapa teman SMP sedang bercerita mengenai liburan sekolah. Mereka sangat antusias untuk pamer masa liburannya: “Gue dong habis liburan ke luar negeri”; “Gue dong pulang kampung. Seru bisa ketemu kakek dan nenek”; “Gue dong, maen PS (PlayStation) setiap hari dan namatin Harvest Moon”.
Oke, yang terakhir itu gue. Ngenes banget liburan nggak ke mana-mana cuma bisa maen PS.
Di balik cerita liburan tersebut, gue sempat bertanya ke temen yang habis liburan ke kampung halamannya, “Emang kampung lu di mana?”
Di balik cerita liburan tersebut, gue sempat bertanya ke temen yang habis liburan ke kampung halamannya, “Emang kampung lu di mana?”
“Purwakarta dong! Hehehe,” jawab dia sangat bangga.
“Yaelah deket itu mah! Gue sering tuh ngelewatin setiap kali ke Jogja,” kata gue pede.
“Kok, Jogja?” tanya temen gue heran.
“Iya. Setiap ke Jogja gue pasti lewatin. Itu di Jawa Tengah, kan?”
“ITU PURWOKERTO BEGO!”
“Loh, emang beda?” tanya gue, bingung.
“BEDAAAA. PURWAKARTA TUH DI JAWA BARAT! GOBLOK LU!”
Aku bego, Mama. Aku goblok, Papa. Tapi aku tetep ganteng, kan? (sok ganteng lu, Yog!)
Yak, SMP gue memang masih bodoh. Nggak bisa bedain mana Purwakarta dan Purwokerto. Gini amat masa SMP gue, ya Allah.
Tiga.
Ini sebuah obrolan di kantor saat gue jadi anak baru.
“Ada yang punya pertanyaan?” tanya Supervisor saat penerimaan karyawan baru di kantor pajak.
“Soal gaji nih, Pak. Maaf sebelumnya. Ada bonus di luar gaji pokok nggak, Pak?” tanya salah satu karyawan baru.
“Ada. Yang sudah pasti ialah uang transport. Dan kalo bonus itu tergantung kinerja kalian. Jadi nanti kalian akan dapet insentif sebesar seratus ribu. Itupun jika kalian berhasil melebihi target pekerjaan,” jelas Supervisor.
Lalu, sekarang soal SMS-an sama pacar.
“Sayang, kamu ngerasa hubungan kita beda nggak, sih? Kita udah jarang komunikasi” tanya gue.
“Aku juga ngerasa gitu. Tapi itu, kan, karena kita udah sama-sama sibuk kerja. Ya, harus diakui kalo hubungan kita dan komunikasinya nggak bisa seintensif zaman sekolah dulu.”
“Iya, sih. Tapi rasa sayang kamu nggak berkurang, kan? Oiya, kok itu intensif? Hahaha. Insentif kali, Sayang.”
“Kok insentif? Maksud kamu? Kita lagi ngomongin hubungan, Yog. Bukan soal bonus gaji.”
“Lah, maksud kamu gimana, sih? Emang kalo intensif apaan?” tanya gue polos banget (lebih tepatnya bodoh)
“Insentif dan intensif itu beda. Intensif itu hal yang dilakukan terus-menerus. Insentif ya kayak bonus di luar gaji gitu.”
Gue langsung malu abis setelah coba ngecek kamus dan ternyata bener beda. Itu pas tahun 2012 kenapa gue bloon banget, ya? Kata yang mirip-mirip sampe lupa dan ketuker.
Dan yang lebih kacau...
nggak lama habis SMS-an bahas hal itu, si Pacar selingkuh. (INI NGAPA CURHAT WEY!)
Apa cuma gara-gara gue susah bedain mana intensif dan insentif terus diselingkuhin? YEKALEEE.
Empat.
Yang keempat apa, ya? Ah, kepanjangan udahan nih. Udahan aja ya, kayaknya cuma tiga aja. Ada yang mau nambahin nggak teman-teman? Langsung ketik di kolom komentar aja, yaaa.
Catatan: Ini ceritanya nyoba observasi, kok ujung-ujungnya malah story telling lagi, ya? Apakah emang gue cuma jago story telling (dibaca: curhat), daripada observasi? Hahaha. Gapapalah, yang penting nulis.
0 comments:
Post a Comment