Sebelum baca Pulau Untung Jawa Part 2, mending baca yang INI dulu.
Di part sebelumnya, gue bercerita tentang banana boat. Untuk kali ini, gue akan bercerita tentang perjuangan bangsa Indonesia pada zaman penjajahan Belanda.
Yakali. Enggak laaaaah!
Gue bercerita tentang snorkeling.
Oke, ini juga pertama kalinya gue snorkeling, kalo sleeping mah udah sering. Tiap hari malah.
Kelompok 2 sudah selesai bermain banana boat-nya. Kami langsung diajak bapak yang tadi, ke tempat peralatan snorkeling-nya.
Kelompok dua siap ke daratan |
Kelompok dua lagi biar seneng fotonya dipajang,
Kelompok dua |
Kami disuruh memilih sendiri, ingin memakai sepatu warna apa, ukuran berapa, dan kelaminnya apa. Kemudian, juga memakai pelampungnya, dan kacamata untuk menyelam, biasa disebut goggles kalo nggak salah, ya?
Yang gue heran, kenapa kok karet yang ada di goggles-nya sudah pada copot. ( yang digigit itu loh ) Gue mengira orang-orang yang memakai gogglesini adalah manusia setengah vampire, giginya tajem-tajem hingga karet-karetnya pada copot.
Yaudahlah, pake seadanya. Kan kalo cinta harus bisa menerima apa adanya. *lah, apa hubungannya?
Setelah itu kami menaiki kapal menuju Pulau Rambut. Gue awalnya berpikir, “Apakah nanti ditinggal lagi seperti tadi ketika bermain banana boat?” Ah, nggak mungkinlah. Mana mungkin disuruh berenang dari pulau ke pulau. Asli. Gue langsung ngebayangin gimana rasanya berenang dari pulau ke pulau. Itu pasti capek. Bego juga kali yang nyoba berenang mah. Lebih bego lagi, ngapain gue bayangin. Ah, landak botak!
Sekitar 20an menit, kami sampai di dekat Pulau Rambut. Tapi tidak ke Pulau Rambutnya. Gue berpikir, “Pulau Rambut itu apa sih? Apa bakalan ada cewek berambut panjang yang suka menghantui para pengunjung?” Nggak mungkin deh. Kebanyakan nonton Pulau Hantu begini nih.
Hmm, gue berpikir lagi, “Ada banyak pohon rambutan nggak ya, di pulau itu?”
Dari pada gue terus berpikir dan penasaran, mending gue nanya sama abangnya.
“Bang, Pulau Rambut itu ada apa aja, sih?”
“Sama aja, Dek. Seperti Untung Jawa. Hanya sebuah nama kok.”
“Alhamdulillah.” Batin gue. “Oh gitu, Pak. Kirain ada banyak tukang cukur rambut yang tinggal di sana.” Jawab gue ngasal.
“HAHAHA, ada-ada aja lu, Dek.”
“Hehe.” Gue nyengir tanpa rasa berdosa.
Teman-temen gue langsung melihat gue dengan tatapan yang berbeda. Mungkin mereka ingin melempar gue dari kapal. Karena jawaban gue benar-benar nggak nyambung. Sepertinya mereka malu punya temen aneh kayak gue.
“HAHAHA, YOG-YOG. GILA LU!”
Namun, gue bersyukur. Mereka hanya memandang gue, menertawai gue, dan menganggap gue gila. Gapapalah. Setidaknya, gue nggak jadi dilempar. Alhamdulillah banget, gue masih diberikan teman yang tidak gila seperti gue.
Setelah sampai di sekitar Pulau Rambut. Kami mulai menyebur ke laut. Tapi, ada satu orang yang nggak mau ikutan nyebur. Dia adalah... jeng jeng jeng.
Nando!
Entah kenapa, Nando selalu panik banget sama laut. Gue aja nih, yang dulu pernah tenggelam di lautan asmara biasa saja. ( apasih, Yog? )
“Ndo, kenapa lu nggak nyebur?” tanya Buana.
“Nggak bisa renang gue, Bun.” Jawab Nando.
“Yailah, gue juga nggak bisa kali, Ndo.” Jawab gue kalem.
“Gue takut, Yog.”
