Laki-laki Pemalu

Nanti malam, kan ia jerat rembulan. Disimpan dalam sepi, hingga esok hari.
Lelah berpura-pura, lelah bersandiwara. Esok pagi kan seperti hari ini.

Potongan lirik dari lagu Efek Rumah Kaca atau Pandai Besi barusan bikin gue inget akan suatu hal.



Jadi, gue dulunya adalah laki-laki yang pemalu. Kalo sekarang, tentu sudah terlihat dengan jelas... malu-maluin banget.

Oke-oke, serius.

Sejak SD-SMP, gue paling nggak bisa deket sama cewek. Sama cowok aja, harus yang bener-bener kenal deket. Beneran, gue emang anaknya pemalu banget. Tumbuhan Putri Malu aja kalo nggak sengaja gue sentuh, malah gue yang langsung kabur.

Emaap.


Gue masih inget banget waktu kelas 2 SD, di mana temen yang cowok mulai bercandaan sama temen yang cewek. Entah mereka main lari-larian, tak jongkok, dan lain-lain. Gue sendiri cuma bisa diem, melihat keseruan mereka. Dalam hati padahal juga pengin. Seandainya gue bisa ikutan main sama mereka.

Lagi asyik-asyiknya mengamati mereka, salah satu dari mereka malah mengajak gue ikutan.
“Yog, ikutan main yuk! Yang lain pada mainan tuh, lu jangan duduk doang.”
Gue hanya tersenyum dan menggelengkan kepala. Gue lebih senang menikmati kesendirian ini.
“Dih, diajak ngomong juga. Malah geleng-geleng aja.”

Sejak saat itu, gue pun terkenal sebagai anak pendiam dan pemalu di kelas.

***

Sampai kelas 4 SD, gue masih belum akrab sama temen-temen sekelas. Padahal, muridnya juga itu-itu aja. Hingga, guru—sekaligus wali kelas—di kelas itu menyuruh kami duduk sebangku dengan lawan jenis.
Setelah dipasang-pasangkan, gue kebagian duduk sendirian. Alhamdulillah, jumlah laki-lakinya lebih banyak daripada cewek.

Seminggu kemudian, ada anak baru di kelas gue, cewek pula. Mau nggak mau, cewek ini pun duduk sebangku sama gue.

Setelah diketahui, nama cewek ini adalah Dwi. Dia ini rambutnya lurus sebahu. Kulitnya hitam, tapi nggak manis.

Pertama kali dia duduk di samping gue, gue begitu cuek. Nggak ada sepatah kata pun yang bisa gue lontarkan. Akhirnya, dia yang memecah keheningan.

“Lu kenapa diem aja dari tadi?” tanya dia. “Nggak pernah duduk sama cewek cakep, ya?”
Bangke. Ini anak sekali ngomong langsung pede banget.
Gue hanya bilang, “Gapapa. Emang biasa duduk sendirian. Jadi jarang ngomong.”
“Oh.”
***

Lama-kelamaan, gue malah akrab sama si Dwi. Ya, habisnya dia doang yang sering ngajak ngobrol gue. Ternyata, Dwi ini emang orang yang cerewet.

Sejak saat itu, atau lebih tepatnya berkat duduk sebangku sama Dwi, gue mulai membiasakan diri jadi anak yang tidak terlalu pemalu. Gue mulai sering ngobrol dan ikutan bermain dengan teman yang lain sepulang sekolah. Entah itu main bola, main sepeda, ataupun main PlayStation di rumah Rangga—salah satu temen SD gue.

Apalagi pas kelas 6, gue udah temenan 6 tahun sama mereka. Masa masih memilih jadi penyendiri terus. Gue pun bergaul dengan temen-temen sekelas. Gue mulai akrab sama mereka. Dan gue mulai mengerti akan sesuatu hal yang tidak bisa gue temui saat sendirian; sebuah kesenangan atau kebahagiaan yang didapatkan dari pertemanan.

***

Setelah kelulusan SD, gue masuk ke SMP favorit pilihan guru gue. Di SMP, gue tidak memiliki teman yang dari SD. Jadi, tidak ada yang gue kenal di SMP favorit itu. Lagi-lagi gue sendirian.

Namun, di kelas gue itu lumayan banyak cewek cantiknya. Ini membuat gue tetap semangat sekolah meskipun tidak punya teman yang sudah akrab.

Ada satu cewek yang pengin gue ceritain. Iya, cewek yang sampai sekarang nggak mungkin bisa gue lupain gitu aja. Entah, ini cinta pertama atau bukan. Gue juga ragu kalau itu bisa disebut cinta.
Gue inget bentuk giginya yang mirip kelinci, terus rambutnya yang panjang bergelombang, dan.... Hmm, itu aja yang bisa gue inget.

