Mengantar Mantan Pulang

"Gus, nanti malem ketemuan, yuk!" Sebuah pesan dari Rani di BBM.
Gue nggak ngerti. Tumben banget Rani ngajak ketemuan. Sebagai mantan yang baik, gue masih menjalin silaturahmi terhadap mantan-mantan gue. Tetapi, Rani adalah tipikal orang yang sulit berteman dengan mantannya. Apalagi waktu itu, gue lah yang memutuskan Rani, dengan keputusan sepihak.


Gue masih bingung harus merespons pesan ini atau tidak. Tetapi, gue tetaplah gue, yang tidak pernah memusuhi mantan.

“Mau ketemuan di mana?” balas gue.


***


Kami sepakat bertemu di kedai roti bakar daerah Blok M, pada jam 7.
Gue sudah hadir di tempat sekitar 15 menit yang lalu, masih menunggu kedatangan Rani. Padahal, sudah jam 7 lewat 10. Tetapi, ia belum terlihat batang hidungnya.
Sekitar 5 menit kemudian, datanglah seorang wanita dengan rambut lurus terurai. Ia mengenakan sweater warna hitam yang resletingnya dibiarkan terbuka, sehingga kaos warna merah bergambar mickey mouse terlihat jelas.

“Maaf ya, Gus, angkotnya kebanyakan ngetem,” ujarnya.

Gue hanya tersenyum. “Yaudah, ayo pesen,” ajak gue.


Gue memesan roti bakar selai nanas, dan minumnya milk shake vanilla. Sedangkan Rani, ia memesan roti bakar rasa cokelat dan keju, lalu minumnya es teh manis. Ia memang masih tetap sama. Manis seperti minuman favoritnya.

Gue memang bodoh waktu itu telah memutuskan cewek semanis Rani. Tapi, gue juga nggak akan kuat menghadapi sikap egois dan keinginan yang harus diturutinya itu. 


Dia sebenernya memang baik, sayangnya ia terbiasa dimanja oleh orangtuanya. Hanya masalah tidak dijemput Papanya ketika pulang sekolah saja, ia langsung mengurung diri seharian di kamar. Apalagi setelah kedua orangtuanya meninggal dua tahun silam karena kecelakaan, ia pun semakin tak terkontrol. Kini, ia selalu dimanja pembantunya. Ya, Rani ialah anak semata wayang. Jadi, sekarang ia hanya tinggal dengan pembantu yang memang sudah bersamanya sejak kecil. Pernah juga gue disuruh menemani dan menyuapinya ketika ia sedang sakit. Padahal, sakitnya hanya batuk pilek biasa. Ia tidak mau makan jika bukan gue yang menyuapi. Entahlah, mungkin orang yang ia sayangi waktu itu ialah gue satu-satunya.

Gue memang berteman dekat dengan Rani sejak SMP. Sampai akhirnya naksir dan jadian sewaktu SMA. Mungkin waktu itu gue masih memaklumi sifat kekanakannya. Namun, setelah kuliah ia tetap tidak ada perubahan. Hal itu yang membuat gue menyudahi hubungan dengan Rani yang sudah berjalan 3 tahun.


***

“Gus, kenapa bengong?” kata Rani, suara itu membuyarkan lamunan gue.


“Gapapa, Ran.” Gue tersenyum. “Oiya, ada apa ngajak ketemu? Kangen, ya?” lanjut gue.
Rani terdiam. Ia hanya menunduk dan mengaduk-aduk es teh manisnya.
Setelah beberapa saat, barulah Rani membuka mulutnya, “Iya, gue kangen,” katanya, dengan suara agak parau.


Parah, saat ini malah gue yang membungkam. Gue yang cuma meledek, malah direspons serius.
“Balikan sama gue ya, Gus?” kata Rani.
Gue semakin nggak percaya. Kenapa dia malah mengucapkan kalimat itu.

Kacau.


Gue nggak mau menyakitinya. Tapi gue sudah tidak menyayangi Rani seperti dulu. Kalau tau begini jadinya, lebih baik gue abaikan saja BBM itu.
“Maaf, Ran. Kita udah berakhir. Sekarang kita temenan aja. Gue nggak bisa kayak dulu lagi,” kata gue, tegas.

Rani menyuguhkan gue senyuman paling manis, embun pun membasahi pipinya.


Dia membisu, gue juga.
Setelah suasana hening sekitar 10 menit. Rani memecah sunyi.
“Gue mau pulang.” Ia beranjak dari kursinya dan meninggalkan gue.


Gue langsung bergegas ke meja kasir untuk membayar, dan menyusul Rani.


“Ran, jangan naik angkot malem-malem. Bahaya!”
“Biarin. Nggak usah peduli sama gue lagi!”
“Udah, nggak usah marah-marah. Gue anter, ya. Udah jam 9 ini,” kata gue, merayu Rani.
Rani tetap ngotot akan pendiriannya.
Setelah 20 menit, angkot tak ada yang melintas. Rani pun mau gue ajak pulang bareng. Meskipun, itu seperti terpaksa.


