Keset Kusut, Tulisan Welcome



Melihat gambar di atas, gue mencoba merangkai sebuah cerita dari beberapa gambar tersebut.
Gue hanya mengambil beberapa gambar: burung, layangan, gitar, bulan, bintang, toga, nenek-nenek, ikan lele, cumi-cumi, motor, dan terakhir keset bertuliskan welcome.

Beginilah cerita berdasarkan imajinasi gue.

Sebelumnya, perkenalkan, nama gue Agus Hendrawan. Gue adalah mahasiswa tingkat akhir yang galau akan skripsi. Iya, skripsi gue nggak kelar-kelar. Ini semua karena gue salah ngambil jurusan. 

Gue mengambil jurusan Teknik Informatika sesuai wasiat nenek yang sudah meninggal. Sebelum meninggal, nenek gue pernah bilang, “Cu, nenek cuma mau pesen sama kamu. Kalo kuliah nanti, kamu harus ngambil jurusan Teknik Informatika, ya. Karena di masa depan nanti, jurusan itu akan sangat dibutuhkan dan dicari oleh perusahaan-perusahaan.”

Padahal, gue nggak ngerti sama sekali tentang kode-kode HTML. Bikin pusing. Gue lebih suka merangkai kata, dulu gue niatnya pengin masuk sastra. Tapi karena itu wasiat, ya gue harus nurut. 


Gue nggak mau nanti ketika gue di wisuda, almarhumah nenek gue itu keluar dari kuburannya.
“Kamu tidak nurut apa kata nenek, kelulusanmu tidak nenek restui,” kata hantu nenek gue sambil mengambil toga yang gue pakai.

Horor abis.
Namun, galau akan skripsi itu masih belum ada apa-apanya. Kegalauan gue akan sebuah cerita cinta ini lebih bikin mumet dan uring-uringan. Sudah 20 tahun lebih gue menjadi jomlo. Kalau dari SD-SMA gue masih jomlo itu mungkin wajar. Gue masih fokus untuk sekolah. Tapi gue ini udah kuliah, masa gue nggak punya pacar? Di saat temen-temen gue udah pada punya belasan mantan, satu pun gue nggak punya. Ini semua karena suatu hal.

***

Di suatu malam Minggu, gue lagi asyik memainkan gitar sambil memandangi langit yang  kebetulan sedang bulan purnama. Gue mulai menyanyikan lagu Zigas yang Sahabat Jadi Cinta.

Satu kata yang sulit terucap
Hingga batinku tersiksa
Tuhan tolong bantu aku jelaskanlah
Perasaanku berubah jadi cinta

Sedih banget rasanya, di saat orang-orang pada kencan sama pasangannya, gue malah memilih nyanyi-nyanyi sambil main gitar sendirian di teras rumah. Namun, gue tidak benar-benar sendirian, bintang-bintang ikut meramaikan dan menghiasi malam Minggu gue.
Gue memilih menyanyikan lagu itu karena gue risau akan kisah gue sama Rani—sahabat gue. Gue pun mengingat-ingat kenangan-kenangan gue bersama Rani sejak SMA sampai saat ini.

***

Ketika gue kelas 2 SMA, di hari Senin yang kebetulan upacara bendera, gue lupa membawa topi. Bagi para siswa-siswi yang tidak membawa seragam lengkap, tentu saja harus dihukum berdiri di depan para peserta upacara.

Kampretnya, di hari itu, cuma gue sendiri yang nggak bawa topi. Rasanya semesta sedang benci sama gue.
Tak lama setelah itu, ternyata ada cewek yang juga ikut dihukum bersama gue. Cewek ini berambut lurus, kulitnya kuning langsat, dan terdapat tahi lalat di sebelah kanan pipinya yang terlihat seperti choco chips.

Cewek ini manis juga. Batin gue.

Gue terlalu berburuk sangka kepada semesta. Gue justru dipertemukan jodoh. Kalo begini jadinya, gue rela deh dihukum setiap upacara. Yang penting gue bisa berduaan sama dia.
Setelah upacara berakhir, ia langsung berjalan menuju kelasnya. Gue yang tersihir akan wajah manisnya, langsung mengikutinya.

