JARAK.
Jarak yang gue maksud bukan nama daun. Nggak tau daun jarak? Coba aja ketik jarak di google images. Nah, begitulah bentuk daun jarak. Tapi jarak yang gue bahas ialah distance.
Bagi sebagian orang, jarak adalah hal yang paling menyebalkan. Apalagi untuk manusia yang memilih hubungan jarak jauh, biasa dikenal dengan sebutan LDR ( Long Distance Relationship )
Entah, gue nggak pernah mengerti sama orang yang memilih untuk LDR. Karena singkatan LDR juga mulai dipelesetkan menjadi Lelah Disiksa Rindu.
Setiap hari kesibukannya lebih sering menatap layar HP. Baik itu memandangi fotonya, mendengarkan suaranya, membaca pesan-pesannya. Nggak bisa menatap matanya langsung, nggak bisa pelukan, nggak bisa bersentuhan. Apalagi berciu....
Gue lupa mau ngetik apa.
Lupakan.
Gue paling males sama yang namanya jarak. Karena berjauh-jauhan itu emang nggak enak. Dari dulu gue selalu mencoba untuk berpikir, “Yang deket aja ada, ngapain nyari yang jauh-jauh?”.
Sampai pada saat gue kuliah yang jaraknya lumayan jauh. Kira-kira dari rumah menuju ke kampus itu memakan waktu 1 jam. Pikiran gue yang tadinya, “Yang deket aja ada, ngapain nyari yang jauh-jauh?” mulai berubah.
Iya, yang deket emang ada, tapi yang deket nggak sesuai sama yang gue butuh. Rata-rata biayanya bikin gue garuk-garuk kepala sampe ketombe rontok semua. Nyari duit dari mana untuk biaya kuliah yang per bulannya melebihi gaji gue? Apa gue harus ngerampok bank dulu? Apa gue harus ikut pesugihan dulu? Apa gue harus jadi berondongnya tante?
Astaghfirullah. Ngetik apa gue barusan.
Waktu itu, selagi gue baru banget bekerja, gaji gue sebulan untuk keperluan pribadi bisa dibilang pas-pasan. Maka dari itu, gue harus menyesuaikan kondisi keuangan gue dengan biaya kampus. Lagian, kata orang-orang kuliah di mana aja sama. Itu semua tergantung individunya. Ya udah, gue pun memutuskan untuk kuliah di kampus yang jaraknya lumayan jauh dengan biaya yang terjangkau. Gak apa-apa jauh sedikit, daripada deket tapi gue harus puasa sepanjang hari.
Sejak itu, gue mulai mengerti betapa pentingnya jarak. Gue nggak bisa males-malesan lagi. Sewaktu SMK, jarak tempuh dari rumah ke sekolah paling lama hanya 10 menit. Itu juga karena gue ke sekolah dengan berjalan kaki. Ketika kuliah, mau nggak mau gue harus bangun lebih awal dari biasanya. Karena kalo gue telat bangun, otomatis gue bakalan terjebak macet, terlambat kuliah, dan bisa-bisa nggak mandi pas ngampus.
Gue nggak mau membunuh temen-temen gue karena nggak mandi pas kuliah. Yang lebih penting lagi, gue nggak mau bunuh diri karena pingsan di jalan sama bau badan sendiri yang mirip kentut anoa.
Yap, gue langsung belajar me-manage waktu dari sebuah jarak.
Setelah kuliah, gue mulai hobi jalan-jalan. Maksudnya touring dan traveling gitu. Gue yang dulu biasanya lebih suka diem di rumah sambil main game, lama-lama berubah perlahan menjadi anak yang nggak betah di rumah.
Gue jadi sering ke Puncak sama temen-temen kampus maupun temen kantor. Ketika touring ke Puncak gue mulai paham, kalo jarak yang jauh itu nggak selamanya menyebalkan. Malahan seru banget. Pernah juga ketika ke curug ( air terjun ) jalan menuju curug-nya jauh banget, pokoknya melelahkan. Tapi, begitu sampai di air terjunnya, rasa capek dan lelah hilang begitu saja. Menikmati sejuknya air terjun itu yang sensasinya terasa luar biasa. Oleh karena itu, gue belajar sabar dari sebuah jarak. Dan gue mulai mengerti rasanya rindu sama rumah.
Kalo dipikir-pikir lagi, jarak itu sama seperti spasi. Coba saja kamu ketik tulisan tanpa spasi.
Maka tulisannya akan seperti ini :
Kalodipikirpikirlagijarakitusamasepertispasicobasajakamuketiktulisantanpaspasi
Apakah enak untuk dibaca?
Nggak, kan?
Ketika di sebuah ruangan, setiap kursi, meja, lemari, dan peralatan lainnya pasti diberi sebuah jarak. Nggak mungkin jika benda-benda itu berdekatan dan saling tumpuk semua. Pasti tidak akan terlihat rapi, justru berantakan.
Maka, gue ingin berterima kasih dengan jarak.
Tanpa jarak gue nggak mengerti artinya berdekatan. Tanpa jarak gue nggak mengerti caranya melatih kesabaran. Tanpa jarak gue nggak tau apa itu merindu. Tanpa jarak gue mungkin masih kesulitan untuk menghargai waktu.
Gue dapat terus bergerak juga karena ada jarak. Jadi, terima kasih jarak.
0 comments:
Post a Comment