Yang Kedua

Sudah 2 tahun berlalu, semenjak gue kehilangan seorang adik. Enggak. Adik gue nggak nyasar, kok.  Dia juga nggak diculik. Apalagi menghilang saat memakai cincin seperti di film The Lord of The Rings.

Halah.

Baiklah, gue akan memulai cerita ini.

Beberapa hari yang lalu, tepatnya tanggal 21 Oktober 2015, Agus (nama seorang temen yang disamarkan) berulang tahun. Setahun sebelumnya di tanggal yang sama, (21 Oktober 2014) Agus mengajak gue dan teman-teman lainnya untuk makan-makan di sebuah restoran—yang gue lupa namanya.

Tanggal segitu seharusnya lagi hemat-hematnya, tetapi di hari itu gue bisa makan enak. Alhamdulillah. Gue sangat gembira karena bisa makan gratis di saat uang tiris. Mantap!
Sampai akhirnya, di jalan mau pulang, memori di tahun sebelumnya (21 Oktober 2013) mengubah mood gue seketika. Rasa gembira itu kemudian sirna.


***

Memori itu ialah...

...saat selesai mandi dan ingin bergegas ke kantor, tiba-tiba suasana rumah menjadi gaduh. Beberapa tetangga mengucapkan, “Ikhlasin ya, Yog. Yang sabar.”

Gue masih belum mengerti apa yang terjadi.

Kemudian ingat, oiya Nyokap tadi subuh lahiran. Bersamaan itu pula, hape gue berdering. Ada panggilan masuk dari Bokap.

Setelah menjawab salam, gue langsung bertanya to the point, “Beneran, Yah?”
“Iya, bener,” kata Bokap. “Ya udah ikhlasin. Sekarang doain ibumu, ya. Malah pendarahan banyak nih. Terus nanti tolong anterin adiknya, kalo kamu mau tetep masuk kerja gapapa.”
“Iya,” kata gue, udah nggak tahu mau ngomong apa lagi.

Bokap mematikan teleponnya. Gue segera mencopot seragam kerja gue, ngabarin temen kantor untuk menyampaikan ketidakhadiran gue.

Saat mengantar Sadam—adik gue—pergi sekolah, gue membuka obrolan, “Dam, nggak usah sedih. Lo tetep fokus sekolah aja, ya,” kata gue kepada Sadam.
“Iye, kagak,” katanya cuek.

Di tengah perjalanan menuju sekolahnya, gue melihat seorang ibu yang menggendong bayi. Hati gue remuk seketika. Embun di sudut mata yang dari tadi tertahan-tahan mulai menetes perlahan, dan membasahi pipi. Kemudian gue menghapusnya.

Sesampainya di depan gerbang sekolah, gue kembali menasihatinya untuk belajar yang rajin biar adiknya yang baru banget pergi bisa tersenyum lihat kakaknya berprestasi. Namun, dia malah ngatain gue “lebay dan drama”.

BANGKE! ADEK KURANG AJAR!

Lagi sendu gini, malah dibikin kesel.

“Oiya, itu mata lu kenapa? Lu nangis, Mas?” tanya Sadam.
“Kagaklah. Ini kelilipan gue tadi. Kaca helm lupa ditutup,” jawab gue ngeles. Tidak mau terlihat cemen di depan adik sendiri.
Sadam pun sekolah, gue kembali ke rumah.

Di jalan pulang menuju rumah, air mata itu bercucuran. Gue pengin segera sampe rumah. Buru-buru mengurung diri di kamar, dan menikmati masa-masa melankolis.

Gue ternyata emang cemen.

***

Kembali ke Oktober 2014

Memori itu tentang kematian adik gue. Baru juga setahun, gue hampir lupa. Gue merayakan ulang tahun temen dan seneng-seneng, tetapi melupakan kelahiran dan kematian adik gue sendiri. Bodoh sekali rasanya.

