Cerita Tentang Bagas

Setiap orang memiliki teman masa kecil, begitu pun juga gue. Terkadang di masa depan malah ada yang menjadi pasangan. Ya, kalo teman masa kecilnya itu adalah lawan jenis. Tapi, gue nggak punya teman masa kecil yang cewek. Dulu, gue paling takut sama cewek. Nggak tau kenapa, setiap deket sama cewek gue selalu keringet dingin. Disenyumin sama cewek aja gue pasti mimisan. Emang, gue dulu selemah itu. Namun, yang gue bingung sekarang ini, kenapa gue malah gampang deket sama cewek? Sekitar 60% temen deket gue adalah cewek. Entah kenapa, sharingsama lawan jenis itu lebih enak.

Oke, itu hanya pembukaan aja. Nggak ada hubungannya tulisan ini sama lawan jenis, pasangan, atau tentang cinta-cintaan.


Jadi gini, gue menyebut masa kecil adalah di mana gue belum begitu mengerti apa itu naksir lawan jenis. Lebih tepatnya ketika SD, gue hanya memikirkan kesenangan-kesenangan di saat bermain. Seperti: bermain kelereng, bola, dan petak umpet.

Ngomongin permainan petak umpet ini, gue jadi inget sama temen masa kecil gue. Nama lengkapnya Katon Bagaskara. Gue biasa memanggil dia: Bagas. Waktu itu, ketika gue dan teman-teman yang lain sedang bermain petak umpet. Alfi—temen kecil gue yang kebetulan lagi jaga—salah menyebutkan nama.  Gue dan Bagas ngumpet di tempat yang sama—gang sempit di samping rumah orang. Ketika Alfi melihat ada yang mengintip, ia langsung berteriak, “WAAHHH, BAYU NGINTIP DI GANG KECIL. MAMPUS LU KETAHUAN!!!” Alfi berlari ke tempat jaga. “BAYU BON,” lanjutnya.
Bagas langsung berteriak, “WOI GUE BAGAS. SALAH SEBUT. KEBAKARAN... KEBAKARAN... KEBAKARAN.”
“KEBAKARAN-KEBAKARAN,” kata gue ikut-ikutan teriak.

Beberapa ibu-ibu yang sedang asyik bergosip langsung panik dan bertanya kepada gue dan Bagas.
“Serius kebakaran? Di mana?”
Salah satu dari ibu-ibu tersebut malah sudah mengambil ember yang berisi gayung dan air. Gue pun mengklarifikasi atas kebakaran yang salah paham.
Gara-gara ngomong “kebakaran”, gue dan Bagas kena omel sama ibu-ibu itu.

Itulah salah satu cerita tentang Bagas.

Bagas berambut keriting, bertubuh ideal, dan berjidat jenong. Itu adalah ciri-ciri dia terakhir kali gue melihatnya—ketika ia kelas 6 SD. Ya, kami berteman sejak SD, tetapi jarak umur kami berbeda 2 atau 3 tahun. Jadi, ketika Bagas kelas 6 SD, berarti gue kelas 2 atau 3 SMP. Sedihnya, ketika ia masuk SMP, ia malah pindah rumah. Dan sejak itu kami nggak pernah lagi bermain bersama.

Dia adalah temen yang paling berani ketika masa itu. Dulu, kami sering banget menumpang di mobil pick up ( dibaca : ngompreng ). Ketika ngompreng, Bagas pasti yang paling duluan naik. Ia berlari paling kencang dan langsung loncat ke bagian belakang mobil itu.

Ia juga sering banget cari gara-gara sama anak daerah lain. Hanya karena adu bola dan tim lawan bermain kasar, ujung-ujungnya pasti berantem. Dan dia yang paling semangat untuk berantem. Bagas ini nggak ada takutnya. Entahlah, ini anak berani banget ngambil resiko. Dia nggak begitu peduli sama apa yang bakal terjadi setelah kebodohan dan kenakalan yang ia lakukan. Gue aja kadang mikir-mikir kalo berantem sama orang yang badannya lebih besar dari gue. Gue lebih baik menghindar dari perkelahian, tapi kalo udah emosi banget. Ujung-ujungnya berantem juga.

Ya, ketika SD-SMP adalah zaman alay buat gue. Di mana hal-hal berbahaya sering banget gue lakuin.

Kadang Bagas juga nggak segan-segan berantem sama temen sendiri. Kalo ada yang ngusik dia, dan bercandanya udah kelewatan, Bagas bakalan memukul orang itu, sekalipun temen sendiri. Namun, Bagas yang anaknya berani banget itu, ketika ada masalah sama gue, dia malah nggak pernah berani berantem sama gue. Nggak tau kenapa, dia merasa takut. Padahal kalo beneran berantem, gue yakin dia menang. Tapi anehnya, dia seperti menaruh rasa hormat sama temen-temen yang lebih tua, terutama gue.

Gue udah nggak begitu tau lagi gimana kabar Bagas semenjak SMP. Yang gue terakhir denger, si Bagas ini mulai ngerokok dan suka tawuran. Astagfirullah.

Hmm, tapi gitu-gitu Bagas anaknya setia kawan banget. Kalo ada temen yang kesusahan, dia nggak pernah ninggalin temennya begitu aja. Contoh : ada temen yang terkena kasus perkelahian sama daerah lain, sebut saja Agus. Pada suatu hari, Agus pulang sekolah sendirian. Ternyata ia sedang diincar dan ingin digebukin sama anak sekolah lain. Ini terjadi hanya karena Agus main kata-kataan orangtua dengan salah satu anak sekolah itu. Anak itu nggak tau nama orangtuanya Agus, karena tidak bisa membalas ngatain, anak itu pun mengadu kepada teman-teman yang lain.