“Hei, cewek,” panggil gue.
Dia menghentikan langkahnya dan menengok, lalu bilang, “Apa?”
“Lu kelas berapa? Kok gue baru lihat elu,” tanya gue.

Dia terdiam sebentar dan mengernyitkan dahinya.

“Gue 11 IPA D,” katanya.
“Oh, jurusan kita sama.” Jangan-jangan kita jodoh?“Gue Agus, 11 IPA A. Nama lu siapa?” tanya gue sambil menyodorkan tangan bermaksud mengajaknya berkenalan.
“Rani. Rani Lestari. Duluan, ya. Udah mulai pelajaran nih.”
“Oke. Salam kenal.”

Dia tersenyum dan berjalan meninggalkan gue yang masih berdiri mematung. Asli, gue nggak percaya, baru kali ini gue tau-tau berani ngajak kenalan cewek.
Sejak kenalan itu, gue jadi sering memerhatikan Rani; Rani lagi makan di kantin, Rani lagi selonjoran sambil main HP di kelasnya, dan Rani lagi makan HP temen sekelasnya sambil selonjoran di kantin.
Oke, ngaco.

***

Ketika kelas 12, kebetulan kami sekelas. Gue nggak nyangka akan pertemuan ini. Lagi-lagi gue berdoa dalam hati. Semoga dia jodohku ya Tuhan.

Benar saja, gue ditunjuk sama guru untuk duduk bersebelahan sama Rani. Sejak duduk sebelahan, gue jadi mengenal Rani lebih jauh. Dia suka banget sama makanan sea food, dia anak yang asyik diajak bercanda, pokoknya seru habis anaknya.

Seru banget rasanya ngobrol sama Rani, nggak pernah kehabisan topik. Hehehe. Kami berdua sering banget SMS-an, kadang juga teleponan sambil curhat-curhatan masalah di rumah.

Dan perasaan gue terhadap Rani pun semakin dalam.

Apalagi ketika gue dan dia jadi sering pulang bareng. Saat pulang sekolah bareng, gue jadi ingat ketika ban sepeda motor bocor di tengah jalan. Waktu itu, posisinya agak jauh dari tambal ban. Mau nggak mau, gue pun harus mendorong motor itu. Saat gue ingin mendorong motor dan menyuruh Rani turun dari motor, ia malah diam saja pura-pura tidak mendengar.

“Ran, turun apa. Gue mau dorong ini. Lu kan berat juga.”
“Bodo. Salah sendiri kenapa pake bocor,” kata Rani. “Enak aja berat! Berat badan gue cuma 45 kg!” lanjutnya.
“Ah, gitu amat lu, Ran. Bantuin dorong, kek,” keluh gue.
“OGAAHHH, YEEEEE!” kata Rani sambil menjulurkan lidahnya bermaksud meledek-ledek gue.
Melihat kekonyolannya itu, gue pun tertawa. Mau nggak mau, gue harus mendorong motor itu sampai tambal ban yang jaraknya masih lumayan jauh.
“Ah, payah Agus dorongnya lama! LEMAH AMAT LU JADI COWOK!”

***

Sampai menjelang kelulusan, Rani masih tetap menjomlo, begitu pun gue. Ingin rasanya gue nembak Rani, tapi gue nggak pernah bisa gimana cara ngungkapinnya. Setiap gue mau ngomongin tentang perasaan gue, lidah gue begitu kaku.

Setelah lulus, kami kuliah di tempat yang berbeda. Gue di Tangerang, Rani di Bandung. Namun, gue masih tetap kontekan sama Rani. Terkadang kami juga sempat mengatur jadwal untuk bertemu.
Waktu itu, ketika liburan semester 2, Rani menyuruh gue main ke Bandung. Dia bilang kangen sama gue karena udah lama nggak ketemu. Dia juga bilang pengin cerita banyak hal. Gue nggak percaya, Rani bilang kangen sama gue. Dibilang kangen aja rasanya seperti diajak nikah. Hahaha. Gue memang berlebihan dengan respons Rani.

