Sekitar tahun 2012.
Ketika sedang seru membaca novel, tiba-tiba handphone gue berbunyi. Gue memilih untuk mengabaikannya dan tetap lanjut membaca. Gue memang termasuk orang yang malas diganggu saat fokus membaca. Hape itu berdering terus-menerus, tanda ada panggilan masuk. Sebuah panggilan dari Agus Purnama, teman SMK.
Gue segera mengangkatnya.
“Halo, Yog...,” kata Agus. “Gue boleh minta tolong?” Suaranya terdengar begitu panik.
“Boleh aja. Kenapa deh?” tanya gue.
“Lu lagi sibuk gak?” tanya Agus. “Kalo lagi sibuk, mending nggak usah. Ntar ngerepotin.”
Gue bisa saja menjawab, “Duh, sibuk banget nih. Lagi nyari duit buat ngeberangkatin Mak Ijah ke Mekkah. Sorry, ya.”
Namun, gue tidak bisa begitu. Gue berusaha mengatakan, “Gak, kok. Santai.” Meskipun dia sudah mengganggu waktu santai gue. Gue mencoba ada di saat teman sedang membutuhkan bantuan.
“Jadi gini....” Agus mulai bercerita mengenai masalahnya.
“Nih, Gus,” kata gue menyerahkan sebuah flashdisk kepada Agus di suatu warnet daerah Jakarta.
Kini, Agus bercerita lebih detail.
Jadi, Agus baru saja kehilangan flashdisk-nya. Ia sedang mengerjakan tugas di warnet karena belum memiliki komputer atau laptop pribadi. Tapi karena warnet itu ternyata printer-nya sedang rusak, maka Agus pun memilih untuk main online games saja. Ya, bermain online games memang lebih menyenangkan ketimbang mengerjakan tugas. Begitu jam sewanya habis, Agus pun buru-buru mencari warnet lain untuk melanjutkan dan nge-print tugasnya. Bodohnya, flashdisk miliknya masih tertinggal di CPU.
Agus segera kembali ke warnet itu. Tapi sayang, flashdisk itu telah lenyap. Ia langsung bertanya kepada orang yang menempati bilik nomor 6—bilik yang Agus sewa tadi. Tapi orang itu menjawab tidak tahu. Agus juga menanyakan flashdisk ke operator warnet, tapi operator itu pun bilang tidak tahu. Setelah itu, Agus menelepon gue untuk meminjam flashdisk .
***
“Parah! Padahal itu cuma flashdisk, Yog.”
“Cuma?” tanya gue. “Bukannya itu lumayan harganya kalo dijual?”
Saat itu, harga flashdisk memang tidak semurah sekarang. Kalau tidak salah masih sekitar 100-200 ribu. Nilai yang lumayan bagi seorang murid SMK.
“Iya, sih. Itu senilai uang jajan gue dua minggu.”
“Ya udahlah. Ikhlasin aja,” kata gue sok nasihatin.
Agus terdiam sebentar.
“Tapi banyak file bokepnya, Yog. Kan, capek gue dowload-nya.”
BODO AMAT SETAN!
“Zaman sekarang, orang baik dan jujur udah jarang, ya,” ujar Agus menyimpulkan sesuatu setelah kejadian barusan.
Gue hanya tersenyum dan segera pulang.
***
Februari 2016.
Saat ini, gue semakin gila membaca novel. Hampir setiap hari rasanya haus akan bacaan. Namun, berhubung keuangan gue pas-pasan, gue hanya bisa membaca novel-novel lama. Udah jarang banget gue membeli novel baru. Itu pun kalo beli nunggu diskonan dulu. Ehehe.
Bagusnya, gue tidak sengaja melihat sebuah tweet yang berisi gambar novel. Ia sedang menjual novel bekas.
Wah, banyak buku-buku lama. Asyik nih! Batin gue.
Itu ialah akun Twitter Kak Sarah Puspita, istrinya Bang Roy Saputra. Karena memang berniat membeli, gue langsung follow dan menanyakan tentang novel itu. Kak Sarah membalas mention gue. Ia memberikan kontak WhatsApp, supaya tanya-tanyanya via chat saja. Tapi sayang, beberapa novel yang gue pengin telah terjual. Alhasil, gue hanya memilih dua novel.
“Gak beli tiga aja? Kalo beli tiga, nanti aku gratisin ongkirnya (ongkos kirim). Hehe.”
***
“Jadi ini totalnya berapa, Kak?” tanya gue di WA.
“Enam puluh ribu.”
Gokil. Jarang banget gue bisa beli tiga buah novel semurah itu. Ya, meskipun bekas, tapi gue yakin kondisinya masih bagus.