Sepulangnya ditraktir Agus, gue memutuskan besok sepulang kerja untuk mampir ke makam adik gue. Saat berziarah, gue sudah tidak mengeluarkan air mata lagi. Gue juga sudah ikhlas. Bahkan, sebelumnya gue sempat melupakan tanggal lahirnya. Terkadang manusia yang sudah mati memang terlupakan. Namanya pun hilang begitu saja. Mungkin awal-awal akan selalu diingat. Banyak yang mengunjungi makamnya. Juga ada yasinan setiap 7, 40, dan 100 harian (bagi yang muslim). Lama-lama hanya ditengok setahun sekali setiap menjelang puasa atau lebaran.

Gue mulai kepikiran soal itu. Lalu, beberapa bulan setelah mampir ke makamnya itu, gue mendadak rindu dan terciptalah puisi ini,

Kuingat saat itu,
pertama kalinya kita bertemu.
Aku hanya menatapnya. Memendam tanya.

Kuingat saat itu,
menyaksikan kepergianmu yang bisu.
Tanpa senyuman, tanpa tangisan.

Kuingat saat itu,
Ketika hati ini ditikam rindu.
Gerimis di sudut gelap mataku.
Mengalir indah dan membeku.

Kuingat saat itu,
pertama kalinya singgah di rumahmu.
Membawakanmu bunga, menabur cinta.


Rasanya, saat membaca puisi barusan dan menuliskan cerita ini gue mau menjerit-jerit. Gue pengin teriak sekencang-kencangnya, “SAMBALA. SAMBALA. BALA. SAMBALADO....”
Btw, ini lagu apaan, sih?

Ah, efek tetangga sering dengerin. Suara itu ikut terngiang-ngiang di kepala gue.

Oke-oke, serius. Lanjut.

Itu beberapa bagian puisi yang sempat gue posting di tulisan MEMFIKSIKAN(jika kalian penasaran sama versi lengkapnya).

Entah, gue nggak nyangka bisa bikin puisi sedalam itu. Di saat itu, gue rasanya lagi kangen banget sama adik gue. Jadi, di saat menuliskan puisi itu, gue memang mengingat-ingat hal yang menyedihkan tentang adik gue.

Gue nggak jadi ngantor dan mellow di kamar. Kemudian sadar kalau banyak tamu yang melayat, gue pun menemani dan menyalami tetangga yang sudah meluangkan waktunya untuk bersungkawa ke rumah. Ya, sembari menunggu kehadiran jenazah adik gue.

Lalu, tak lama itu jenazah adik gue sampe rumah. Dan itulah saat pertama dan terakhir kalinya gue ngeliat adik gue. Dia hanya terpejam, sedangkan gue masih mengharapkan ia membuka matanya agar bisa memandangi rupa kakaknya.

Gue ingat saat membuka lemari, ada beberapa pakaian bayi: baju, celana, sarung tangan, dan kaos kaki. Semuanya belum pernah terpakai.
Benda-benda itu tiba-tiba menusuk dada gue. Sesak sekali.

Gue tiduran sambil menatap langit-langit. Seandainya tidak seperti itu. Gue bisa  gendong-gendong dia. Bisa lihat dia tertawa-tawa. Bisa mengelap ilernya yang menetes-netes. Bisa foto bareng dan pamerin itu di Instagram. Bisa ngajarin dia berbicara. Terus juga pengin kesel-kesel bahagia karena diompolin, pengin nyemangatin dia pas belajar jalan, dan pengin ngasih tau dia supaya gedenya nggak jadi cabe-cabean.

Namun, takdir berkata lain.

Adek yang gue—dan pastinya orangtua—tunggu-tunggu sudah pergi. Emang, sih, kematian itu datengnya gak ada yang tau. Dia belum sempet pamitan, tapi udah pergi meninggalkan kami buat selama-lamanya.


Itu mungkin udah jalannya. Gue juga nggak bisa menyalahkan takdir. Yang sudah pergi, ya sudahlah. 

Dan terakhir sambil menutup tulisan ini, gue cuma mau bilang, “Selamat ulang tahun yang kedua, Dek Aulia. Tulisan ini Kakak tulis untuk mengenangmu.”

PS: Diketik pada akhir bulan Oktober 2015.
SHARE

Unknown

  • Image
  • Image
  • Image
  • Image
  • Image
    Blogger Comment

0 comments:

Post a Comment