Cerita Absurd di Ragunan

Gue yang sedang ngulet di kasur berusaha untuk tidur lagi. Namun, gue ada janji sama pacar. Yoi. Jarang-jarang  gue pacaran. Yah, namanya juga nasib orang yang memilih pacaran jarak jauh (dibaca : LDR ). Nggak terasa, ngulet di kasur itu bikin gue ketiduran. Yah, namanya juga ketiduran, kan, nggak sadar. Kalo sadar itu namanya menidurkan. Eh, gimana-gimana?

Abaikan kalimat barusan.

Handphone gue tiba-tiba berdering. Gue pun terbangun, lalu pesan itu gue baca perlahan-lahan dengan mata kriyep-kriyep. “Dikit lagi sampe,” kata si pacar di WhatsApp.

Gue yang melihat pesan itu langsung kaget dan berlari ke kamar mandi.

Singkat cerita gue udah mandi dan berpakaian. Gue mau tampil biasa aja. Yang memang style gue biasa aja. Mungkin 'kata biasa' aja bagi orang lain adalah penampilan yang lebih mirip gembel.
Bodo amat. Beginilah gue. Suka syukur, enggak ya udah. Simpel.


Ketika sedang manasin motor, gue baru sadar akan sesuatu. Kalo helm dan jas hujan gue nggak ada. Helm dua-duanya hilang. Bokap juga nggak ada di rumah sejak pagi tadi. Kalo Nyokap emang lagi nggak di rumah—pulang kampung dari seminggu yang lalu. Apa iya Bokap kerja jam segini? Bokap biasanya masuk pagi jam 9. Jangan-jangan rumah ini habis kemalingan. Batin gue.

Entah, apa rumah ini beneran habis kemalingan atau bagaimana. Tapi yang jelas, malingnya bego. Ngapain coba nyolong helm dan jas hujan? Nyolong tuh sama motornya sekalian!

Tidak ingin berburuk sangka, gue pun menelepon Bokap.
Setelah terdengar suara salam dari seberang sana. Gue pun menjawab salam dan langsung to the point.
“Yah, lagi di mana? Helm sama jas hujan, kok nggak ada?”
“Lagi di Sawangan, main sekalian jemput ibumu. Tadi dari terminal disuruh mampir dulu. Helm sama jas hujannya ayah bawa,” jawab Bokap.
“Kok nggak bilang-bilang? Yoga mau pergi tau!” Gue mendadak kesel.
“Tadi pas dibangunin, katanya nggak pergi ke mana-mana.”
“Kapan Yoga bangun, Yah?” tanya gue bingung.
“Tadi pagi jam 6-an.”
“Orang nggak sadar diladenin. Ya udah kalo gitu. Assalamualaikum.” Gue langsung menutup telepon karena takut semakin emosi. Astaghfirullah.

Di saat itu pula, si pacar mengabari kalo dia sudah sampai. Gue jadi bingung mau pergi apa enggak. Kalo pergi, masa nggak bawa helm. Kalo enggak, gue juga nggak enak karena dia sudah rela datang jauh-jauh dari antah berantah. Serba salah kayak makan buah simalakama, nih. Huwahaha.

Akhirnya, gue mengabari si pacar kalo baru bangun tidur dan nggak ada helm. Si pacar pun tidak keberatan jika harus pergi naik busway. Ngggg... mengingat gue orangnya sangat lemah. Iya, gue itu lemah. Makanya gue tidak merokok. Baru sekali hisap saja bisa batuk tiada henti-hentinya. Apalagi mabuk minuman keras, pasti langsung muntah. Toh, gue aja orangnya gampang mabuk ketika naik kendaraan umum, kecuali kereta. Gue berusaha mencari cara lain: minjem helm.

Gue memutuskan untuk minjem helm sama tetangga depan rumah.
Ketika tetangga bertanya, “Mau minjem yang jelek apa bagus?”
Gue menjawab “Dua-duanya aja” dengan mantap.
Nggak tanggung-tanggung emang si Yoga, dua helm langsung. Udah minjem, nggak tau diri pula. Memang kampret kau, Yog!
***
“Hey.”
Gue memanggil si pacar yang sedang duduk di halte. Dia melihat gue dengan tatapan yang aneh. Sepertinya dia ingin bilang, “Maaf, saya lagi nunggu pacar, bukan nunggu ojek, Mas.”

Dia pun langsung gue bonceng. Sambil menuju ke Ragunan, di jalan kita memulai obrolan. Gue menjelaskan kalo kedatangan gue yang sedikit ngaret karena kejadian helm itu.
Gue kira dia bakal memaklumi keterlambatan itu. Yang gue tahu, menunggu itu memang membosankan. Tapi kalo udah bertemu orangnya, masalah juga akan selesai. Apalagi yang ditunggu itu kehadiran pacar. Namun, ia justru merespons gue dengan perkataan yang tidak enak. “Kamu nggak mandi, ya?”

