Gue kaget bukan main ketika nama dan kontak gue tercantum di poster sebuah acara kumpul-kumpul. Tenang, bukan acara kumpul untuk mesum, kok. Tapi ini acara kumpul blogger regional Jabodetabek. Sumpah, gue sebenernya cuma takut kalo nomor hape gue jadi tersebar ke mana-mana. Bisa aja ada yang iseng nulis nomor hape gue di tembok WC umum.
Cewek bispak cakep, 085710002000
Kan nggak lucu kalo tiba-tiba ada om-om nakal yang nelepon gue dan ngajak ke hotel.
Atau, bisa aja ditempel di tiang listrik, lalu ditulis jadi tukang sedot WC. Ini gue dari tadi ngapain bahasnya nggak jauh-jauh dari WC mulu, sih? Oke, maaf. Ngetik ide pembukaan ini emang pas lagi boker, sih. Hehe.
Ketika gue lagi santai di rumah, tiba-tiba ada panggilan dari nomor yang tidak dikenal.
“Halo,” kata gue.
“Halo, Pak. Saya mau sedot WC nih. Sudah dua hari ini mampet....”
Baguslah hal itu tidak terjadi.
Terus cerita kopdarnya mana woy?! Gue close tab juga nih!
Baiklah, ini udah saatnya untuk mulai bercerita.
Acara ini berlangsung pada hari Minggu, tanggal 21 Februari 2016. Sebenernya acaranya nggak cuma buat blogger. Ini acara silaturahmi terbuka bagi siapa aja. Buat yang emang pengin dateng meskipun bukan blogger nggak jadi masalah. Entah itu dia seorang hakim, badut sulap, bahkan baby sitter juga boleh.
Walaupun lebih fokusnya ke regional Jabodetabek, namun acara ini tidak membatasi regional lainnya. Seperti temen gue, Hawadis (blogger asal Pontianak yang kebetulan lagi main ke Bogor), dia ikut dalam kumpul-kumpul ini.
Minggu pagi itu, gue bangun lebih cepat dari biasanya. Gue sudah siap-siap untuk menjemput Haw di Stasiun Tanah Abang. Ya, kami sepakat janjian di sana. Ketika Haw mengatakan sudah sampai di Manggarai, gue—yang memang sudah siap—langsung bergegas ke stasiun. Tapi sesampainya di sana, ternyata Haw malah belum sampai. Setelah menunggu beberapa menit, akhirnya ada seorang laki-laki berkacamata mengenakan kemeja kotak-kotak menghampiri gue.
“Pak, sedekahnya, Pak. Belum makan seminggu.”
Eh, nggak gitu deng. Laki-laki itu adalah Haw. Gue pun segera memboncengnya menuju Taman Mini Indonesia Indah—yang biasa disingkat TMII.
***
“Yog,” kata Haw. “Ini kita lagi di deket Kotu (Kota Tua, Museum Fatahillah), ya?”
“Hah?” tanya gue heran, sambil berusaha fokus mengendarai motor.
“Iya, itu gedungnya kayak Museum Bank Indonesia deket Kotu.”
Gue bingung harus merespons apa. Mau ketawa, tapi kasihan karena Haw memang baru pertama kali ke Jakarta. Mau nahan ketawa, tapi lucu banget.
FYI, Kami berdua lagi di daerah Permata Hijau yang jaraknya lumayan jauh dari Kota Tua. Jadi kayaknya nggak mungkin banget kalo gedung itu pindah. Gue pun hanya bisa menjawab, “Bukan. Kotu mah agak jauh dari sini. Emang banyak gedung-gedung yang mirip di Jakarta mah.”
“Oh, gitu.”
Melihat kepolosan Haw, gue jadi mikir suatu saat ketika gantian main ke tempatnya, Pontianak (semoga ada rezeki banyak dan bisa keliling Indonesia. Aamiin).
“Haw, garis Khatulistiwa-nya mana, sih?” tanya gue. “Gue mau lihat.”
Ah, semoga saja gue juga tidak sepolos (dibaca: sebodoh) itu.
Hari itu kondisi lalu lintas lancar sekali. Gue pun bisa mengendarai motor dengan ngebut. Sekitar 30 menit berselang, kami sudah sampai di kawasan Jakarta Timur. Namun, karena gue udah lama banget nggak main ke TMII (terakhir pas SMP kalo nggak salah), gue pun mendadak lupa jalurnya.
“Haw, gue lupa nih. Ini naik ke fly over apa lewat bawah, ya?” tanya gue saking paniknya.
“Aku nggak tau, Yog,” jawab Haw jujur.
Yaiyalah dia nggak tau. Dia baru pertama kali lewat sini. Emang bego yak gue kalo lagi panik. Lagi nggak panik juga kadang bloon, sih.