***

Saat bertemu di Bandung, Rani mengajak gue makan di restoran sea food. Gue masih ingat, Rani waktu itu memesan pecel lele kesukaannya sejak kecil, dan gue memesan menu ‘Cumi Saus Tiram’.
Anehnya, dia nggak pernah makan cumi. Dia hanya yang suka ikan-ikan begitu. Yang gue nggak ngerti, kenapa dia mesennya pecel lele. Padahal, lele nggak hidup di laut. Ya, Rani emang aneh.

“Emang cumi rasanya enak, Gus?” tanya Rani.
“Nih, cobain aja.”
“Ogah, tar pas gue makan keluar tinta item lagi.”

Gue tertawa mendengar kepolosannya.

Seusai makan, Rani mengajak gue ke Bukit Bintang. Gue baru tau, kalo di Bandung ada tempat sebagus ini. Sumpah, indah banget pemandangannya. Tapi, nggak ada yang lebih indah dari senyuman Rani.

Kami mengobrol banyak hal sambil melihat suasana Bandung di malam hari dari ketinggian. Kali ini, gue akan nembak Rani. Namun, lidah gue malah kelu.
Belum sempat gue menyatakan perasaan ini, Rani tiba-tiba curhat.

“Gue jadi inget 3 bulan yang lalu pas ditembak sama Eko. Dia romantis banget ngajak gue ke tempat indah ini. Ah, nggak terasa udah 3 bulan pacaran.”
“Hah? Lu udah punya pacar?” tanya gue, sok cool. ( Dalam hati bilang: “APAAAAHHH LU PUNYA PACAR? TIDAAAKKKKK! )

Rani pun bercerita panjang lebar tentang pacarnya. Dia tampak bahagia saat menceritakannya. Gue hanya pura-pura bahagia ketika mendengarkannya.

“Selamat, ya. Semoga langgeng. Akhirnya lu punya pacar juga. Bahagia gue dengernya. Hehehe,” kata gue, sok bahagia. Padahal, hati gue hancur. Bertahun-tahun gue pendam rasa, saat ini gue mati rasa mendengar Rani udah punya pacar.
“Kapan-kapan lu harus ajak cewek ke sini, Gus. Terus lu tembak deh!” saran Rani.

Gue pun tertawa. Tapi hati gue menangis.
Perasaan gue ditarik ulur sama Rani seperti layang-layang. Di saat gue sudah diajak terbang tinggi bagaikan burung yang bebas, Rani malah mematahkan sayap gue. Rani terbang bersama Eko. Gue terjatuh dari ketinggian.
Sakit banget.
***

Saat semester 6, gue kembali bertemu dengan Rani. Kali ini, Rani yang main ke Tangerang. Gue nggak tahu, kenapa gue masih mau menemuinya. Padahal, gue sudah kecewa akan kejadian di Bukit Bintang Bandung ketika semester 2 itu. Hati gue seperti tulisan di keset, yang akan tetap welcomesama Rani.

Rani bercerita tentang konflik dan masalah-masalah sama pacarnya yang semakin parah. Hubungannya sudah di ujung tanduk. Mendengar curhatannya itu, gue malah berharap mereka segera putus.

***

“Lu sendiri masih jomlo, Gus?” tanya Rani.
“Hahaha.” Gue hanya bisa tertawa.
“Mau sampe kapan? Nanti pas wisuda nggak ada pendamping nggak enak, loh.”

Sampe lu putus dan jadi pacar gue.

Ternyata, gue masih menyimpan rasa untuk Rani. Gue nggak bisa bohongin perasaan ini. Setiap di dekatnya, gue selalu merasa ‘Rani adalah wanita yang tepat’.
“Gus, kok diem?” tanya Rani.
“Belum ketemu yang cocok, Ran. Sekalinya udah ketemu, dia ternyata udah punya pacar,” jawab gue.
“Wah, parah! Ngenes banget kisah lu! Hahaha.”

Dia merasa tidak berdosa sama sekali. Padahal dialah orang yang gue maksud.


***

Gue nggak sengaja baca twit-twit galau Rani. Sepertinya, dia sudah putus sama pacarnya. Mengetahui keadaan itu, gue langsung telepon Rani. Gue berusaha menghiburnya sebisa mungkin. Lalu, ia pun menyuruh gue ke Bandung keesokan harinya.

Di sebuah tempat makan pinggir jalan, gue menjadi pendengar yang baik. Rani menceritakan semua kekacauan yang terjadi dalam hubungannya.

