Solo yang berarti adalah seorang diri. Kalau duet baru berdua. Terus kalau bertiga adalah... yak, betul Trio Kwek-Kwek (tadinya malah mau ngetik threesome, tapi demi sebuah janji untuk mengurangi kemesuman di 2017, maka rule of three ini gagal). Halah! Namun, bukan itu intinya. Karena yang gue maksud di judul adalah jalan-jalan ke Surakarta (lebih dikenal dengan nama Solo) itu nggak harus sendirian. Sebab, gue pergi ke sana bersama beberapa teman grup Werewolf Telegram. Yoih!
Pertama, ada Nur Jannah—lebih dikenal dengan nama Jaimbum—yang berangkat dari Malang. Lalu, ada kami berlima; Haris, Bena, Mia, Tiwi, dan gue sendiri yang janjian kumpul di Stasiun Pasar Senen, Jakarta Pusat.
Di Sabtu sore yang cerah itu, tepatnya tanggal 19 November 2016, kereta yang akan kami naiki ini ternyata datangnya agak telat. Seharusnya keberangkatan pukul 16.00, tapi 12 menit sebelum pukul 17.00 kami berlima baru bisa duduk di gerbong. Ini PT. KAI nggak tahu apa kalau gue udah nunggu dari pukul 14.00? Mereka juga nggak tau apa kalau seorang Haris Firmansyah, seorang penulis kondang yang menerbitkan novel “3 Koplak Mengejar Cinta”, rela berangkat lebih awal dan jauh-jauh dari Cilegon? Lalu, begitu sampai di stasiun malah dibuat menunggu kereta yang terlambat? Parah! Keterlaluan banget.
Namun, kami cuma bisa bersabar. Tiket yang kami beli ini hanyalah kelas ekonomi. Lagian, ini Indonesia, Brother! Kalau nggak telat mah nggak asyik. Ngaret itu udah menjadi budaya.
***
Sayangnya, tempat duduk kami berlima itu terpisah. Bena, Tiwi, Haris, dan gue satu tempat duduk. Sedangkan si Mia sendiri bersama orang lain. Merasa iri atau bete sendirian karena nggak nyaman duduk sama orang lain, si Mia tiba-tiba bergabung dan nyempil di antara kami. Saat itu, gue memang sedang kurang enak badan dan sedikit-sedikit batuk, gue pun merasa gak enak sama mereka. Akhirnya, gue mengalah dan duduk di kursi Mia. Gue nggak begitu mendengarkan apa saja obrolan mereka. Gue lebih memilih menyumpat telinga dengan earphone dan mendengarkan musik.
Beberapa jam kemudian, ada mas-mas berkumis mengenakan kemeja batik membawa aneka makanan. Sebelumnya, mas-mas ini nggak lagi habis kondangan terus bawa makanannya pulang. Nggak. Dia petugas kereta yang memang sedang berjualan. Mia kemudian membeli nasi goreng—yang katanya—bermerek Soklariah seharga Rp30.000,00. Mas-mas itu kemudian menawarkan kami, “Temen-temennya nggak sekalian?”
Kami pun menjawab tidak. Yang kemudian dibalas dengan senyuman masnya. Sebuah senyuman sok dimanis-manisin yang terlihat menjijikkan. Mungkin itu senyuman terburuk yang pernah gue lihat.
Setelah Mia makan, Bena kemudian mengeluarkan bekalnya. Kini, tinggal gue, Haris, dan Tiwi yang masih sanggup menahan lapar hanya dengan mengunyah wafer Tango vanila yang gue bawa. Namun, biar bagaimanapun perut orang Indonesia itu harus kena nasi baru bisa kenyang. Akhirnya, kami bertiga menunggu mas-mas membawakan pop mi. Lebih dari satu jam nggak ada mas-mas yang lewat, kami bertiga mulai resah dan memilih untuk berjalan ke gerbong restorasi.
Sesampainya di sana, gue langsung bilang ke mas-mas berkumis yang memiliki senyum menjijikkan itu, “Mas, pesen pop mi tiga.”
“Wah, belum ada, Mas. Baru adanya nanti pas di Solo,” ujar mas-mas berkumis.
Sialan. Kami kan turun di Solo. Sama aja nggak ada ini mah. Cacing-cacing di perut gue bisa makin rusuh ini jogetnya.
“Terus adanya apaan?” tanya gue.