YA, TUHAN. KESAN PERTAMA MALAH DISANGKA NGGAK MANDI SAMA PACAR.

PARAH.

Ingin rasanya gue tabrakin motor ke mobil yang melaju di depan gue. Tapi mengingat harga reparasi mobil yang jutaan itu, gue mengurungkan niat bodoh tersebut.

Di perjalanan, gue baru sadar kalo kehabisan bensin. Gue langsung bilang ke dia, “Nanti kalo ada pom bensin bilang, ya.”
“Kamu ngomong apa sih, Yog?” tanya si pacar.
“Nggak kedengaran emang?” gue balik bertanya.
“Apaan? Nggak kedengeran?”
“Kalo ada pom bensin bilang.”
“Kamu jadi cowok suaranya jangan lembut gitu, dong.”

Mendengar dia berkata begitu, ingin rasanya gue berteriak. Tetapi kalo berteriak-teriak di jalanan takut disangka orang gila. Lagian, Nyokap gue selalu mengajarkan untuk berkata lembut kepada wanita.

“Ketutupan helm kali jadi nggak kedengeran, apa kuping kamu yang bermasalah?” tanya gue, bingung.
“Tuh, kan, suara kamu yang lembut, Yog.”
“NANTI KALO ADA POM BENSIN BILANG!” Gue mendadak kesel.
Setelah hening beberapa saat, dia memecah sunyi dengan berkata, “Noh, di sebelah kanan ada.”
ASTAGHFIRULLAH ALADZIM. Ini orang pura-pura bego apa beneran polos? Belum pernah ke Jakarta nggak gini juga. Pikir gue.
“Yang kirilah. Masa iya nyeberang lawan arus? Ini lagi di jalan raya.”
“Oh, maaf.”
Enak banget si pacar bilang maaf tanpa rasa berdosa. Kalo bukan pacar, udah gue turunin tengah jalan kali.

Beberapa meter setelah itu, gue melihat sebuah tiang dengan papan bertuliskan SPBU 100 meter. Kemudian gue segera mengisi bensin. Kampretnya, si pacar nggak mau turun dari motor.
“Heh, turun,” kata gue.
“Nggak mau. Pokoknya nggak mau,” kata si pacar nyolot sambil ketawa-ketawa.
Gue memasang muka bete sambil menuntun motor. Tanpa disuruh lagi, si pacar pun turun.

Singkat cerita isi bensin sudah selesai dan kami berdua melanjutkan perjalanan. Dia mulai membuka percakapan lagi. “Yog, kamu emang biasa ngisi Pertamax?”
Mendengar pertanyaan itu, gue tadinya mau jawab sebagai cowok yang terlihat keren. Misal, “Iya, sebagai warga negara Indonesia yang baik, kita harus mengisi Pertamax. Karena BBM bersubsidi itu untuk rakyat menengah ke bawah.”

Namun, yang namanya Yoga tetaplah Yoga. Dia akan jujur apa adanya di hadapan setiap orang, termasuk gebetan dan pacar sekalipun. Nggak peduli itu cewek bakal ilfeel atau gimana. Ya beginilah gue.

Tanpa ragu gue menjawab, “Kamu nggak liat? Itu tadi SPBU khusus Pertamax tau. Aku salah masuk pom bensin. Ya, daripada malu balik lagi. Sesekali isi Pertamax, deh.”
“HAHAHA. Kirain.”
“Pertamax itu boros soalnya.”
“Boros gimana? Pembakarannya? Cepet habis gitu?” tanya si pacar.
“Boros pengeluaran di dompet,” jawab gue. Iya, gue memang terlalu jujur.
“HAHAHAHA.” Dia tertawa begitu kencang dan suaranya agak cempreng. “Oiya, masih lama nggak sampenya?”
“Masih. Ragunan itu jauh banget. Belum melewati sungai dan jalanan yang kanan kirinya jurang,” jawab gue bohong dengan maksud bercanda.
“Emang ada jalanan begitu di Jakarta?” tanya si Pacar penasaran.
“Ada. Nanti kamu juga tau.”
***

Kami sudah sampai di Kebun Binatang Ragunan. Setelah parkir, kami berdua menuju loket. Saat gue sedang mengambil dompet di dalam tas, si pacar malah langsung mengantre dan tau-tau memberikan gue 2 tiket masuk.
Sebagai cowok gue merasa gagal. Jalan pertama kali malah cewek yang bayarin. Pfffftttt, Yoga cemen banget.

Kami pun masuk dan langsung mencari tempat duduk untuk beristirahat. Gue langsung menawarkan minuman dan camilan—yang gue bawa dari rumah. Gue tau, kalo makanan dan minuman yang dijual di tempat wisata itu mahal-mahal.