“Takut apaan?” tanya gue penasaran.
“Takut dah pokoknya.”
“Ada abangnya ini, kok. Nanti gue bantuin juga, slow aja sih.” Balas Aldi.
“Ada hiunya nggak, sih?” tanya Nando polos.
“WAKAKAKAKAKKAKAKAKAK” kami semua tertawa terbahak-bahak.
“YAKALIIIIIII. UDAH BURUAN SINI NYEBUR, KAMPRET!” sahut salah satu dari kami yang mulai kesal.
Kemudian, Nando mulai menyelupkan satu kakinya, dan,
“Dingin deh, Bro.”
“Udah, jangan banyak alesan. Ayok, nyemplung aja!” kata Buana.
Rasanya, ingin gue tarik aja sih, Nando. Tapi... badan gue kurus. Gue nggak mungkin kuat.
Akhirnya, setelah penantian panjang. Nando nyemplung ke air juga. Alhamdulillah. Kami langsung mencoba untuk melihat pemandangan bawah laut. Di bawah laut, banyak keindahan yang nggak bisa gue jelaskan dengan kata-kata. Hmm, karena gue memang nggak tau namanya. Yang gue tau hanyalah ikan-ikan kecil, terumbu karang, bulu babi. Eh, iya. Bulu babi itu termasuk keindahan bukan, sih?
Barulah setelah itu sesi foto-foto. Ini dia penampakannya.
Nia |
Abdul |
Aldi |
Hadi |
Yoga |
Buana |
Tania |
Windiana |
LONCAAATTTT |
Selesai sesi foto-foto, kami bebas bermain-main di laut. Gue belajar berenang, Buana belajar menahan nafas di dalam air, Nando juga belajar...... percaya kalau di laut yang dangkal tidak ada hiu.
Gue merasa, kalau lama-lama di laut, gue bakalan darah tinggi. Soalnya, selama menyelam, gue banyak meminum airnya. Asin banget sumpah! ( yaiyalah Yog, namanya juga air laut ) Gue mengira, kalo gue nyebur ke laut, airnya bakalan manis kayak gue. Woooo! *disambit kepiting sama pembaca*
Karena terlalu lama nggak ditulis, banyak kejadian yang gue lupa. Pokoknya yang gue inget, kami langsung naik kapal dan kembali ke daratan Pulau Untung Jawa.
Lagi-lagi gue berpikir, “Kami bakal diceburin dan dipaksa berenang lagi nggak ya?”
Kebanyakan mikir lu, dasar landak botak!
kembali ke Untung Jawa |
Sesampainya di Pulau Untung Jawa, kami kelaparan. Kami langsung makan bagi yang membawa bekal. Tapi banyak juga yang tidak membawa bekal. Karena kami ini adalah kelompok yang kompak. Kami tidak sungkan untuk membagi ke teman-teman yang lain. Bersyukur sekali gue hari itu, karena gue memang tidak membawa bekal, dan teman-teman gue malah berbagi dengan yang lain. Alhamdulillah, rezeki anak sholeh. Meskipun, gue nggak sholeh. Iya, cuma nama gue aja yang Sholihin. Kalo sifatnya mah boro-boro. :’)
Setelah kenyang, kami bersiap mandi. Seperti biasanya, ladies first.
Sambil menunggu cewek-cewek mandi, Aldi memainkan gitar, dan yang lain bernyanyi. Kami menyanyikan lagu-lagu yang bertema cinta. ‘Terlalu Manis’ Slank, ‘Pedih’ Last Child, dan ‘Iwak Peyek’ Trio Macan.
***
“Bayar berapa, Nia?” Tanya Buana ke Nia.
“Tiga rebu.” Jawab Nia.
“Tiga rebu, Kak.” Jawab Nia.
Gue langsung bingung, “Kok dua-duanya nyaut, ya?” batin gue. Gue bertanya ke Nando. “Ndo, emang Nia yang mana?”
“Yang gemuk, Yog.” jawab Nando datar.
“Dua-duanya gemuk, AH, TAPIR!”
“Oh, iya. Hahahaha, yang gue tau sih adeknya Buana, namanya Nia.”
“Oh.” Gue bingung harus jawab apalagi.