“Eh, ini beneran gratis ongkir, kan?” tanya gue memastikan.
“Iya.”
Wah, Kak Sarah baik banget.
***
Tiga hari kemudian, saat gue baru pulang dari rumah temen habis ngomongin bisnis (halah sok bisnis, padahal mah ngerjain tugas kuliah), Bokap menyerahkan sebuah bingkisan berbungkus koran.
“Nih, ada kiriman.”
“Kiriman apaan?” tanya gue.
“Gatau. Cek aja sendiri.”
Setelah mengingat-ingat sesuatu, gue pun menjerit-jerit dalam hati. Yeaaah. Bukunya sampe juga. Gue langsung mengecek isi bingkisan itu, siapa tau isinya malah bom. Oke, ngaco. Isinya adalah tiga buah novel sesuai pesanan gue yang keadaannya masih sangat bagus. Dengan penuh nafsu, gue segera membaca salah satu novelnya.
Namun, ada yang tidak beres di sini. Gue kaget bukan main. Gue pun mengambil hape dan mengontak Kak Sarah. “Kak, bukunya udah sampe nih. Makasih, ya.”
“Oke, sama-sama, ya.”
“Iya, Kak. Btw, ada yang salah nih.”
Gue menjelaskan sebuah kesalahan yang terjadi.
“Hah? Seriusan? Di mana?” tanya Kak Sarah.
“Serius,” jawab gue.
“Duh, salahku nih. Aku pasti nggak ngecek. Suamiku deh pasti yang nyelipin. Maafkan, ya. Jadi merepotkan kamu.”
“Gapapa, kok. Santai aja.”
***
Sekitar lima menit sebelumnya, gue menemukan uang yang terselip di salah satu novel. Dan... jumlahnya lumayan banget.
Yap, dua ratus ribu. Gilaaa. Rezeki banget ini mah. Bisa buat makan dan jajan semingguan lebih untuk mahasiswa seperti gue. Beruntung banget ini rasanya. Beli novel murah, eh malah ada duit lagi di dalamnya.
Namun, di hari itu, entah kenapa ada suara di hati kecil gue untuk berbuat kebaikan. Hal yang sungguh tidak biasa, karena biasanya mah, “Ayo maksiat, Yog!”
Anyway, gue masih bimbang.
Dua ratus ribu loh, Yog. Lumayan banget. Lu bisa makan nasi padang selama seminggu. Perbaikan gizi.
Hati kecil gue masih menyuruh untuk berbuat kebaikan, yaitu mengembalikannya.
Orangnya kagak tahu ini. Santai, Yog!
Lagi-lagi, hati kecil gue menolak untuk berbohong.
Yaudah, balikin aja yang cepe. Cepenya lagi buat lu. Jadinya fifty-fifty.
Diri gue sudah sepenuhnya tersadar. Ini duit bukan hak gue. Itu milik Kak Sarah. Gue yakin Kak Sarah orang yang baik. Tidak sepantasnya dia mendapatkan balasan yang tidak baik. Gue pun mengatakan hal ini ke Kak Sarah sejujur-jujurnya.
***
“Udah saya transfer ya, Kak.” Gue mengirimkan pesan itu berikut bukti transfernya.
“Terima kasih banyak, ya. Nuhun sangat. Maaf merepotkan sekali lagi,” balas Kak Sarah.
Ngomong-ngomong, ini cerita asli. Sungguh. Bukan cerita di dalam novel ataupun cerita fiksi. Jika kalian tidak percaya cerita ini (sebenernya percaya ama gue musryik juga, sih), boleh lihat screenshot berikut ini.
Gue tersenyum membaca pesannya. Lega sekali bisa berbuat baik.
“Ini aku lagi ngasih tau dia, dia malah kaget. We’re glad ditemuinnya sama orang baik.”
“Ditunggu, ya. Semoga karma baiknya selalu menyertai kamu :D.”
“Aamiin.”
Tak lama setelah itu, gue pun mention Bang Roy.
Oiya, gue tidak berharap apa-apa akan kejadian barusan. Gue hanya memenuhi permintaan Kak Sarah untuk mention Bang Roy. Gue juga tidak berharap dinilai baik di mata pembaca blog ini. Tidak. Gue hanya ingin berbagi cerita ini. Karena passiongue memang bercerita. Barangkali ada manfaat yang bisa kita ambil dari kejadian itu.
***
Seandainya gue bisa bertemu lagi dengan Agus yang saat itu bilang, “Zaman sekarang, orang baik dan jujur udah jarang, ya.”
Gue ingin sekali berkata kepadanya, “Kalau memang udah jarang, kenapa kita nggak mencoba jadi salah satunya?”
0 comments:
Post a Comment