Curhatan Pengangguran dan Ijazah Palsu

Bagi kalian yang udah baca tulisan gue yang Menjadi Pengangguran dan Proses Mencari Kerja, tentunya tidak asing lagi dengan status gue sekarang: Pengangguran.

Gue cuma mau curhat lagi aja, karena blog gue ini memang 70% curhatan semua. Temen gue ada yang pernah bilang, “Yog, nggak tau kenapa, gue kalo baca tulisan lu yang curhatan itu selalu keren. Padahal itu hanya curhat biasa, tapi lu bisa keren gitu nulisnya.”


Terus ada yang bilang gini juga, “Eh, tulisan lu randomabis, ya? Kadang lucu, kadang garing, kadang ada pesan yang bikin gue semangat dan termotivasi, kadang juga mesum. Bajingan emang lu! Anehnya, gue suka aja sama ciri khas tulisan lu. Malah gue kadang nunggu tulisan lu yang baru.”
Gue malah baru tau, kalo curhatan ada yang bilang keren. Hehehe. Gue juga nggak ngerti ada yang suka sama gaya nulis gue yang masih jelek ( menurut gue ).

Btw, makasih atas penilaiannya itu, terus kritik dan saran, serta udah nungguin tulisannya. Makasih juga sama temen-temen yang sering meramaikan kolom komentar di blog gue. Tanpa kalian, gue bukanlah apa-apa. Sekali lagi, terima kasih. :)

Oke, langsung aja.

Hidup di Jakarta itu keras, ya. Nggak di Jakarta doang, sih, mungkin hidup di Indonesia kayaknya emang keras.

Kenapa gue bisa bilang begitu?

Karena sampai saat ini, gue masih menganggur. Di Jakarta, banyak banget jumlah pengangguran yang berserakan. Gue udah berusaha menaruh lamaran ke sana dan ke situ, tapi tetep aja sekarang masih nyantai di rumah (dibaca: GAGAL DAPET KERJA ). Kerjaan gue di rumah cuma makan, tidur, dan boker. Ya, begitu terus berulang-ulang setiap harinya, kecuali Sabtu dan terkadang Minggu ada jadwal kuliah. Kalau gue nggak salat juga, mungkin gue udah kayak kebo. Baguslah gue masih inget ibadah, jadi gue masih ada kegiatan yang bermanfaat. Halah.

Beberapa psikotes dan interview sudah gue hadapi, tapi ujung-ujungnya gagal. Kebanyakan perusahaan sekarang menerima karyawan atau karyawati yang minimal sudah memiliki gelar S1, udah gitu harus pake pengalaman minimal 1,5 - 2 tahun.

Ini kan taik banget.

Sekarang gini deh. Hmm, misalnya ada orang yang berbakat di suatu bidang, tapi karena orang itu hanyalah lulusan SMK/SMA, dia pun ditolak di sebuah perusahaan yang ia lamar. Parah kan, ya?
Bisa aja dia sebenernya mau kuliah, tapi nggak ada dana. Makanya mau cari kerja dulu, biar dia bisa nabung buat biaya kuliah. Tapi nggak dikasih kesempatan. TAE.

Kalau di luar negeri sana, orang-orang kreatif bakalan dibiayain. Malah ada yang bilang, kalo segala jenis pendidikan itu gratis, loh. Asyik, ya?
YA UDEH, KE LUAR NEGERI SANA!

Gue,  sih, masih cinta Indonesia, meskipun banyak sekali kekurangannya. Halah.
Terus gue juga bingung, masa kerja sekarang apa-apa butuh pengalaman. Lantas, bagaimana nasib para fresh graduate? Mereka nggak punya pengalaman apa-apa. Ya, selama 4 tahun mereka cuma belajar dan belajar di ruangan. Apa-apa belajar teori, jarang banget ada praktek. Iya, jarang ada pelajaran yang langsung turun ke lapangan gitu.

Entah, ini sistemnya kenapa begini.

Oiya, harusnya kasihlah kesempatan para fresh graduateitu untuk belajar dan mendapatkan pengalaman. Semua orang pada awalnya nggak bisa apa-apa gue yakin. Nah, setelah diajarin baru deh mereka bisa. Maka dari itu, cobalah menghargai orang-orang yang minim pengalaman. Yang penting dia mempunyai rasa semangat di dalam dirinya. Siapa tau dia juga punya potensi di bidang itu.

Tapi ya udahlah. Tetep aja sekarang gelar mulu. Huft.
Menurut gue, masalah kuliah dan gelar itu nggak begitu penting. Pertama, ilmu itu didapat nggak hanya dari bangku sekolah dan perkuliahan aja. Guru Matematika gue pas SMK pernah bilang sesuatu kepada gue dan temen-temen. Kalo nggak salah pas kami ingin UN.

Beginilah kata-katanya.

Kalau pelajaran yang kalian dapatkan di sekolah itu belum ada apa-apanya. Setelah kalian lulus nanti, kalian akan bekerja dan langsung turun ke lapangan. Itu lebih sulit dari sekadar belajar rumus-rumus Matematika yang sekarang kalian anggap sulit ini.
Pelajaran hidup itu termasuk ilmu, kan? Justru belajar dari pengalaman itu keren. Mengutip dari buku tulis SIDU, “Pengalaman adalah guru terbaik.” Sebuah pengalaman itu termasuk sebuah ilmu juga.
Dan satu lagi, orang yang punya gelar tinggi belum tentu karena dia cerdas. Udah denger berita tentang ijazah palsu, kan? Gelar tinggi ternyata palsu. HUWAHAHAHA, LO MAKAN TUH GELAR SARJANA!