Melihat petunjuk jalan yang menginformasikan kalau lewat fly over itu ke arah Depok, maka gue pun mengambil jalur bawah. Kampretnya, jalur bawah itu malah untuk puter balik. Yak, gue salah jalan. Mau tidak mau, kami berdua kudu cari puteran untuk kembali ke jalan yang tadi. Naasnya lagi, puterannya jauh banget. Kira-kira, ada kali 5-10 menit untuk balik lagi ke fly over yang tadi.
***
Kami berdua sudah sampai di TMII sekitar pukul 9 lewat. Dengan membayar pintu masuk seharga Rp 26.000, yang 10.000 untuk per orangnya, dan 6.000 untuk motor. Setelah itu kami segera menuju parkiran untuk....
Ya, parkir motorlah. Masa ngajakin Boy sama Reva balapan. Dikira sinetron Anak Jalanan!
Gue mengecek grup WhatsApp, menanyakan siapa saja yang sudah sampai di sini. Nggak disangka udah ada Darma, Dika, Rizal, Lulu, dan tiga orang temen SMA-nya yang sudah kumpul di tugu yang mirip Monas (atau kita sebut saja Mini Monas). Ada juga Robby yang bilang lagi duduk sendirian deket tukang mainan gelembung.
Gue dan Haw berusaha mencari-cari di mana mereka ini. Sambil mencari mereka, kami berdua (sebenernya gue sendiri, Haw hanya menemani) memotret Mini Monas. Puas dengan beberapa hasil fotonya, barulah kami mencari mereka.
Saat sedang fokus mencari tukang gelembung sabun, dari jauh gue melihat di dekat situ ada cowok memakai sweater biru duduk sendirian seperti sedang merenung. Gue kayaknya mengenali cowok ini. Oleh karena itu, gue langsung bilang ke Haw, “Eh, itu salah satu anak yang ikut kopdar bukan, sih? Kayak Robby deh.”
“Emang lu udah pernah ketemu sebelumnya?”
“Belum, sih. Tapi itu kayaknya emang Robby deh,” jelas gue.
“Bukan kayaknya, Yog. Itu mah tukangnya lagi bete. Dari pagi dagangannya belum laku,” ujar Haw.
Setelah asyik muter-muter, tapi nggak ketemu mereka satu pun, gue langsung bertanya lagi di grup WhatsApp. Darma mengirimkan foto Lulu dan ketiga temannya yang sedang duduk. Melihat gambar itu, gue dan Haw segera ke sana.
Kami berdua sudah melihat mereka, tapi gue mengusulkan kepada Haw seolah-olah nggak kenal biar mereka aja yang manggil. Hohoho. Baru mau melancarkan aksi, tiba-tiba Dika sudah lebih dulu melihat kami. Rencana pun gagal.
Gue dan Haw menyalami mereka satu-satu. Sambil menunggu yang lain, kami semua berkenalan (untuk yang belum saling mengenal) sekaligus berdiskusi “Kopdarnya mau ngapain aja?”
Tak lama setelah itu, tukang gelembung sabun yang tadi gue dan Haw lihat datang menghampiri kami. Lalu, Darma menjabat tangannya dan berbicara sesuatu kepadanya. Yang ternyata dia adalah... emang tukang gelembung sabun. Eh, bukan-bukan. Dia adalah Robby.
Kemudian, Aziz dan Adibah pun datang bersamaan. Ejiyeee. Sama-sama “A”. Selanjutnya yang datang berikutnya adalah Salam.
***
Karena teman-teman yang lain katanya akan menyusul agak siangan, kami semua mulai jalan menuju Museum Penerangan sekalian meneduh karena langit tiba-tiba menangis. Begitu langit mulai cerah kembali, kami pun melanjutkan perjalanan sembari mencari tempat yang asyik untuk ngobrol-ngobrol.
Sebelum itu, kami pun foto-foto di depan museum.
Kelar foto-foto gue mengecek HP, ternyata ada notifikasi di grup WA, Dian bilang kalo dia udah sampe di pintu masuk. Beberapa di antara kami menjemputnya, sebagian lainnya pun menunggu di depan museum. Cukup lama menunggu Dian dan teman yang menjemputnya, kami pun hanya ngobrol-ngobrol random. Begitu Dian sampai, kami semua segera melanjutkan perjalanan menuju ke danau.
Di jalan menuju danau, kami melewati Anjungan Sumatera Barat. Karena kami anaknya ini lumayan narsis, maka berhenti dahulu dan mengabadikan momen. Kebetulan banget Rizal memang membawa DSLR. Niat abis nih dia. Ehehe. Kapan lagi, yekan? Manfaatkan kesempatan ini.
***
Sesampainya di pinggiran danau, kami langsung mengeluarkan aneka macam jajanan yang sengaja dibawa dari rumah. Sambil makan camilan, kami mulai mengenalkan diri satu per satu. Setelah itu, kami membahas beberapa topik mengenai permasalahan yang terjadi di komunitas. Selain itu, gue juga mendapatkan titipan dari Dara Agusti untuk menyampaikan Proyek Indonesia Menulis (untuk lebih jelasnya, bisa langsung klik).