“Cuma ada nasi Dekos. Itu juga tinggal empat.”
“Gimana nih, Ris, Wi?” tanya gue ke Haris dan Tiwi.
“Ya udah ambil aja, daripada laper, Yog,” jawab Haris.
Tiwi menggelengkan kepala dan malah memesan kopi.
***
Kami bertiga sudah kembali ke tempat duduk masing-masing. Tiwi meminum kopinya, sedangkan gue dan Haris mulai menyantap nasi yang baru saja dibeli. Lauk gue ada ayam goreng yang ukurannya kecil sekali, kering kentang, kacang goreng, dan ikan teri. Suapan pertama rasanya agak aneh. Suapan berikutnya semakin nggak keruan. Tapi atas nama lapar, nasi dan lauk itu pun habis dan hanya bersisakan kacang. Saat sedang minum, gue melihat Haris seperti orang yang nggak nafsu makan. Kemudian dia langsung menaruh nasi itu ke plastik hitam yang dijadikan tempat sampah.
“Kok nggak habis, Ris?” tanya gue ke Haris.
“Nasi apaan begini? Harga 30 ribu udah kayak warteg. Lebih enak warteg malah.”
Kemudian gue tertawa mendengarnya.
Tak lama setelah itu, terdengar suara mas-mas yang meneriakkan, “Popmi-popmi.”
Bangsat!
Tadi pas di gerbong restorasi katanya baru ada di Solo, eh ini tau-tau udah nongol. Asli, gue kesel banget. Kami berlima pun refleks mengumpat. Lebih sedihnya lagi, begitu sampai di bangku kami mas-masnya hanya membawa nampan kosong. Syukurnya itu bukan mas-mas berkumis yang tadi. Emosi gue masih bisa tertahan.
Mia dan Bena terlihat kesal, kemudian mereka berniat untuk memesannya langsung ke gerbong restorasi. Tiwi segera menitip. Dan entah kenapa gue mulai tergoda untuk memesannya juga padahal tadi habis makan. Namun, godaan makan mi begitu kuat. Gue pun ikutan mesen. Karena Haris nggak ikut memesan, gue bertanya, “Lu gak nitip juga, Ris?”
“Enggak, Yog. Saya udah keluar uang 30 ribu untuk makanan kayak warteg.”
Ya, kekesalan itu sepertinya susah hilang kalau mengingat uang 30 ribu itu digunakan untuk membeli makanan yang rasanya seperti makanan di penjara (ini udah riset sama Kang Rido yang kerja sebagai sipir, tapi boong deng gue asal aja nggak riset wqwq).
Setelah kenyang, kami kebingungan harus ngapain lagi. Padahal kereta berhenti di Solojebres masih cukup lama, mungkin kira-kira sekitar 2,5 jam lagi. Nggak banyak yang bisa kami lakukan di dalam gerbong ini. Palingan cuma bisa ngobrol, mendengarkan lagu pakai earphone, atau membaca buku. Sekalinya bermain games, yang bisa gue usulkan hanyalah permainan sederhana, yaitu: permainan seperti di acara Eat Bulaga. Satu orang menuliskan sesuatu di notes hape dan memberikan clue kepada yang lain. Contohnya: gue menuliskan kuda nil di notes dan memberikan clue hewan. Kemudian yang lainnya mulai menjawab secara bergiliran dengan petunjuk-petunjuk tentang hewan itu sampai yakin bisa menjawab dengan tepat.
Misal: “Berkaki empat?” tanya salah satu.
Kemudian gue atau satu orang yang memberikan clue itu hanya boleh menjawab: “Ya”, “Tidak”, atau “Bisa jadi”.
Kemudian gantian yang lain, “Herbivora?”
“Bisa jadi.”
“Bertanduk?”
“Tidak.”
Dan seterusnya sampai lima putaran atau ada yang bisa menjawab dengan betul.
Cukup membosankan memang. Tapi mau gimana lagi? Begitulah cara kami berlima membunuh waktu hingga kereta ini sampai ke Stasiun Solojebres. Sangat tidak mungkin jika kami bermain petak umpat, gobak sodor, atau egrang di sini. Apalagi balap karung. Jadi suka atau tidak suka, ya beginilah permainan kami.