“Lu sebenernya putus apa gimana sih, Ran?” tanya gue.
“Belum, gue sama Eko break doang. Katanya dia capek sama sifat gue yang minta dingertiin mulu.”
“Lah, kan pacaran emang harus saling pengertian. Kalo nggak bisa ngertiin buat apa?” kata gue, kesal.

“Eko lebay banget, Gus. Masa gue disalah-salahin terus. Waktu gue banyak tugas, dia ngomel-ngomel kalo gue nggak ada waktu buat dia. Padahal, emang beneran banyak tugas. Namanya juga udah semester 6. Giliran gue udah nggak sibuk, dia malah yang sibuk. Sempet waktu itu, gue pengin banget ketemu. Gue bener-bener kangen sama dia, dia bilang ada turnamen futsal. Gue temenin masa nggak mau.”

“Eh, bukannya kalo lu temenin dia bakalan semangat, ya?” tanya gue, heran.
“Makanya, gue juga nggak ngerti sama dia. Dia katanya males ngajak pacar, takut gue naksir temennya yang jago futsal dan lebih ganteng. Cemburuan amat si Eko. Padahal gue sama dia udah pacaran 2 tahun lebih.”

Hujan pun turun begitu deras di sudut matanya.

Gue pun refleks mengelap air matanya. “Udah, nanti juga baikan lagi. Kalian sama-sama butuh waktu buat introspeksi,” kata gue, sok bijak.

Rani pun sudah mulai tertawa-tawa karena lelucon gue. Gue seneng bisa membuatnya tersenyum lagi. Saat sedang asyik-asyik bercanda, kemudian datang seorang cowok mengemudikan motor yang kemudian memarkirkan motornya di dekat tempat kami duduk. Cowok itu pun menghampiri kami berdua.
“JADI GINI, PAS LAGI BREAK MALAH ASYIK-ASYIKAN SAMA COWOK LAIN! BAGUS!” bentak cowok itu penuh emosi.
Gue langsung refleks berdiri. “SIAPA LU DATENG-DATENG RUSUH?”
“LU YANG SIAPA?!” tanya cowok asing ini.
“Eko,” ujar Rani.
“Oh, lu Eko?” tanya gue ke cowok itu.

“INI SIAPA, RAN? KAMU SELINGKUH!” Eko masih belum bisa meredakan emosinya.
“INI TEMEN AKU! KAMU JANGAN MARAH TERUS NUDUH-NUDUH APA!” bentak Rani.

Rani pun menjelaskan tentang diri gue. Gue mendengar Rani mengucap ‘Dia Agus, sahabat yang sering aku ceritain itu. Dia temen aku dari SMA. Aku nggak ada apa-apa sama dia. Dia cuma sahabat baik aku, nggak lebih!”
Kemudian cowok itu menghampiri gue dan bilang, “Oh, sorrygue udah salah paham, Bro. Makasih udah nemenin dan menghibur Rani.”
“Oke, ya udah gue duluan, ya,” kata gue, tersenyum. “Jangan berantem lagi!” lanjut gue meledek.
“Hahaha. Hati-hati, Gus,” kata Rani.
Gue pun pergi meninggalkan mereka berdua. Sekali lagi, hati gue telah dipatahkan. Kata-kata itu terus menerus terngiang di telinga gue.

DIA CUMA SAHABAT BAIK AKU, NGGAK LEBIH.

DIA CUMA SAHABAT. NGGAK LEBIH.

SAHABAT. NGGAK LEBIH.

SAHABAT.
***

Ku dapati diri makin tersesat
Saat kita bersama
Desah nafas yang tak bisa dusta
Persahabatan berubah jadi cinta

*tring....tring....treng....treng....tring....tring....*

Saat gue masih asyik menyanyikan lagu Sahabat Jadi Cinta, terdengar suara dari HP gue. Gue lihat layar, Rani yang menelepon gue. Tanpa ragu-ragu, gue langsung angkat.
“Agus di mana? Gue di Tangerang, nih. Temenin gue hangout, yuk.” Suara Rani terdengar begitu lembut.

