Cerita ini bukan tentang orang yang bakar telepon genggamnya karena frustrasi ditolak gebetan.
Nggak percaya? Bagus. Percaya ama gue musryik. Emang, sih, ada hubungannya bakar dan telepon. Tapi gue saranin jangan lanjut membaca, nanti nyesel. Ini cuma curhatan nggak jelas doang. Kalo kamu tetep mau baca, silahkan. Gue nggak akan memaksa. Selamat menikmati.
“Kamu malam mingguan ke mana?”
“Nggak ke mana-mana, kamu?” balas si Pacar di SMS.
“Bakar-bakar di rumah temen. Nanti jam 8 sibuk nggak?” tanya gue.
“Dalam rangka apa? Tahun baru udah lewat kayaknya. Jam 8, ya? Nggak tau. Kenapa?”
Membaca SMS itu, gue langsung bingung sama jalan pikiran si Pacar. Emang bakar-bakar harus setiap malam tahun baru? Setau gue, yang namanya bakar-bakar bisa kapan aja. Bakar sampah, bakar rokok, bakar ayam. Iya, kan? Coba aja pikir, kalo orang yang mau merokok harus nunggu tahun baru. Nanti orang-orang yang suka merokok gimana? Kasihan, kan? Walaupun gue nggak merokok. Gue juga menghargai orang yang merokok. Buktinya, ketika ada orang yang merokok, gue langsung menghindar karena nggak kuat sama asapnya. Eh, gimana? Terbalik nggak, sih?
Lalu, para pedagang ayam bakar, jagung bakar, dan abu bakar. Astaghfirullah. Sahabat rasul malah dibikin jokes,dosa banget gue.
Kembali ke ayam bakar atau jagung bakar. Gimana nasib para pedagang dan penikmat ayam bakar? Para pedagang itu mencari rezeki dari berjualan ayam bakar dan jagung bakar. Kalo harus nunggu tahun baru, dia nggak bisa menafkahi keluarganya, menyekolahkan anaknya, dan memberi jatah ke istri simpanannya. Parah, kan?
Untuk penikmat ayam bakar juga kasihan. Kalo bakar-bakar harus nunggu tahun baru, pasti mereka sudah kelaparan, atau malah mati. Serem banget.
Ngomong-ngomong tentang bakar, gue jadi pengin bakar ayam. Ayam kampus.
Gue pun segera membalas, “Kayaknya bakar-bakar nggak perlu nunggu tahun baru, deh. Pengin ngobrol sama kamu, nggak bisa ngapelin soalnya. :(“
“Oiya, kemaren tukang begal aja dibakar nggak perlu nunggu tahun baru. Hahahaha. Kok sedih gitu emotnya? Yaudah, iya. Jam 8.”
***
“Assalamualaikum.”
“Waalaikumsalam,” jawab gue. Tadinya gue mau jawab, “Maaf, nggak terima sumbangan.” Tapi si Pacar bukan pengemis.
Lalu kami berdua teleponan. Membahas berbagai macam obrolan. Dari dia yang cerita tentang kegiatan UKM-nya. Sampai gue yang cerita pusing banget pas mengerjakan UAS Manajemen Keuangan.
“Nggak enak banget kalo lemah hitung-hitungan, ya. Ngerjain UAS gitu aja pusing.”
“Minum obat kalo pusing,” jawab si Pacar, ngaco.
“Ogaaahhh, nanti kayak temen aku. Setiap pusing sedikit minum panadol. Nggak bisa ngerjain tugas Akuntansi, dia minum panadol. Pusing belum bayaran kuliah, minum panadol. Lagi sakit beneran, dia juga minum panadol.”
FYI, temen gue memang lemah.
“HAHAHAHAHAHA.” Si Pacar tiba-tiba ketawa ngakak.
“Kamu kenapa ketawa?” tanya gue, bingung.
“HAHAHAHAHAHAHAHAHA.” Ketawanya semakin menjadi-jadi.
“Heh?” Gue panik.
“HAHAHAHAHAHAHA”
Di sini gue semakin panik. Gue takut si Pacar kerasukan setan. Tapi, ini malem Minggu. Masa setannya nggak pacaran? Hmm, mungkin setannya jomlo. Gue pun membaca ayat kursi dalam hati.
Setelah dia berhenti tertawa, gue berpikir setannya pasti sudah kepanasan dan kabur. Gue melanjutkan curhatan tentang masalah yang lain.