Kira-kira satu jam kami bermain permainan nggak jelas ini. Setelah itu, beberapa di antara kami memilih tidur. Karena takut kami semua ketiduran dan stasiunnya kelewat, gue memaksa melek untuk berjaga-jaga. Gue membuka aplikasi notes untuk mencatat kejadian-kejadian yang terjadi selama perjalanan sembari menahan kantuk. Lucunya, di keheningan seperti ini gue merasa kalau waktu dan kereta sama-sama melaju dengan cepat. Tau-tau telinga gue ini menangkap suara perempuan yang menginformasikan kereta sebentar lagi akan tiba di Stasiun Solojebres.
Gue memperhatikan Haris yang terbangun. Tanda kalau gue nggak salah dengar.
“Heh, Solojebres. Solojebres,” ujar gue ke mereka berempat.
“Hah? Wis sampe iki?” tanya Bena masih setengah sadar.
Kami mulai menurunkan tas dan bersiap-siap turun dari kereta. Sekitar pukul 2 dini hari, akhirnya kami sampai di tujuan. Begitu sampai stasiun, gue langsung menuju toiletnya untuk buang air kecil dan cuci muka. Selesai dengan urusan toilet, gue memperhatikan Mia dan Bena yang ketawa-ketawa memandangi mas-mas berseragam. Gue juga nggak ngerti kenapa mas-mas seragam itu sampai turun dari kereta untuk godain Bena atau Mia. Sementara itu, ada pesan dari Ilham dan Hana (anggota WWF yang kebetulan tinggal di Solo) yang sudah menunggu di depan stasiun untuk menjemput kami.
Seperti pada sebuah pertemuan pada umumnya, begitu bertemu dengan teman kami saling berjabat tangan. Kemudian, Bena dan Mia segera bonceng tiga dengan Hana. Lalu, Ilham boncengin Haris. Kalau gue dan Tiwi disuruh menunggu di stasiun.
Beberapa menit kemudian, Ilham kembali dengan motornya dan Haris menyusul di belakang dengan mengendarai motor Hana. Ilham membonceng Tiwi, lalu Haris membonceng gue. Kami berempat pun mulai mencari penginapan atau hotel.
***
Di perjalanan mencari hotel, tiba-tiba Haris bertanya ke gue, “Tadi si Hana ke stasiun dandan ya, Yog? Cantik amat.”
“Iya, Ris. Namanya juga cewek,” jawab gue.
“Dia dandan buat kamu tuh, Yog!”
“Loh, kok gue? Ya, pasti dandan buat lu lah. Kan lu yang founder grup Werewolf.”
“Kamu yang sering godain dan bercandain dia di grup.”
“Ah, lu sendiri juga suka iseng godain dia wey!”
Kami berdua pun refleks tertawa. Obrolan lelaki tengah malam mencari penginapan kok gini amat, ya? Kemudian, Haris mendadak mengeluh soal motornya yang aneh ketika dikendarai atau dirinya yang belum terbiasa membawa motor matic. Akhirnya, mau gak mau kami bertukar posisi. Gantian gue yang mengendarainya. Awalnya gue merasa biasa aja. Begitu motor berjalan beberapa puluh meter dan mulai belok, eh ternyata bener apa yang dibilang Haris. Gue membatin, Kampret motor macam apaan nih?
Baru kali ini gue mengendarai motor kayak gini. Setangnya buat belok susah, terus spion nggak bisa diatur (sama aja nggak pakai spion), dan remnya juga kurang pakem. Kacau!
“Jangan-jangan motornya sama Hana gak pernah diservis kali, ya?” tanya Haris ke gue.
“Iya, kayaknya gitu. Maklumlah, kan, anak kos.”
Memang kami berdua nggak tau terima kasih. Udah dipinjemin motor masih aja ngeluh. Astagfirullah. Padahal tanpa adanya motor Hana, mungkin kami berdua masih jalan kaki di area stasiun.
Terus lebih kampretnya lagi, si Ilham bawa motornya lumayan ngebut dan bikin kami berdua ketinggalan. Kan nggak lucu kalau kami berdua nyasar dini hari begini terus tau-tau malah berhenti di rumah bordil. Dengan modal nekat dan bismillah, akhirnya gue menambah kecepatan demi bisa mengejar Ilham.
***
Beberapa penginapan sudah kami kunjungi, tapi hasilnya sama aja. Semuanya penuh. Udah motor kayak begini, terus penginapan nggak dapet-dapet. Suram. Terus ini mentang-mentang malam Minggu hotel kok rame semua, sih? Gue curiga ini yang nginep bukan pendatang, tapi orang Solo yang menyewanya untuk ena-ena.