***


Di sepanjang jalan menuju rumah Rani sudah jarang kendaraan yang berlalu-lalang. Suasananya pun agak gelap. Gue takut ada pembegalan. Karena kasus ini memang sedang ramai dibicarakan, dan hangat di media.

"Ran, gue takut ada begal, nih."
“Santai aja, aman, Gus,” kata Rani, meyakinkan.


Untuk menghilangkan rasa takut, gue mulai mengajak Rani mengobrol. Sedang asyik membahas berbagai macam topik, tiba-tiba terdengar suara motor 2 tak yang begitu nyaring. Kemudian motor itu menabrak kami dari belakang. Alhasil, kami terjatuh. Gue perhatikan mereka ada 2 orang. Yang satu berbadan kurus, ia mengendarai motor. Yang satu lagi bertubuh tegap, berkumis tebal, dan memegang samurai.

Apa ini pembegalan? Batin gue.

Keringat dingin mulai membasahi tubuh gue. Gue yang baru saja terjatuh, masih kaget, dan tidak akan sanggup melawan mereka dengan tangan kosong.
Kemudian, Rani langsung bangkit dan terlihat santai sekali. Ia malah berdiri di samping pria yang memegang samurai itu. Pria yang kurus langsung menghajar gue habis-habisan. Gue hanya bisa pasrah. Setelah itu, pria yang berkumis tebal nampaknya ingin mengayunkan samurai ke arah kepala gue.


"Maaf, Gus, kalo gue nggak bisa memiliki elu. Nggak ada yang boleh memiliki elu selain gue. Ini semua rencana gue. Gue sayang lu."
Itu adalah kalimat terakhir Rani, tepat sebelum samurai itu menebas leher gue.
Lalu, mereka bertiga pergi membawa motor gue. Mereka benar-benar meninggalkan gue. Kepala gue masih menempel dengan leher, hanya saja pandangan gue mulai redup dan tubuh ini ingin ambruk ke jalan. Gue yang mulai kehabisan darah hanya duduk senderan pada pohon di pinggir jalan. Kemudian memejamkan mata.


***

“Gus, kenapa bengong?” kata Rani, suara itu membuyarkan lamunan gue.


Lah? Gue masih di kedai roti bakar? Begal tadi itu gimana? Ternyata semua itu hanya halusinasi. Alhamdulillah, gue masih hidup.
“Oiya, kenapa ngajak ketemuan? Tumben.”
“Gapapa, bertemen sama mantan nggak ada salahnya,kan?” kata Rani santai.
“Hehe, iya,” jawab gue, pelan.

Rani terlihat berbeda. Entah, dia sepertinya telah dewasa. Beberapa bulan terakhir nggak ada kabar, ia malah memberi kejutan.


Setelah itu makan malam berjalan lancar. Kalimat ngajak balikan yang keluar dari mulut Rani ketika gue melamun tidak terjadi. Itu semua hanyalah ilusi. Adegan begal itu juga hanya terjadi di dalam pikiran gue. Nggak ada adegan yang nyata.

***

"Mau gue anter pulang, Ran?" kata gue.
“Nggak usah repot-repot, Gus. Gue nanti dijemput pacar,”


APA? PACAAARRRRR?


Nggak disangka-sangka.  Ada satu kejutan lagi buat gue. Hal ini berhasil membuat gue tersenyum. Akhirnya, dia berhasil move on dari gue. Semoga dia bahagia bersama pacar barunya.
"Selamat ya, Ran. Gue turut seneng dengernya," kata gue, sambil tersenyum.
“Iya, Gus. Gue harap kita masih bisa bertemen baik, ini makanya gue ngajak lu ketemuan. Hehe.”

Selang beberapa menit, seorang pria bertubuh tinggi dan berwajah tampan turun dari mobil BMW.
“Yuk, sayang,” kata pria itu.
“Duluan ya, Gus,” kata Rani sambil menepuk bahu gue.
“Duluan, Bro,” teriak pacarnya Rani.
“Yooo, hati-hati.”


Gue pun sampai rumah dengan selamat. Kejadian begal itu tidak nyata.

Mungkin inilah sebuah kisah mengantar mantan pulang ke rumah yang baru ( hati pacarnya )


Tulisan ini tadinya gue buat saat #memfiksikan setiap hari Jumat. Yang bertema begal. Tetapi sudah direvisi dari ide sebelumnya. Maaf jelek, udah lama banget nggak bikin cerpen. Mohon kritik dan sarannya, ya.

Terima kasih.
SHARE

Unknown

  • Image
  • Image
  • Image
  • Image
  • Image
    Blogger Comment

0 comments:

Post a Comment