Terus Kenapa Kalo Jomblo?

“Terus kenapa kalo jomblo?”



Bentar, sebenernya yang bener itu jomblo apa jomlo, ya?

Kita dari dulu terbiasa dengan kata jomblo dengan huruf “B”. Namun, beberapa penerbit mulai menggunakan ‘jomlo’ tanpa “B” agar sesuai KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia).  Ah, apa pun itu... yang penting minumnya es teh manis warkop (karena lebih murah dan kalo teh botol sosro takut disangka iklan).

Iya, emang nggak nyambung. Bodo amat lah. Huwahaha. Btw, sekarang gue tulisnya ‘jomlo’ aja, yak.

Lanjut.

Itu adalah pertanyaan temen gue, Agus, beberapa tahun yang lalu saat gue menanyakan “Nggak pengin punya pacar? Kenapa jomlo terus?” Dan dia malah menjawab seperti itu dengan pertanyaan lagi.

Gue langsung flashback ke masa tersebut.


***

Waktu itu gue masih kelas 11. Di saat jam kosong—tidak ada guru—gue sedang asyik SMS-an sama pacar gue, Rani. Sedangkan si Agus hanya bermain game Tower Block di hape Nokia miliknya. Gue mulai menanyakan soal asmara kepadanya. Ya, habisnya gue takut kalau Agus—temen sebangku gue selama 2 tahun—ini homo karena tidak pernah membicarakan wanita.

Gue masih ingat betul saat diri gue ini bilang, “Gapapa, sih, jomlo. Tapi kalo punya pacar, kan, nanti nambah semangat dalam belajar. Bisa jadi motivasi gitu.”

“Itu karena lu niat pacarannya ke hal yang positif. Coba orang lain, pasti ada yang niatnya buruk,” kata Agus. “Lagian lu baru 2 bulan pacaran. Maklum, masih manis-manisnya. Nanti kalo udah 4 bulan lebih lu juga tau sendiri,” lanjutnya.

Gue tidak mengacuhkan perkataannya. Well, gue memang lagi bahagia banget menjalani pacaran. Kemudian, gue masih mencari tahu mengapa si Agus ini tak kunjung punya pacar. Setelah menemukan beberapa informasi yang cukup, gue menyimpulkan kalau si Agus tipe orang yang minderan. Soalnya dia pernah bilang ke gue, “Lu mah enak, Yog. Pinter, cakep, udah gitu pede orangnya. Dapet cewek nggak susah. Kalo gue mah bukan apa-apa. Gue masih pengin perbaikin diri dulu.”

Alhamdulillah Agus nggak homo. Dia cuma kurang percaya diri dan pengin sendiri aja. Jadi gue nggak perlu pindah tempat duduk.

Gue nggak tau kenapa Agus bisa bilang demikian. Padahal sebenernya mah dulu gue juga pemalu dan minderan. Rani-lah yang awalnya mendekati gue duluan. Lebih tepatnya, dia memang yang naksir sama gue. Makanya gue bisa pacaran. Sejujurnya, gue sangat bahagia bisa pacaran dengan Rani, ya siapa yang tidak senang saat punya pacar yang berkulit putih, cantik, pintar, baik, perhatian, suaranya lemah lembut, dan dadanya lumayan besar.

Umm, kayaknya yang terakhir ngaco deh. Sorry, ya.

Namun, setelah 4 bulan lebih, semua hal yang tadinya terlihat baik di mata gue, kemudian menjadi mimpi buruk. Ternyata semua sifat dan karakter Rani yang asli baru muncul. Dia sangat egois, banyak gengsi, matre (secara gue masih anak sekolah), terlalu cemburuan, dan terlalu nafsuan.

Umm, kayaknya yang terakhir ngaco lagi deh. Sekali lagi, sorry banget, ya.

Di usia hubungan yang ke 6 bulan, kami sempat break. Gue udah nggak kuat sama drama-drama tokhay yang dibuatnya. Nggak langsung bales SMS, dia menuduh gue SMS-an sama cewek lain. Astagfirullah. Padahal gue SMS Nyokap. Cewek lain, sih... tapi gak nyokap gue juga!