Setelah bolak-balik berulang kali mencari penginapan, kami pun berhenti di sebuah hotel ABC (nama disamarkan karena lupa nama).
“Kamarnya masih ada yang kosong, Mas?” tanya Ilham menggunakan bahasa Jawa ke penjaga atau pemilik hotel.
“Tinggal satu,” jawab penjaga hotel itu.
Kami pun tertunduk lemas. Apalagi mendengar harga per kamarnya Rp100.000,00. Karena merasa mahal dan udah males banget mencari hotel yang lain, kami pun bernegoisasi sama mas-mas itu. Kami memaksa untuk bisa tidur bertiga. Iya, karena sebuah keterpaksaan niatnya nanti Tiwi tidur sama gue dan Haris. Sayangnya, mas-mas itu tetap menolak kalau satu kamar cuma bisa berdua.
Dengan memohon-mohon dan memasang muka melas, akhirnya Mas itu menawarkan pilihan lain. Pilihan itu adalah, masih ada satu kamar lagi tapi belum dibersihin. Kami pun disuruh menunggu sebentar karena Mas itu mau beresin kamar belakang yang kotor. Tadinya gue udah merasa aneh dan takut sama kamar yang di belakang, tapi rasa capek telah mengalahkan ketakutan itu.
Bodohnya, gue dan Haris memilih kamar yang belakang, lalu Tiwi di kamar satunya bersama Ilham. Sesampainya di kamar, gue langsung menyeduh segelas teh manis hangat yang bahan-bahannya disuguhkan di meja. Haris sendiri malah ke kamar mandi untuk cuci muka, tangan, dan kaki (dalam bahasa gaul: wudu). Setelah segelas teh itu habis, barulah gue yang wudu. Sambil menunggu pagi, kami berdua menghabiskan waktu dengan salat Isya dan Magrib—yang dijamak. Masya Allah, kami berdua ternyata masih inget salat. Oke, ini pencitraan aja.
Berhubung waktu salat Subuh sebentar lagi dan takut ketiduran, kami berdua pun menunda tidur dengan cara ngobrolin cara ampuh menembus page one dan kiat membangun blog dengan optimasi SEO. Percakapan yang bermanfaat sekali bukan?
Bosan dengan obrolan itu, Haris menelepon kekasihnya, Hairunnisa, yang berada di Samarinda. Anehnya, baru ngobrol sebentar si Haris malah memberikan hape itu ke gue. “Si Icha mau ngomong nih, Yog.”
Gue nggak begitu inget apa aja yang Icha omongin. Cuma satu hal yang membekas di ingatan gue: “Tolong si Haris dijagain, ya! Jangan ditusuk-tusuk!”
Itu maksud Icha tusuk apaan ya, Allah?
Karena ngerasa risih teleponan sama pacar orang, hape itu gue kembalikan lagi ke Haris. Nggak lama setelah itu, salah satu masjid terdekat mulai mengumandangkan azan Subuh. Inilah saat yang ditunggu-tunggu. Gue yang emang udah ngantuk banget ini pun bergegas mengambil wudu, terus salat. Agak aneh, sih. Orang mah bangun tidur terus salat Subuh. Kalau gue malah salat terus tidur. Astagfirullah. Kelakuan emang. Seusai Subuhan, akhirnya kami berdua akan bisa tidur nyenyak.
Namun, tidur gue ternyata nggak nyenyak sama sekali. Setiap 30 menit sekali pasti kebangun. Tidur di tempat baru rasanya nggak nyaman. Entah kenapa kebiasaan seperti ini bikin gue ribet sendiri. Selalu nggak bisa nyenyak kalau bukan tidur di kasur sendiri. Seperti merasa ada yang janggal. Sekitar pukul 7 pagi barulah gue bisa tidur pulas.
Begitu membuka mata dengan keadaaan masih setengah sadar, gue kaget kalau di sebelah kanan gue ada Haris yang lagi menggenggam hape sambil menonton TV. Gue masih belum percaya kalau hari ini gue berada di Solo dan tidak lagi di Jakarta. Gue mengira kejadian semalam itu hanya mimpi. Lalu, gue menghela napas dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan. Setelah itu gue bertanya ke Haris, “Hari ini kita mau ke mana aja?”
0 comments:
Post a Comment