Akhirnya, di jalanan yang sepi, Agus dicegat oleh tiga orang dari sekolah lain. Ngomong-ngomong, ini kisah anak SD, loh. Bukan main ya, udah berantem dan keroyok-keroyokan. Mending, sih, daripada anak SD sekarang udah cium-ciumanan dan diumbar ke Facebook.

Maaf, malah keluar topik.

Ketika Agus sudah dikeroyok sama tiga orang, Bagas melihat kejadian tersebut. Tanpa ragu-ragu, Bagas langsung berlari dan berteriak seperti jagoan, “WOI! KALO BERANI JANGAN KEROYOKAN!”
Meskipun 2 lawan 3, Bagas tetap tidak gentar. Ia tetap menolong si Agus dan berantem hingga ketiga anak itu pun kabur. Coba gue yang melihat Agus dikeroyok begitu, pasti gue juga lari dan bilang ke mereka, “Eh, jangan keroyok temen gue, ya. Maafin temen gue. Damai aja kita. Hehehe. Hehe. He.”
Bukannya perkelahian itu berhenti, malah gue yang ikutan bonyok kayak Agus. Gue memang cemen.

Oiya, cerita kayak tadi itu namanya setia kawan bukan, sih?

Duh, dari tadi nyeritain tentang Bagas hanya dari negatifnya saja. Oke, sekarang positif. Eh, bentar-bentar, Bagas positif hamil? SIAPA YANG NGEHAMILIN WOI?! Duh, malah ngaco.
Meskipun anak ini sangat berani dan jago berantem, tapi dia nggak pernah berani melawan orangtuanya. Bagas ini anaknya nurut banget sama orangtua, setiap ngaji juga nggak pernah bolos. Beda sama gue, dulu gue sering bolos ngaji. Bukannya berangkat ke tempat pengajian, malah belok ke rental PS. Duh, jadi inget dosa gue zaman dulu udah segitu banyaknya. Oiya, cerita Bagas ini menurut sudut pandang yang gue tau aja.

Gue bingung kenapa rasanya pengin menulis cerita ini. Sebab, awal bulan April kemarin, lebih tepatnya beberapa minggu sebelum UN anak SMA. Bagas—temen masa kecil yang jago berantem itu—dikeroyok oleh beberapa siswa SMA dari sekolah lain, hingga tewas.
Awalnya gue nggak tau kalo Bagas meninggalnya dikeroyok dan dibacok. Jadi, di pagi itu, gue sedang menikmati mimpi indah gue. Lalu, terdengar suara Nyokap bermaksud membangunkan gue.
“YOG, BANGUN!”
“Apa, Bu? Ganggu orang lagi nganggur aja,” kata gue setengah sadar.
“Bagas temen kamu meninggal.”
“Bagas siapa?” tanya gue masih setengah sadar sambil memeluk guling lebih erat.
“Bagas yang dulu pas SD sering main bareng sama kamu,” kata Nyokap, “yang dulu tinggal di samping rumah Arya,” lanjut Nyokap.
Gue pun terkejut dan bangun dari tidur. Gue bertanya kepada Nyokap, bagaimana ia meninggalnya, karena sakit, kecelakaan, atau apa.
Nyokap pun menjawab dengan sejujurnya—menurut info yang ia dapat dari tetangga. Kalau Bagas meninggal dikeroyok dan dibunuh. Mendengar cerita itu, gue langsung shock dan nggak percaya. Setau gue, Bagas sudah kelas 3 SMA, sebentar lagi ia akan UN. Tetapi takdir berkata lain, ia pergi terlalu cepat.

Meski sudah 7 atau 8 tahun lamanya tidak berjumpa. Namun, setelah mendengar berita duka tentang teman yang dulu sering main bareng. Gue tetap nggak bisa bohong sama diri sendiri. Gue merasa kosong. Gue kehilangan dia. Entah, segala kenangan tentangnya muncul begitu saja. Flashback masa-masa gila itu, di mana gue dan dia tidak takut terhadap bahaya kecelakaan. Ngompreng mobil pick up, atau terkadang truk. Loncat dari atas truk ke jalanan ketika truk itu tetap melaju agak cepat. Karena dulu menurut kami, ngompreng truk lebih macho daripada naik angkot. Sekalinya naik angkot juga memilih bergelantungan di pintunya.

Bermain petak umpet bersama, dikejar-kejar anak daerah lain ketika ketahuan sedang mencoret-coret tembok dengan pilox di wilayah mereka, dan masih banyak hal lainnya.

Sepertinya itu saja cerita tentang Bagas yang bisa gue tulis.

Mungkin lu udah nggak berada di dunia ini, Gas. Ya, harus gue akui, lu memang sudah mati, tapi kenangan tentang lu nggak akan pernah mati. Kisah lu selalu hidup di dalam hati teman-teman lu, termasuk gue.

Tulisan ini memang sengaja didedikasikan untuk Bagas.
Selamat jalan, Bagas.


Ditulis 19 April 2015.
SHARE

Unknown

  • Image
  • Image
  • Image
  • Image
  • Image
    Blogger Comment

0 comments:

Post a Comment