“Mana? Katanya jauh? Lewat sungai dulu, terus kanan kiri jurang?” tanya si pacar polos.
Gue langsung ketawa ngakak.
“YOGA KAMPREEEEETTT. NGERJAIN ORANG AJA!”

Setelah itu, kami hanya muter-muter di area Ragunan. Hewan yang pertama kali kami berdua lihat adalah gajah. Namun, baru satu menit melihat gajah, gue langsung mengajaknya ke tempat hewan yang lain.



Foto bersama gajah, si Pacar yang motoin.

Dia pun kesel.

Setelah muter-muter agak lama, dia langsung protes ke gue. “Eh, mana binatang lainnya? Dari tadi muter-muter doang ketemunya gajah lagi gajah lagi. Lihat beruang apa singa gitu.”
Akhirnya, gue mencoba mengikuti petunjuk—tulisan beruang dan gambar beruang—yang menunjuk ke arah kanan.

Sesampainya di kandang beruang, si pacar kecewa. “Mana beruangnya? Itu doang? Nggak ada yang lebih gede?”
“Iya, itu doang.” Gue menunjuk ke arah beruang. “Emang mau gede kayak gimana lagi?” tanya gue, bingung.
“Kirain kayak di film Marsha.”

Susah emang korban film kartun.

Nggak terasa sudah hampir satu jam kami muter-muter tempat ini. Si pacar langsung mengeluh haus dan minta minum. Kami pun memutuskan untuk beristirahat di sebuah taman. Setelah melanjutkan perjalanan, baru beberapa saat si pacar meminta air minum lagi kepada gue. Gue langsung bilang, ”LEMAAAAHHHH!”
“Enak aja! Aku kuat. Wooo!”
“Lah itu, dikit-dikit minum melulu. LEMAAAHHH!”

Efek kemarin berenang membuat gue gampang letih. Baru berjalan sebentar rasanya ingin istirahat dan duduk lagi. Tapi sebagai cowok gue berusaha tidak terlihat lemah di hadapan wanita. Apa daya  kaki gue nggak bisa berbohong. Kaki ini merengek untuk diistirahatkan.
Tanpa ragu, gue langsung duduk di pinggiran jalan.
“LEMAAAAHHHH.” Kata itu gantian keluar dari mulut si pacar.
Kampret. Sekarang gantian gue dikatain.

“Kita mau sampe jam berapa, Yog?” tanya si pacar.
“Jam tigaan aja, ya. Biar nggak kesorean.”
“Ah, aku maunya sampe malem. Mau berduaan terus sama kamu. Malem masih buka, kan?”

Mendengar hal itu, gue berniat untuk mengerjainya. “Iya, masih buka, kok. Ada yang nginep juga malahan.” Gue memasang raut wajah serius dan menahan tawa agar pacar tidak curiga.
“Beneran? Seru banget bisa nginep,” kata si pacar bersemangat. “Tidurnya pake tenda gitu? Kemah kayak anak pramuka, dong?

“Iya, seru banget,” jawab gue sok serius.
“Banyak emangnya yang nginep di sini? Ya udah, kapan-kapan cobain, ya.”
Gue langsung ngakak setelah si pacar ngomong polos begitu.
“Kamu ngerjain aku lagi, ya? JAHAT!” kata si pacar kesel sambil menjambak-jambak rambut gue.

Dari tadi bilang pacar mulu, tapi nggak ada foto berduanya, Yog? Takut dibilang hoax karena nggak ada foto barengnya, ya udah ini fotonya. Gue nggak suka pamer sebenernya. Tapi, ya udah sesekali gapapa. Halah.



***

“Kamu bahagia nggak hari ini?” tanya gue ke dia saat berjalan menuju parkiran untuk pulang.
Si pacar langsung diam sejenak, lalu tersenyum dan membuka mulutnya. “Bahagia banget. Kalo kamu?”
Gue bergeming. Hanya menatap matanya dan tersenyum.
“Dih, jawab! Curang, kan, nggak mau jawab,” protes si pacar.
“Nggggg... Rasanya nggak bisa diungkapin lewat kata-kata. Kata apa yang lebih indah dari bahagia? Nah, gitu rasanya.”

Dia langsung tersenyum dan memandang gue dengan tatapan yang nggak biasa. Kami saling memandang, mata kami seolah-olah yang berbicara dan menjelaskan perasaan di hari itu. Ada sebuah binar dari sorot matanya yang melukiskan pelangi. Ada rasa takut akan sebuah rindu. Ada seekor kupu-kupu yang hinggap dan mulai terbang di perut gue. Mungkin juga perutnya.
Satu hal yang bisa gue bilang ke dia atas kebahagiaan itu: terima kasih.


Terima kasih juga kepada pembaca yang rela membaca cerita nggak jelas ini.
SHARE

Unknown

  • Image
  • Image
  • Image
  • Image
  • Image
    Blogger Comment

0 comments:

Post a Comment