Dilupakan.
Seperti apa, sih, rasanya dilupakan?
Mungkin itu adalah sebuah kalimat pembuka aja. Gue sendiri masih belum begitu mengerti rasanya dilupakan. Gue pernah menulis tentang tiga kata yang dilupakan. Kalian boleh baca di SINI. Kasian, kan, sebuah 'kata' aja, kalo dilupain pasti nggak enak banget. Gimana kalo kamu yang dilupain? Pasti rasanya udah asdfghjkl banget. Yang jelas pasti kecewa, sedih, sakit, de el el. Misal, dilupain sama temen SMP ketika kita sudah SMA, dilupain sama mantan, dilupain ketika meninggal.
Dilupain sama temen SMP ketika kita udah SMA itu kayaknya agak gimana gitu. Padahal, baru beberapa tahun yang lalu. Tapi banyak juga teman yang melupakan teman SMP-nya ketika sudah SMA. Nggak usah jauh-jauh, gue sendiri contohnya.
Ketika SMP, gue temenan akrab sama Agus. Seperti biasa, tokoh Agus hanyalah nama samaran. Yap, gue dan Agus sering banget bersama ketika SMP. Sering ke kantin bareng, pulang sekolah ke warnet bareng, mandi pun bareng. Bareng waktunya aja maksudnya, kalo tempat mah kagak. Yakaleeee. Amit-amit.
Namun, setelah SMA semuanya berubah. Agus yang dulu, bukanlah yang sekarang. Dulu ditendang sekarang disayang. Eh, ini mah Tegar bukan Agus. Sorry-sorry.
Jadi, ketika lulus SMP kita berpisah. Agus memilih SMA, sedangkan gue memilih SMK. Setahun nggak berjumpa, pasti ada rasa kangen dan ingin bersua sama temen SMP yang dulu sering bareng-bareng. Gue pun berniat untuk menghubunginya lewat SMS, tetapi tidak ada respons. Gue chat di Facebook, malah nggak dibales. Gue dateng ke rumahnya, dia pindah rumah. Parah.
Suatu ketika, gue tidak sengaja bertemu Agus di tempat makan. Gue berdua sama temen SMK. Agus rame-rame, mungkin sama temen-temen SMA-nya. Karena gue ingat betul bagaimana wajah Agus, gue langsung memanggilnya, “Oi, Gus.”
Agus menengok ke arah gue. Gue pun tersenyum, tetapi Agus hanya membisu. Entah, Agus pura-pura tidak mendengar, Agus tuli, atau Agus sudah melupakan gue.
Ketika gue ingin menghampirinya, temen SMK gue langsung mencegah dan bilang, “Udahlah, Yog. Dia udah beda gitu. Dia udah lupa sama lu yang cupu. Liat sekarang, dia udah jadi anak gaul.”
Yap, Agus langsung mengobrol lagi dengan teman-temannya. Dia nggak menyapa balik, “Oi juga, Yog.” Gue masih nggak percaya.
Mungkin saja Agus memang lupa sama gue. Kemudian di hari yang lain, gue iseng membuka Twitter. Melihat dia nge-twit, gue langsung mention dia, “Gus, ini gue Yoga temen SMP lu.”
Karena tidak ada jawaban, gue mention lagi, “Ini Agus yang pas SMP suka nyontek pas pelajaran IPS, kan?”
Namun, itu semua tetap tidak ada respons. Tidak puas karena hal itu, gue tetap mention dia.
“Sombong banget lu! Lupa sama gue?”
Selang beberapa menit, gue malah di-block.
Njir.
Gue kecewa. Asli, itu nyesek.
Melupakan dan dilupakan mantan itu adalah dua hal yang berbeda.
Menurut gue, sejelek apa pun mantan, dia adalah seseorang yang pernah kita sayang. Yoi. Jadi, kayaknya agak aneh aja gitu kalo mantan harus dilupain. Apa kalian lupa sama Ir. Sukarno? Mantan presiden Indonesia yang pertama, lalu Suharto mantan presiden yang kedua. Nggak, kan? Begitu juga dengan mantan, seburuk apa pun dia. Dia pasti memberikan sebuah kenangan dan pelajaran ke kalian.
Asyik banget ini kata-kata gue.
Mungkin lebih tepatnya bukan melupakan atau dilupakan, tetapi mengikhlaskan. Karena sulit bagi seseorang untuk bisa lupa sama orang yang pernah singgah di relung hatinya. Kenangan itu nggak akan bisa hilang sampai kapan pun. Kenangan kalian pas masih kecil aja, biasanya masih kalian ingat jelas, kan?
Buktinya, gue masih ingat jelas hal-hal konyol yang gue lakukan ketika SD; gue suka mengintip rok anak cewek dengan rautan yang ada kacanya, maen pelorot-pelorotan celana, dan kencing di got.
Apalagi melupakan seseorang mantan, nggak mungkin. Satu-satunya kemungkinan ialah kepala kalian terbentur dengan sangat keras hingga hilang ingatan. Contohnya: kepala kalian tau-tau kejedot tembok. Tembok Berlin. Berlinang air mata.