Keren banget nih dia. Menjalankan proyek untuk tujuan yang sangat mulia. Hasil penjualan dari buku itu akan didonasikan untuk peningkatan kesehatan dan pendidikan Anak Bumi Sebalo, Kab. Bengkayang, Kalimantan Barat.
Lelah ngobrol-ngobrol, kami memilih untuk break salat Zuhur di masjid atau musala yang ada di Anjungan Sumatera Barat. Di sini, Dicky datang secara tiba-tiba. Yang kemudian Reza juga datang menyusul. Setelah semuanya kelar salat, kami langsung menuju ke Istana Anak-Anak. Biarpun kami sudah tak pantas lagi disebut anak-anak, tapi kami hanya ingin menyesuaikan acara ini dengan poster yang telah dibuat. Karena di poster itu gambarnya memang Istana Anak-Anak. Ya, masa kami nggak ke situ, sih. FYI, untuk tiket masuknya seharga Rp 10.000.
Di sana, kami langsung menuju ke sebuah tempat untuk makan-makan. Lucunya, di dekat situ sedang ada panggung yang menampilkan beberapa penyanyi cantik.
Ini dia biduannya.
Digoyang |
Uhuy. Sambil makan bisa puas mendengarkan suara merdu si Mbak sambil memandangi wajahnya yang adem. Seadem ubin supermarket.
Atas (dari kiri ke kanan): Reza, Dika, Robby, Dicky, Haw, Salam, Temen Lulu 1 (gue lupa namanya sebut aja gitu), Lulu, Adibah, Dian, Temen Lulu 2 dan 3. Bawah: Azis, Darma, Yoga, dan Rizal |
Setelah kenyang, kami memilih untuk foto-foto lagi. Di Istana Anak-Anak ini, kami pun hanya ngobrol-ngobrol nggak jelas lagi. Saking nggak jelasnya, tiga teman SMA-nya Lulu memilih untuk pulang entah karena apa. Sepertinya mereka sudah nggak kuat lama-lama bersama orang-orang absurd ini.
Padahal gue sudah usaha mengusulkan untuk bermain sebuah game biar seru, namun karena bingung hukumannya yang kalah kudu ngapain, maka game itu pun nggak jadi dimainkan.
Kampret banget emang mereka!
Selanjutnya, kami duduk-duduk di dekat musala yang berada di dalam Istana Anak-Anak sekalian nanti salat Asar dan ngobrolin suatu hal penting yang tidak bisa diceritakan di blog ini. Karena kesel sama obrolan ini yang nggak menemukan titik cerahnya, gue mengusulkan untuk main game lagi. Beberapa di antara mereka bertanya, “Emang game apaan? Cara mainnya gimana?”
Gue pun menjawab, “Tapi yang kalah ngapain nih?”
Mereka langsung nyuekin gue lagi. Bangkhe.
Gue sudah tidak begitu peduli dengan obrolan itu. Apalagi Dicky yang paling nggak jelas tiap ngasih ide. Konyolnya, beberapa anak-anak yang lain ada yang setuju. Heran gue. Ya udah, kalo emang pada ngaco, gue pun ikutan ngaco. Gue mulai nyerocos dengan beberapa usul yang tidak ada serius-seriusnya, bahkan sarkas.
“Terus yang kalah ngapain nih?” tanya gue. Berharap mereka berubah pikiran dan ada yang mau diajak main game.
Beberapa di antara mereka tertawa, kemudian lanjut membahas topik itu lagi. Gue pun bete. Saat mereka sedang serius-seriusnya mikir, gue tiba-tiba bilang, “Terus yang kalah ngapain nih?”
“Hahahaha”
“Udah apa, Yog. Masih aja lu. Callback mulu lagi.”
Gue nggak lagi stand up sialan! Gue serius banget ini. Astagfirullah.
Jam sudah hampir menunjukkan pukul 17.00, tetapi topik obrolan belum juga mendapatkan benang merahnya. Kami udah pada capek dan memutuskan untuk pulang. Sebelum pulang, kami menyempatkan duduk sejenak untuk kumpul lagi di Mini Monas untuk berterima kasih kepada teman-teman yang rela meluangkan waktunya untuk datang ke TMII, lebih tepatnya datang ke acara nggak jelas ini.
Yeah, thank you, Gaes. Kalian memang luar biasa!
***
PS: Untuk Dara, maaf ya baru sempet nulis kopdar ini sekarang. Jadi promosi mengenai proyek lu di blog ini telat deh. Well, semoga tetep banyak yang ikutan proyek itu, ya! Aamiin.
Maaf juga buat temen-temen yang udah ikutan kopdar, tapi merasa acaranya biasa aja. Jangan pada kapok buat dateng. Oiya, untuk foto-fotonya dari kamera Rizal.
Terima kasih.
0 comments:
Post a Comment