“HAHAHAHAHA.” Setelah ia berhenti tertawa, ada hening sebentar. “Kamu kalo ngomong jangan ngelawak terus, dong,” kata si Pacar melanjutkan.
SIAPA YANG NGELAWAK, WOI?! Gue lagi serius curhat disangka melawak.
Ya, gue nggak ngerti sama si Pacar. Emang dia yang otaknya gesrek, atau curhatan gue yang sedih dan mengenaskan sampai dia ngakak.
Lagi asyik-asyiknya teleponan. Kemudian telepon mati begitu saja. Horor abis.
Gue pun meneleponnya lagi.
“Kok, dimatiin?” tanya gue.
“Lah, aku kira pulsa kamu habis,” kata si Pacar. Nyolot banget ini anak.
“Enak aja! Pulsa aku tadi 40.000 tau.”
***
Setelah teleponan lebih dari 1 jam, si Pacar laper. Dia bilang pengin makan dulu. Karena gue takut dia keselek makan sambil ngobrol. Gue akhiri panggilan itu.
Tak lama setelah gue geletakin HP. Si Pacar SMS, “Udah, nih.”
“Kamu makan sesendok doang, ya? Cepet banget, nggak ada 5 menit,” tanya gue, bingung.
Si Pacar malah ketawa lagi. Oke, selama teleponan gue memang lebih sering mendengar ia tertawa daripada berbicara. Entah, gue takut kalo nanti ngobrol langsung di tempat umum. Security bakal mengira ia adalah orang gila.
Nggak terasa jam sudah menunjukkan pukul 11. Gue pun menanyakan hal klise, “Kamu belum ngantuk?”
“Gimana mau ngantuk? Aku malah nggak bisa tidur dengerin suara kamu,” jawab si pacar. Suaranya yang agak cempreng tiba-tiba menjadi lembut.
Wahahahaha. Si Kampret bisa aja bikin gue mesem-mesem.
Ketika gue mulai bercerita, dan lagi seru-serunya. Eh, malah tut...tut....tut...
KAMPRET!
Ganggu aja orang lagi pacaran. Ini pasti sinyalnya jelek. Batin gue. Karena cuaca malam itu sedang hujan.
Setelah gue telepon kembali, suara dia malah berbeda.
“Maaf, sisa pulsa anda tidak mencukupi untuk melakukan panggilan. Silahkan isi ulang kembali pulsa anda.”
Gue langsung cek pulsa. Tinggal Rp. 38.
ANJIR. TADI PULSA GUE 40 REBU, WOI! INI KENAPA TAU-TAU HABIS?
Padahal, gue teleponan sesama operator. Emang, sih, teleponan malem lebih mahal daripada teleponan pagi-pagi. Tapi biasanya, 5000 per jam kalaupun nggak pake paket. Ini pasti operatornya jomlo! Nggak bisa melihat orang bahagia.
Si Pacar SMS, “Kok, mati? Udahan apa gimana?”
Gue mengabari lewat WA, “Pulsa aku habis. Wasap aja, ya.”
“Ciyeee pulsanya habis. Maaf, ya. Tapi, serius habis? Mahal amat. Padahal, operatornya sama.”
Gue dengan sok keren langsung membalas, “Gapapa, aku khilaf tadi. Lupa pasang paket yang nelepon seharian sepuasnya.” Sebenernya mah gue kesel. Itu aturan pulsa buat sebulan. Belum bulan April malah habis duluan. ANJEEEEENGGGGG.
“Paketin dulu makanya. Mau irit malah begini. Aku jadi nggak enak.”
“Lama nggak pernah teleponan begini, deh. Songong nggak pake paket. Yaudah, gapapalah. Udah jangan dibahas, yang penting bahagia.”
“Kamu bahagia? Aku kira, kamu bete.”
“Bahagia itu nggak peduli soal uang. Aku nggak bakalan bete, malah seneng banget ada orang yang siap meminjamkan telinganya untuk curhatan nggak jelas kayak tadi.”
“Aku yang dengerin lebih dari seneng, hehe. Yoga kampret banget emang bikin speechless.”
Membaca kalimat itu, ada kebahagiaan yang nggak bisa dituliskan lewat kata-kata. Setelah itu, gue tidur dengan nyenyak. Besoknya, gue menuliskan cerita ini.
Terima kasih sudah bersedia membaca curhatan nggak jelas ini.
Ada yang pernah punya pengalaman tentang teleponan sama pacar? Nggak punya pacar? Yaudah, gapapa. Curhatkan saja semuanya di kolom komentar.
0 comments:
Post a Comment