Tapi pasti ada orang yang pernah dilupakan sama mantannya, lebih tepatnya sengaja dilupain. Mungkin khilaf pacaran sama orang culun yang dimanfaatkan untuk membuat gebetan cemburu. Bisa juga untuk mengerjakan tugas-tugas sekolah atau kuliah.
Misalnya begini :
Agus dan gue sedang keliling-keliling di mal setelah mampir ke Gramedia untuk membaca—seperti orang kebanyakan mencari buku yang sampulnya sudah terbuka.
Bentar-bentar, bukannya lu musuhan sama Agus, Yog?
Oiya, ya udah biarin aja. Namanya juga contoh.
“Yog, lihat dua cewek yang lagi duduk itu, deh,” kata Agus, sambil menunjuk ke arah dua orang wanita yang sedang duduk di area mal.
“Iya, gue lihat. Cakep. Lu mau kenalan?” tanya gue.
“Itu mantan gue,” jawab Agus mantap.
“Serius?” tanya gue nggak percaya.
“Iya, yang make dress biru itu. Gue mau samperin.” Agus langsung menuju ke arah kedua wanita tersebut. Gue pun mengikutinya.
“Hey, Ran. Udah lama kita nggak ketemu. Apa kabar lu? Setelah putus dari gue, lu tambah cantik aja,” kata Agus menyapa Rani.
“Maaf, lu siapa, ya? Emang kita pernah jadian? Kenal juga nggak.” Kedua wanita itu langsung beranjak dari duduknya, dan pergi menjauh.
Tragis.
Untuk yang terakhir, gue nggak tau bagaimana rasanya dilupain ketika meninggal. Karena gue belum meninggal. Lagian, apa orang yang sudah meninggal apa bisa merasakan sesuatu? Entahlah.
Yang jelas, kalau kalian tidak ingin dilupakan ketika sudah meninggal. Menulislah.
Karena ada sebuah kutipan,
"Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian." -Pramoedya Ananta Toer.
Setelah membaca kutipan itu, gue mulai rajin menulis. Gue menulis apa saja yang ingin gue tulis. Dari mulai menulis cerita tentang pacar gue di notes hape. Iya, waktu itu gue menulis cerita dari awal jadian sampe putus, semuanya gue tulis. Gimana awal gue nembak dia, pertama kali berantem, terus sama-sama merasa bersalah dan akhirnya baikan. Cemburu, kesel, sedih, tawa, tangis, bahagia. Segala hal gue tulis. Tapi sayang, hape itu udah hilang.
Gue bingung mau lanjut menulis apa enggak. Tapi kalo nggak nulis seminggu aja, seperti ada yang kurang. Gue pun berusaha untuk menulis. Di mana aja, kapan aja, dan bagaimana saja.
Beberapa tahun kemudian, gue pun khilaf membuat blog. Dan jadilah blog yang saat ini kalian sering baca. Tulisan-tulisan gue zaman dulu memang nggak layak baca. Namun, hal itulah yang memotivasi gue untuk terus menulis, dan berusaha bercerita semakin baik seperti sekarang.
Gue sadar, mungkin tulisan-tulisan gue ini hanyalah curhatan sampah. Tulisan ini bukanlah cerita yang baik, tulisan gue masih buruk, dan butuh kritik atau saran dari para pembaca. Tapi, terima kasih bagi kalian yang masih sudi dan terus membaca tulisan ini.
Niat gue hanya ingin berbagi cerita. Entah itu cerita nggak jelas, cerita komedi yang malah garing, cerita yang lucu dan menghibur, ataupun cerita hidup menyedihkan yang gue tertawakan. Sehingga membuat kalian yang membaca tulisan ini sadar kalau hidup kalian tidak melulu harus sedih.
Kamu boleh sedih, cemberut, kecewa, marah, menangis. Tapi lakukan itu sebentar saja, jangan sampai kamu lupa caranya untuk bahagia. Apa pun yang terjadi, tersenyumlah. Karena ini hidupmu. Kamu berhak bahagia.
Duh, tulisan gue barusan dibajak siapa, ya?
Entah.
Yang jelas, gue hanya ingin berbagi cerita. Gue hanya ingin terus menulis apa pun yang terjadi. Tulisan gue ini jelek, buruk, sotoy, atau apa pun itu. Gue hanya nggak mau ketika mati lalu dilupakan begitu saja. Makanya, gue akan terus menulis di blog ini. Suatu waktu, jika datang saatnya nanti. Di mana setiap orang pasti akan mati. Gue akan mati dengan bahagia karena bisa menulis di blog ini. Meski gue nggak dapet gaji, nggak dibayar dari tulisan-tulisan ini. Setidaknya, gue bahagia karena ada yang membaca, apalagi memberikan komentar, serta memberi kritik dan saran atas tulisan ini. Terima kasih.
Segitu aja tulisan hari ini. Ada yang mau nambahin dan sharing tentang dilupakan? Ramaikan saja di kolom komentar.
Terima kasih sudah membaca!
0 comments:
Post a Comment