Saat MOS, dia lupa membawa satu perlengkapan yang wajib dibawa oleh peserta MOS. Dia pun dihukum suruh nyanyi di depan kelas oleh para senior, tetapi dia hanya menunduk dan diam saja.
“Kenapa kamu nggak nyanyi?” tanya senior.
“Ng... nggak bisa, Kak,” jawabnya gemetaran.
“Nyanyi balonku, bintang kecil, atau apa kek. Masa nyanyi aja nggak bisa,” sahut senior yang lain.

Karena setelah ditunggu-tunggu dia tetap tidak menyanyi juga, para senior pun kesal dan menyuruh dia duduk kembali. Anak-anak yang lain pun menyorakinya, “WOOOOOOO!”

Sejak saat itu, gue mulai memerhatikannya. Namanya Farah. Gue masih ingat betul. Gue tidak berani menyebutkan nama lengkap. Ya, takutnya dia nyasar dan baca blog ini, kan, bahaya. Asli, ini gue ngetiknya pede banget ya Allah.

Kalo nggak salah, di kelas ini ia juga tidak punya teman yang satu sekolah dengannya. Kalau jam istirahat, dia hanya diam di kelas dan tidak turun ke kantin. Iya, dia bawa bekel dari rumah. Dia juga jarang banget ngobrol, kecuali sama temen sebangkunya—yang cewek juga.

Sumpah, ini buat gue lucu banget. Ada cewek pemalu, yang diperhatiin sama cowok pemalu juga. Kalau kami berdua pacaran, pasti cuma diem-dieman. Ngobrolnya lewat suara hati. Asyek.

Berhari-hari gue terus mengagumi dia. Tanpa pernah ada komunikasi antara kami berdua, baik langsung maupun tidak langsung. Berbulan-bulan gue lalui hanya jadi pemuja rahasia. Satu semester berlalu, gue masih betah jadi pemerhati dirinya.

Akhirnya, masa itu pun tiba; saat pembagian rapor dan kenaikan kelas. Selama setahun, gue nggak punya kenangan apa-apa sama dia. Boro-boro ngobrol. Kalaupun pernah, ya paling sekali-dua kali pas maaf-maafan puasa atau lebaran. Gue cuma bisa memandanginya dari jauh. Gue terlalu pemalu. Ya, gue adalah seorang laki-laki pemalu. Atau lebih tepatnya kalian boleh panggil gue lelaki cemen.
Sama temen satu kelas aja gue nggak bisa berbaur. Selama setahun, hanya segelintir yang gue kenal baik. Sisanya cuma temen-temen yang 'Say, helo.'

Terkadang gue mikir, gue nggak bisa selamanya begini terus. Mau sampai kapan?

Setelah melakukan perenungan yang cukup panjang, gue memutuskan nanti di kelas 2 harus bisa deketin dia. Berusaha akrab sama temen-temen yang lainnya juga. Gue juga berdoa supaya bisa sekelas lagi sama dia.

Namun, takdir malah berkata lain. Dia tidak sekelas sama gue, dan dia juga pindah sekolah. Gue sungguh menyesali kenyataan itu.

Terkadang gue mulai menggunakan kalimat ‘seandainya’. Misalnya, seperti ini: “Seandainya gue lebih berani, mungkin gue bisa ngobrol banyak hal sama dia.”; “Seandainya gue punya hape, gue pasti masih bisa kontekan sama dia.”; “Seandainya dia nggak pindah sekolah, gue nggak akan kehilangan dia.”

Gue seperti merasakan kehilangan sesuatu yang belum pernah gue miliki. Asli, ini rasanya random banget.

Akhirnya gue sadar, mungkin itu emang udah jalannya. Gue juga belajar banyak sama kejadian yang telah gue alami. Sejak saat itu, gue nggak mau lagi jadi pemalu. Sifat pemalu itu malah bikin ribet hidup gue.

Entah sekarang dia ada di mana, semoga dia selalu bahagia. Gue pengin sekali aja melihat dia dari kejauhan. Ya, anggep aja lagi bernostalgia menjadi seorang laki-laki pemalu.
Hai, Farah. Yoga kangen nih. Sampe-sampe kangennya dijadiin tulisan.

Terima kasih sudah membaca sampai habis. Ada yang punya cerita tentang sifat pemalu? Atau cerita yang malu-maluin? Curhatin aja di komentar.
SHARE

Unknown

  • Image
  • Image
  • Image
  • Image
  • Image
    Blogger Comment

0 comments:

Post a Comment