Out of The Box

Ada yang tahu istilah out of the box?



Hm... kayaknya kalian semua udah pada tau. Tapi biar bagaimanapun, gue akan mencoba membahasnya dari sudut pandang gue.

Mari kita mulai.

Berpikir out of the box artinya ialah berpikir yang keluar dari kotak. Maksudnya bukan berdiam diri sambil berpikir berjam-jam di dalam sebuah kotak—biasanya kardus atau lemari juga boleh—,terus setelah beberapa jam kemudian akhirnya keluar dari kardus itu karena telah menghasilkan ide-ide kreatif.

Bukaaaan weyyyy. Bukan.

Oke, maaf.

Jadi, maksudnya adalah bagaimana kita berpikir yang keluar dari sebuah kotak. Menjadi tidak seperti biasanya. Memiliki pemikiran yang berbeda seperti kebanyakan orang—in the box.
Orang yang berpikiran in the box tidak suka dengan hal yang aneh-aneh. Mereka lebih suka menjadi pengikut. Males menciptakan sesuatu yang baru. Pokoknya biasa melakukan hal-hal monoton deh.

Nah, out of the box ini sebaliknya dari itu. Bahkan orang-orang out of the box terkadang suka dikatain orang gila.

Inget kasus Wright bersaudara yang punya ide bagaimana manusia bisa terbang? Sekarang ide gila itu malah menjadi transportasi para manusia. Ya, sekarang kita menyebutnya pesawat atau kapal terbang.

Gimana? Udah mulai ngerti, kan? (dari sebelum lu jelasin gue juga udah ngerti, Yog!)

Btw, gue punya sebuah pengalaman mengenai pemikiran out of the box. Mari lanjutkan membaca. Namun, jika kalian sudah mulai kelelahan, di pojok kiri sana ada kamera. Lambaikan tangan kalian dan artinya kalian menyerah. Juga di pojok  kanan ada foto gue. lihatlah dengan saksama selama 10 detik, niscaya kalian akan semangat kembali muntah.

***

Waktu itu, di saat mata perkuliahan Manajemen Pemasaran, Pak Teguh—dosen matkul tersebut—bertanya kepada para mahasiswanya, “Bagaimana cara menjual tempe di sebuah wilayah yang orang-orangnya nggak suka atau alergi dengan kedelai?”

Suasana mendadak hening. Tidak ada satu pun yang menjawabnya.

Tak lama setelah itu, akhirnya ada yang menjawab, “Lah, belagu amat itu orang, Pak. Masa nggak suka sama kedelai. Saya aja doyan banget sama tahu-tempe.”

Yak, si Agus (nama disamarkan) memang tidak pernah benar kalau menjawab. Seisi kelas pun banyak yang tertawa. Sang dosen hanya tersenyum, lalu berkata, “Nggak ada yang bisa jawab, nih?”

Arif—yang duduk sebelah gue—dengan santainya langsung mengangkat tangan kanan gue.

“Ya, kamu yang angkat tangan di belakang sana,” kata Dosen sambil menunjuk gue.

Teman-teman yang lain langsung memandangi gue. Gue grogi mampus.

Aduh, jawab apaan nih gue. Kacau.

Saking bingungnya, mulut gue pun terbuka, “Saya mau ke toilet, Pak. Hehehe.”
“Jangan bercanda kamu!” omelnya. “Sudah cukup si Agus yang menjawab ngawur. Kamu jangan ikut-ikutan.”

Astagfirullah. Kenapa giliran gue malah apes banget? batin gue.

“Iya, maaf, Pak,” kata gue, sambil mencoba berpikir beberapa hal yang terkait dengan tempe atau kedelai. Dosen dan teman-teman mulai melihat gue dengan tatapan yang tidak biasa. Mereka sepertinya masih menunggu jawaban dari gue.

“Hm...,” kata gue sok mau jawab sambil memikirkan jawabannya. “Kenapa nggak jual susu kedelai aja, Pak?” lanjut gue sotoy.

“Yak! Tepat sekali. Dengan menjadikannya sebuah susu, orang-orang yang tadinya berpikir kalo kedelai itu tidak enak malah akan menyukainya.”

Nggak nyangka, gue yang hanya inget akan sebuah momen pas SD sering banget jajan susu kedelai bisa jawab bener.

“Itu adalah salah satu contoh berpikir out of the box, bagaimana kita berpikir di luar kebiasaan kita. Berpikir hal-hal yang tidak biasa dipikirkan orang lain. Jika kalian ingin menjadi seorang manajer pemasaran, maka kalian haruslah memiliki pemikiran yang seperti ini. Mempunyai ide-ide kreatif dan berpikir out of the box,” jelasnya.

Kemudian dosen itu memberikan contoh-contoh yang lain. Beliau pun bercerita.