Tidak puas dengan jawaban Nando. Gue bertanya ke Buana. “Bun, Nia itu adek lo?”
“Iya, Yog. Kenapa?”
“Kok tadi, ceweknya Hadi jawab juga?”
“Hahaha, cewek gue juga namanya, Nia, Yog.” Hadi menyeletuk.
“Kalo adek gue, Tania. Cuma, ya biasa gue panggil Nia juga.” Kata Buana menjelaskan.
“Yailah, pantes!”
Gue nggak nyangka, ternyata nama Nia itu pasaran. Hahaha. *Kemudian digetok sama yang namanya Nia.*
Barulah kami mandi. Tetapi, Aldi dan Abdul masih sibuk gitaran, dan bilang, “Duluan aja, Bro.” Jadi, yang mandi adalah, Gue, Buana, Nando, dan Hadi.
Karena kami tidak tau tempat mandinya, kami berempat sotoy dan main jalan-jalan aja. Di tempat itu ada 4 kamar mandi. Tetapi, penuh. Setelah mengantri kira-kira 10 menit. Gue masuk duluan. Kamar mandinya hanya disediakan air yang kapasitasnya satu ember. Pelit banget, nih, Ibunya!
Gayung pertama, gue kumur-kumur. Eh, airnya asin.
Gayung kedua dan seterusnya gue jebar-jebur mandi. Byur-byur, begitulah mungkin bunyinya. Di sela-sela suara air, terdengar suara lain,
*DOR... DOR... DOR...*
Itu bukan suara tembakan kok. Itu suara pintu digedor-gedor. “Siapa yang iseng, sih?” batin gue.
“BURUAN, DEK. GANTIAN.” Teriak ibunya.
“Yakali, baru juga masuk, udah gantian aja.” Gue mengeluh dalam hati. Asli, parah nih Ibunya!
Gue langsung buru-buru ngabisin air di ember dan segera handukan. Oke, gue nggak mau rugi. Justru air seember itu kurang. Tapi, ada masalah.
Gue...
Hmm...
Gue nggak bawa sempak. Asli, gue baru inget. Gue nggak bawa celana dalam cadangan. “Mampus gue!”
Masa iya, gue pake celana dalam yang basah. Kasian kan nanti ‘itunya’ kedinginan.
Gue memerasnya sampe kering. Gue tiup-tiup saking begonya.
*DOR... DOR... DOR...*
“BAWEL BANGET, NGGAK TAU LAGI RIBET YA. AH, LANDAK BOTAK!” teriak gue kesal.
Sebelum digedor lagi, gue memutuskan memakai celana dalam yang basah. Iya, basah. Sekali lagi, BASAH!
Di sana sudah ada Hadi. Kini, gue dan Hadi menunggu Buana dan Nando yang masih mandi. Gue nggak berani jujur, kalo gue make sempak basah.
“Yog, tiga rebu kan ya?” tanya Hadi.
“Iya, kenapa?” jawab gue, dan bertanya balik.
"Kok, ditembok tulisannya lima rebu?" Tanya Hadi bingung, sambil menggaruk-garuk kepalanya.
Gue melihat ke arah tembok. “ANJRIT!” batin gue. “Tapi, tadi kata cewek-cewek tiga rebu kan?”
“Iyasih, lo bawa duit lebih, nggak?”
“Pas goceng.”
“Yang lain pada bawa duit nggak, ya? Tanya Hadi. “Udah ah bodo, bayar aja tiga rebu.”
Terlalu lama menunggu mereka berdua mandi, Hadi ingin buru-buru kembali ke tempat duduk tadi dan langsung membayar ke Ibunya.
“Kurang, Dek.” Kata Ibu itu.
“HAH?!” Hadi kaget, matanya melotot, mulutnya mangap, bagus laler nggak masuk. “Bukannya tiga ribu?” tanya Hadi.
“Lima ribu, Dek.” Jawab Ibunya kalem.
Hadi langsung menghampiri gue, “Tuh kan, Yog. Goceng!”
“Iya, gue juga denger. Yaudah, sabar aja, tungguin mereka berdua.”
5 menit kemudian, Buana dan Nando keluar bersamaan, dalam kamar mandi yang berbeda kok.