Rani mengajak gue bertemu. Kebetulan banget, gue akhirnya bisa malem Mingguan. Ya, lagi-lagi gue masih tetap welcome sama dia.
***

“Hahaha. Dasar! Masih aje berantem gara-gara hal sepele,” ledek gue.
“Dih, lagian dia egois banget.”
“Lu juga egois menurut gue, Ran.”
“Egois gimana?” tanya Rani.
Lu nggak pernah mikirin perasaan gue sekalipun, Ran. Lu egois! Lu nggak pernah tahu akan isi hati gue selama ini.
“Gapapa,” jawab gue, bohong.

Kemudian kami pun makan sea food di tempat makan pinggir jalan. Masih sama seperti dulu, Rani masih dengan menu favoritnya, pecel lele. Gue pun Cumi Saus Tiram. Yang berbeda, kali ini Rani mau nyobain cumi pesanan gue.
“Nggak takut ada tinta itemnya nanti pas dimakan?” ledek gue.
“HAHAHA SIALAN!”

Lagi asyik bercandain Rani, HP Rani kemudian berdering. Rani pun tidak mengangkat teleponnya.
“Kenapa nggak diangkat?” tanya gue, penasaran.
“Si Eko. Males ngomong.”

HP itu berdering kembali.
“Angkat aja. Mungkin dia mau minta maaf,” saran gue.
Rani pun mengangkatnya, dan beranjak dari kursinya untuk menjauh dari gue.
“Lagi sama Agus, di daerah BSD.”

Hanya kalimat itu yang gue dengar.
***

Saat gue sama Rani lagi bermain game di HP untuk adu banyak-banyakan skor, tiba-tiba Eko datang.
Eko kemudian meminta maaf atas segala sikap buruk dan keegoisannya selama ini kepada Rani. Gue hanya mendengarkannya.
Melihat Rani yang baikan sama Eko, gue pun ikut merasa bahagia. Gue sadar, gue harus segera pulang. Gue tidak ingin merusak suasana.

“Ran, Ko, gue duluan ya. Gue lupa kalo malam ini ada janji sama temen. Hehehe.”

Setelah pamitan, gue pun segera kembali ke rumah.

Di kamar, gue langsung tiduran di kasur sambil memandangi langit-langit. Gue akan banyak merenung malam ini.

Mungkin saat ini gue masih tetap mencintai Rani. Gue juga akan tetap welcome sama Rani. Meskipun hati gue sudah kusut seperti keset, meski harga diri gue seperti diinjak-injak, meski gue sudah dikecewakan. Namun, gue akan terus seperti tulisan di keset.

Welcome.

Selalu ada tempat di hati gue ini untuk seorang Rani. Mungkin saja suatu saat nanti dia berdiri di atas keset kusut, dia lalu mengetuk pintu hati gue. Dia ingin masuk ke hati gue dan mulai mencintai gue.

Ya, tulus dan bodoh itu memang beda tipis. Gue masih saja berharap. Tapi gue yakin, kalau memang gue tidak ditakdirkan sama Rani. Pasti akan tiba suatu hari di mana gue menemukan kebahagiaan gue sendiri.

Mungkin Tuhan hanya ingin mengajari gue apa itu ketulusan. Mungkin juga Tuhan hanya menyatukan kita dalam persahabatan, tapi tidak untuk berbagi kebahagiaan menjadi sepasang kekasih.

Tamat.

Akhirnya, gue ikutan juga GA-nya si Arie Janjan. Hahahaha. Selamat atas kelahiran buku pertama lu, Bro. Ciyeee bentar lagi terbit. Sebagai temen blogger, gue merasa seneng kalau ada yang nerbitin buku. Semoga gue nanti juga bisa ketularan nulis dan nerbitin buku juga. Aamiin.

Gila, gue baru sempet nulis di hari terakhir. Berasa dikejar deadline. Hehehe.
Kalaupun nggak menang ya nggak apa-apa, setidaknya gue sudah ikutan. Karena syaratnya cuma satu: jangan sampe nggak ikutan. Yoi, gue sudah berpartisipasi.



Terima kasih yang sudah membaca sampai habis.


SHARE

Unknown

  • Image
  • Image
  • Image
  • Image
  • Image
    Blogger Comment

0 comments:

Post a Comment