***

Jadi, ada sebuah perusahaan sisir yang berniat membuka outlet baru di wilayah shaolin (mayoritas botak-botak). Owner perusahaan tersebut pun menugaskan 3 orang manajer pemasaran untuk survey. Di mana mereka harus menjual 100 sisir dalam sebulan. Apakah ada peluang di sana?

Setelah seminggu kemudian.

Si A langsung protes, “Maaf, Pak. Saya nggak bisa menjualnya lebih dari satu. Di perguruan shaolin itu.  Murid-muridnya botak semua, Pak. Saya nyerah. Tidak akan laku jika membuka outlet di sana.”

Ternyata si A hanya laku sebuah sisir. Itu pun sang Master (guru) yang membelinya. Karena cuma dia yang rambutnya gondrong.

“Lalu, kamu menyerah untuk tugas ini?” tanya Direktur. “Bukannya ada juga penduduk yang tinggal di sekitar perguruan shaolin?”

“Iya, ada. Saya juga sudah berusaha untuk menawarkannya, tetapi tetap saja tidak ada yang mau beli. Saya mundur dari tugas ini.”

A telah gagal.

***

Setelah itu si B mencoba menawarkan ke Master, tapi ia sudah membelinya dari A. Ia mencoba menjualnya ke beberapa penduduk. Alhamdulillahlaku, meskipun sedikit. Ia hanya dapat menjualnya 5 biji. Itu pun karena telah memberikan diskon dan promosi “Beli 3 gratis 1”.

B sangat putus asa dan segera kembali. B juga gagal.

***

Si C pun kembali seperti A dan B. Namun, si C kembali dengan kabar gembira. Dalam seminggu saja, C dapat menjual 100 sisir.

Direktur kemudian bertanya, “Bagaimana kamu bisa menjualnya? Si A hanya laku sebuah, si B pun hanya 5. Kok, kamu bisa sebanyak itu? Ini belum ada sebulan malah.”

C pun menjelaskan kalau ia mencoba berpikir kreatif. Si C tidak menjual sisir untuk menyisir rambut. Melainkan sebagai cendera mata. Di mana si C membuat kerja sama kepada Master, yaitu meminta tanda tangannya. Lalu, ia menjualnya kepada beberapa murid di perguruan itu, penduduk setempat, dan tentunya para wisatawan.

“Sebuah cendera mata yang berupa sisir. Sisir ini telah ditandatangai seorang Master dari perguruan shaolin.”

Dalam sekejap, sisir itu pun laku keras. Orang-orang biasa pasti selalu berpikir kalau sisir itu gunanya hanya untuk menyisir. Padahal bisa saja untuk menggaruk, atau ya seperti cerita barusan, untuk cendera mata.

Itulah beberapa contoh berpikir out of the box. Kreativitas itu sangat penting. Tanpa pikiran kreatif, dunia ini tidak akan berwarna. Hidup juga akan menjadi biasa saja.

Menurut gue, Indonesia masih banyak membutuhkan orang-orang yang berpikiran out of the box. Zaman sudah semakin canggih, apalagi sekarang media sosial sudah banyak. Sebuah media sosial pun bisa dijadikan peluang. Buktinya, Bena dan teman-teman berhasil menjadikan Instagram menjadi sangat booming dengan video-video kreatifnya; baik itu video komedi, stop motion, musik, dan lain-lain.

Di mana sekarang banyak yang ikut-ikutan berkarya lewat video yang hanya berdurasi 15 detik itu. Dalam waktu yang terbatas, kita juga bisa menyampaikan sebuah gagasan atau ide lewat video singkat. Twitter pun begitu, membuat orang-orang menyampaikan gagasannya dengan batasan 140 karakter.

Kalian juga bisa perhatikan beberapa online shop. Sekarang tidak hanya barang baru saja yang dijual, barang-barang bekas pun masih bisa laku. Ya, sekarang online shop memudahkan kita dalam berbelaja. Di mana para pembeli tidak lagi harus bertemu penjualnya seperti zaman dahulu. Tidak perlu berebutan dan desak-desakan lagi. Sekarang tinggal buka daftar barangnya, pilih sesuai keinginan kalian, setelah itu pesan, pilih pembayaran (baik itu transfer atau COD), dan terakhir tunggu barang itu sampai ke tangan kalian.

Oleh karena itu, yuk, mari berpikir kreatif. Sudahkah kalian menjadi orang yang berpikiran out of the box? Kalau belum, tunggu apalagi? Menjadi biasa-biasa saja itu membosankan. Jadilah orang yang menarik. Hazeg.

Kayaknya tulisan ini sudah cukup panjang. Gue sudahi saja sampai di sini. Ada yang mau menambahkan?

*Catatan: ini tulisan gue di bulan September yang masih nyangkut di draft. Yang juga pernah dipublikasikan di blog Arief: Out of The Box saat gue menjadi guest post.


Terima kasih.
SHARE

Unknown

  • Image
  • Image
  • Image
  • Image
  • Image
    Blogger Comment

0 comments:

Post a Comment