“Bun, bawa duit lebih nggak?”
“Bawa, emang kenapa?”
“Goceng nggak taunya.”
“SERIUS?” tanya Nando panik. Gue melihat ekspresinya sama seperti Nando bertanya, “Ada hiunya nggak?”
Mengingat itu, gue langsung ngakak.
“PARAH! Air buat mandi doang goceng, mending buat minum.” Kata Nando. Gue kira Nando duitnya juga kurang, taunya dia hanya kesal.
Setelah sampai ke tempat peristirahatan tadi, kami bertanya ke cewek-cewek.
“Kalian mandinya di mana sih?” tanya gue.
“Dari sini lurus aja.” Jawab Windi.
“PANTESAN!!!” kami berempat kesal.
Kemudian, kali ini giliran Aldi dan Abdul yang mandi. Sambil menunggu mereka, kami sholat, dan setelah itu foto-foto lagi.
Windiana dan Nando |
Dan gue membuat video seru-seruan.
Barulah, setelah itu kami berjalan menuju dermaga, dan pulang.
Kami melihat-lihat orang yang berjualan cindera mata.
Gue dengan polosnya bertanya, “Ada yang jual sempak nggak, ya, di sini?”
“HAHAHAHA.” Mereka semua tertawa puas.
“Emang kenapa? Lo nggak bawa sempak ganti?” Tanya Buana.
Gue mengangguk.
“Duh, basah dong daritadi?” tanya Windi.
Gue hanya bisa mengangguk lagi.
“HAHAHA.” Lagi-lagi mereka puas menertawai gue.
“Udah, ntar juga kering.” Jawab Nando.
Gue hanya bisa pasrah, dan berdoa, semoga cepat kering.
Sampai di dermaga, kapal pun hampir penuh. Kami langsung buru-buru naik, karena kalau nggak kebagian tempat dan nantinya berangkat malam itu bahaya. Entah, apa bahayanya, gue sotoy aja.
Sore itu, ombaknya terlalu besar dan cukup menyeramkan. Gue pun bertanya ke Buana, “Bun, kalo ombaknya gede gini, bisa-bisa kita bakal tenggelam ya? Asli gue takut.”
Buana menatap gue lama, dan berkata, “Jangan ngomong yang enggak-enggak deh lu, Yog. Santai aja, sih.”
Gue berusaha menahan takut, karena ombaknya beneran nyeremin. Tuyul gondrong bergigi ompong kalah seremnya malah. Kapal mulai miring kanan dan miring kiri. Gue hanya bisa berdoa keselamatan. Tiba-tiba, Buana memegang sweater gue dengan erat. Kampret! Dia juga takut rupanya.
Sekitar pukul 5, kami sampai di Tanjung Pasir.
Oke, dokumentasi lagi.
Dari kiri : Nando, Aldi, Linda, Nia, Hadi, Windiana, Tania, dan Buana |
Pict by me |
Barulah setelah itu kami pulang ke Jakarta. Menuju kantor tepatnya. Kami pas berangkat kumpul di kantor. Dan pulang pun harus ke kantor. Setelah itu, bebas deh mau pulang ke rumah masing-masing atau ke rumah majikan.
Pukul 7 kurang atau lebih, kami sampai di kantor, dengan selamat. Alhamdulillah.
Gue hanya bisa tersenyum. Seharian ini, gue menikmati perjalanan terakhir bersama teman sekelompok di kantor. Besok, gue udah nggak bisa bercanda di kantor lagi bersama mereka. Senyum dan tawa mereka membuat gue bahagia. Tapi, cuaca mendung malam itu, membuat gue jujur, kalo hati gue juga mendung. Nggak rela rasanya harus berpisah secepat ini. Tapi pilihan tetaplah pilihan. Gue harus ikhlas. Toh, meski sudah tidak satu kantor. Namun persahabatan kami tidak akan berhenti di sini. Semoga, dan selalu. Sampai nanti kami semua sukses dengan jalan yang kami pilih masing-masing. Kami harus bersahabat hingga akhir hayat. Maka, untuk mengenang momen indah ini, gue menuliskannya.
See you, gaes.
0 comments:
Post a Comment