Eh, maaf.

Gue emosi.

Lanjut.

Sebenernya gue waktu itu udah sempet keterima di sebuah perusahaan. Sayangnya, hari Sabtu harus masuk. Ya, mau nggak mau gue harus ikhlasin. Gue lebih milih kuliah gue.
Tadi kata lu gelar dan kuliah itu nggak begitu penting?

Tunggu dulu, biar gue jelasin.

Meskipun kuliah dan gelar itu nggak begitu penting buat gue, tapi proses perkuliahan dan mencari gelarnya itu yang penting. Karena kuliah itu juga menambah relasi. Sejak kuliah, gue jadi punya temen-temen yang asyik dan seru, pernah gue tulis di SINI. Gue sering jalan-jalan juga sama mereka, baca aja cerita-cerita nggak serunya di label Perjalanan.

Dan gue belajar banyak dari kuliah karena jarak yang lumayan jauh dari rumah. Gara-gara kuliah di tempat jauh, gue rela-relain bangun Subuh terus mandi. Biasanya, gue habis Subuhan pasti tidur lagi. Oiya, jangan dicontoh yang ini.

Gue jadi lebih menghargai waktu. Gue rela mengorbankan waktu santai gue. Di mana orang-orang menikmati weekend dengan jalan-jalan dan tidur-tiduran. Namun, gue di setiap hari Sabtu dan terkadang Minggu, malah harus menuntut ilmu. Gue bolak-balik Jakarta—Tangerang hanya demi gelar.

Itulah yang dinamakan sebuah proses.

Kebanyakan, manusia sekarang apa-apa ingin yang serba instan. Mau makan, tinggal masak mi instan. Seharusnya kalian sadar, mi instan itu nggak bisa dibilang instan. Sebab, ada prosesnya juga. Pertama, kalian pasti berjalan kaki dulu membeli mi itu ke warung di dekat rumah. Setelah itu, menyalakan kompor dan memasak air. Lalu, mengambil piring dan membuka bungkus serta bumbu mi instan itu. Terus, memasukan mi ke air yang mendidih, menunggu mi hingga matang, barulah mi siap disajikan. Begitulah proses yang terbilang instannya. Tapi biar bagaimanapun itu juga termasuk proses.

Maka dari itu, sekarang-sekarang ini, dibuatlah ijazah palsu yang serba instan oleh manusia-manusia yang tidak menghargai proses. Kalian nggak perlu capek-capek kuliah selama 4 tahun, itu pun kalau kuliah lancar. Gimana dengan orang-orang yang pusing dengan skripsi yang tidak selesai-selesai? Pasti 4 tahun lebih kuliahnya.

Jadi, kalian tinggal membeli ijazah yang seharga 10-20 juta. Terus kalian puas? Puas bisa melamar di perusahaan yang syaratnya minimal S1?

Kalian itu nggak mikirin para mahasiswa yang bersusah payah melawan waktu hanya untuk kuliah, susah payah mencari uang demi biaya kuliah, ya? Apalagi para mahasiswa tingkat akhir yang bersusah payah mengerjakan skripsi dengan tangannya sendiri. Coba pikir ke situ.

Hidup itu bukan seperti sinetron atau FTV, Gaes. Yang menceritakan sisi bahagianya doang.

Misal, awal cerita ada seorang mahasiswa yang baru daftar kuliah di sebuah kampus. Namun, mahasiswa itu males-malesan kuliah karena seorang anak orang kaya yang kurang menghargai sulitnya mencari uang. Kemudian, gara-gara ketemu cewek cantik di kampus yang baik dan cantik. Mahasiswa itu pun jadi semangat kuliah. Tapi niat utamanya bukan untuk belajar, malah pacaran. Ujung-ujungnya di akhir cerita, mahasiswa itu udah lulus kuliah dan menikah sama si cewek. Bagian proses belajarnya mana? Bagian ngerjain skripsinya juga nggak diceritain?

KAN BANGSAT.

Apa begitu jalan pikiran kalian? Mau enaknya doang? Ya, nggak masalah sih kalo kalian puas dengan cara itu.
Mungkin kalian berpikir, Ah, duit 10-20 juta doang gapapalah modal di awal. Nanti kerja 2-4 bulan juga dapet 10-20 juta dari gaji gue. Udah balik modal, deh. Ya, misal gajinya sebulan 5 juta.

Apa merasa puas dengan hal itu? Tapi kalian tidak mendapat apa-apa. Kalian nggak punya cerita seru di kampus, kalian nggak akan mendengar cerita-cerita motivasi dari pengalaman dosen, kalian nggak tau gimana nikmatnya seru-seruan bareng temen kuliah, kalian nggak punya kisah menjadi anak rantau atau kos-kosan. Intinya, kalian nggak memiliki itu semua.

Percayalah, jika tolak ukur kebahagiaan kalian itu bisa dinilai dengan uang, kalian nggak akan pernah bahagia. Sebab, uang adalah sebuah nilai yang nggak akan ada habisnya.

Jadi, di akhir tulisan ini, gue hanya ingin mengingatkan, “Sebuah hasil tidak akan pernah mengkhianati prosesnya.”
Mari kita menikmati proses!


Ramaikan kolom komentar gue lagi yaaaa. Terima kasih sudah membaca.
SHARE

Unknown

  • Image
  • Image
  • Image
  • Image
  • Image
    Blogger Comment

0 comments:

Post a Comment