2 Tiang 7 Layar

Pernah gak kalian melihat hantu terus merinding sampai rasanya pengin teriak dan nangis, tapi akhirnya malah diem dan gak bisa berbuat apa-apa?

Boleh dijawab, boleh enggak. Tapi yang penting jangan gantungin aku selama berhari-hari dengan alasan, “Aku lagi fokus UN, nanti aja jawabnya.”

Kalo gue pernah, dulu pas masih kecil. Gue agak lupa pas umur berapa, seingat gue kayaknya pas masih kelas 1 atau 2 SD. Awalnya, gue lagi jagain Sadam (adik gue, saat itu umur dia baru sekitar 2-3 tahunan) di kamar karena gantiin tugas Nyokap yang mau mandi sore dan salat Magrib.

Saat sedang asyik mengajak dia bercanda, tiba-tiba Sadam menangis kencang. Gue nggak tau apa yang salah dengan bercandaan gue. Gue bertanya, “Kenapa, kok nangis?”

Dia tidak menjawab dan tangisannya pun semakin keras. Saat gue sekilas mengalihkan pandangan, gue melihat Nyokap lagi berdiri salat Magrib di sebelah kasur di pojokan kamar. Tapi setau gue Nyokap masih berada di kamar mandi. Setelah gue lihat lagi, rupanya itu bukan Nyokap. Itu adalah hantu bungkus—atau yang lebih dikenal pocong. Gue hanya bisa menutupi muka dengan bantal karena gak bisa teriak ataupun menangis.

Kali ini, gue merasakan hal yang sama. Namun, gue bukan melihat hantu lagi. Gue baru saja melihat video ini.



Kalo nggak bisa di-play, klik aja ini: https://www.youtube.com/watch?v=p0v7gLxlnN4
Gue sarankan untuk menontonnya terlebih dahulu. Tapi kalo kuota lagi sekarat, ya tonton aja pas dapet wifi atau kuota lagi banyak. Ehehe.

Sumpah, habis menonton video itu hati gue rasanya tertusuk-tusuk. Gue speechless sampai sekujur badan merinding, setetes embun mengalir dari sudut mata, dan juga cepirit di celana.

Video yang kalian tonton barusan adalah tentang Perahu Pinisi.

Pinisi adalah kapal layar tradisional khas asal Indonesia, yang berasal dari Suku Bugis dan Suku Makassar di Sulawesi Selatan. Kapal ini umumnya memiliki dua tiang layar utama dan tujuh buah layar, yaitu tiga layar di ujung depan, dua di tengah, dan dua di belakang. Dua tiang layar utama tersebut berdasarkan 2 kalimat syahadat, sedangkan tujuh buah layar merupakan jumlah dari surah Al-Fatihah.

Perahu Pinisi ini gambarnya juga sempat tercetak di uang kertas 100 rupiah. Dan ternyata, gue masih menyimpan uang itu di dompet. Ini bukti gambarnya.

Galeri pribadi
Pinisi itu merupakan warisan dari nenek moyang yang masih dibuat sampai sekarang. Dari dulu sampai sekarang, para pembuat kapal ini berusaha untuk tidak menghilangkan budayanya. Kalau ada pesanan dari orang asing (bule), ikuti apa maunya dan boleh dipadukan dengan gaya modern, tapi ciri khasnya jangan sampai dihilangkan, yaitu: 2 tiang 7 layar. Kebudayaannya itu yang tidak bisa dibuang begitu saja.

Di video itu, bahkan ada seorang bapak yang berharap anaknya bisa meneruskan pekerjaannya kalau nanti sudah besar. Jadi, anak-anak itu terus menggantikan orangtuanya agar budaya ini tidak musnah. Apalagi gue semakin terenyuh ketika ada bapak-bapak yang bilang, “Saya cinta sekali pekerjaan ini.”

Gue jadi inget sama cerita pembuka di bukunya Pandji, Indiepreneur,

“Orang Indonesia itu aneh, ya,” ujar orang Jerman kepada Koes Pratomo Wongsoyudo, ayah Pandji.
“Aneh bagaimana?”
“Kalau bikin ukiran bisa detail sekali, indah, presisi,” ujar orang Jerman sambil menunjuk ke sebuah ukiran kayu jepara yang menempel pada tembok hotel. “Tapi... orang Indonesia kalau bikin tangga, anak tangganya nggak presisi banget. Ada yang 20 cm, ada yang 21 cm, dan 20,5 cm. Nggak bisa presisi, nggak bisa rapi. Kenapa begitu, Koes?”

“Yang bikin ukiran itu berkarya, yang bikin anak tangga itu bekerja.”

Dan gue menyimpulkan sesuatu,

Walaupun mereka—para pembuat Perahu Pinisi—tidak menulis karya sastra seperti novel, cerpen, atau puisi; mereka tidak melukis atau mendesain gambar; mereka juga tidak bikin video di Youtube. Namun, menurut gue, mereka juga tetap berkarya dalam membuat perahu. Mereka berkarya dengan hati.

Dan yang paling unik dari Perahu Pinisi ini adalah proses pembuatannya. Dikerjakan oleh tangan-tangan ahli sebanyak 10 orang yang dipimpin oleh 1 orang. Pemimpin ini biasa disebut sebagai Punggawa (kepala tukang). Perahu ini dibuat dengan menggunakan peralatan yang begitu sederhana. Yap, semua bagian kapal ini dibuat dari kayu. Perakitan Perahu Pinisi juga tidak menggunakan paku (paku besi). Papan kayu itu saling disatukan dan dipaku cuma dengan menggunakan kayu sisa pembuatan badan kapal. Gokil.

Memang, sih, pembuatannya butuh waktu lama sekitar 1-2 tahun. Tapi, proses pembuatan perahu itu tanpa menggunakan catatan ataupun gambar. Tidak ada catatan seperti perhitungan ukuran, tidak ada gambaran dan desain perahu, dan tidak ada hal detail lainnya yang direkam ke dalam bentuk tulisan ataupun bentuk lain. Semua pengetahuan yang dimiliki itu tersimpan di kepala Punggawa dan diturunkan selama beratus-ratus tahun kepada penerusnya hanya lewat lisan.

Luar biasa.

Gue berdoa dan berharap semoga kebudayaan itu tidak akan pernah lenyap. Aamiin.

--

“Bagaimana manusia budaya itu? Dia dinilai dari prestasinya, dari apa yang dipersembahkannya pada sesama.” — Pramoedya Ananta Toer

Sumber referensi:

https://id.wikipedia.org/wiki/Pinisi
http://www.gocelebes.com/kapal-pinisi/
SHARE

Unknown

  • Image
  • Image
  • Image
  • Image
  • Image
    Blogger Comment

0 comments:

Post a Comment