Apa yang Agus pernah bilang saat itu benar adanya. Kalau sudah 4 bulan lebih mulai banyak konflik.
Kami berdua sepakat tidak saling menghubungi dalam seminggu untuk introspeksi diri masing-masing. Namun, baru 2 hari tidak ada kabar, si Rani menelepon gue dan menangis-nangis minta balikan. Gue sebenernya biasa saja tanpa kehadirannya. Tapi entah kenapa, gue nggak tega dan mengiyakan ajakannya untuk balikan.

***

Hubungan kami mulai membaik. Gue sedikit-sedikit juga sudah bisa menerima segala kekurangannya, terutama sifat over protektifnya. Semua mantan dan cewek yang sempat deket sama gue di-block. Iya, gue dulu sempet alay dan tuker-tukeran password Pesbuk. Tertawalah kalian! HAHAHA.

Saat 10 bulan lebih berhubungan dan hampir mendekati setahun, segala masalah datang bertubi-tubi dan keraguan itu mulai muncul. Rasa sayang gue ke dia pun semakin berkurang. Gue pacaran, tapi tidak bahagia.

Setelah hubungan setahunan lebih, kami lulus dari SMK. Kemudian status pelajar kami itu juga berubah menjadi karyawan. Tapi, dunia kerja itu ternyata malah membuat hubungan kami semakin tidak jelas. Jarang berkabar. Komunikasi hanya SMS singkat-singkat, tak pernah lagi teleponan. Gue mulai suka sama cewek lain, tetapi hanya sebatas suka. Dia juga sepertinya melakukan hal yang sama. Tapi sayangnya... dia kelewat batas.

Iya, dia malah selingkuh dengan teman kantornya.

Belakangan gue ketahui, cowok itu supervisor di kantornya yang berumur 25 tahun. Gilaaa. Kala itu gue dan si Pacar masih berusia 17 atau 18 tahun. Perbedaan umur yang cukup jauh. Itu pertama kali gue merasakan sakitnya dikhianati. Hati gue pecah belah. Gue stres. Kerjaan gue di kantor kacau. Gue terpuruk.

Lalu sebulan setelah dia selingkuh, dia kembali ke gue dan mengemis-ngemis minta maaf. Sejujurnya gue memang masih sayang, tapi pengkhianatannya itu tak akan pernah gue lupakan sampai kapan pun. Bodohnya, gue masih memberikan maaf dan menerimanya kembali. Singkat kata, kami balikan. Namun, semua terasa hambar. Tidak ada lagi manis-manisnya. Kami berdua terpaksa menjalani hubungan karena sama-sama takut untuk sendiri lagi.

Dua bulan setelah itu, dia malah mengulangi kesalahannya; selingkuh lagi. Dia tidak merasa bersalah, dia pamerkan foto bersama selingkuhannya di DP (display picture atau foto BBM), intinya dia sangat menikmati masa-masa indah dengan selingkuhannya.

Gue langsung mati rasa.

Gue berniat bunuh diri dengan mengendarai motor dengan kecepatan 80-100 km/h. Gue hampir saja tabrakan dengan truk besar. Alhamdulillah, Allah memberikan gue hidayah. Gue tersadar dan banting setir. Bahwa, hidup bukan hanya untuk pacaran. Masih banyak hal yang bisa gue lakukan. Jangan frustrasi karena putus cinta.

Hubungan gue pun berakhir di 1,5 tahun. Gue hanya bisa mendoakan semoga rasa sakit hati gue ini bisa mereka (mantan pacar dan selingkuhannya) rasakan juga. Tak lama setelah itu, Rani ditinggal oleh selingkuhannya yang ternyata sudah punya kekasih. Lalu, selingkuhannya si Rani juga mendapatkan balasan yang lebih parah: hubungan mereka tidak direstui dan kekasihnya dijodohkan oleh pria lain.

Karma does exist.

Gue tersenyum bahagia dan telah mengikhlaskan Rani. Berjanji untuk tidak akan memberikan dia kesempatan lagi untuk memperbaiki hubungan yang dulunya sempat terjalin indah. Setelah putus sama Rani, gue jomlo setahun lebih untuk memulihkan hati gue. Setelah sembuh, barulah gue berani untuk membuka hati.

Namun, berulang kali pacaran, semuanya gagal. Gue sudah dekat dengan keluarganya si pacar, ah, pokoknya orangtuanya juga merestui, eh tetap saja kandas. Gue juga sempat LDR, itu malah lebih gagal. Setelah itu, gue tidak pengin pacaran lagi. Gue sudah cukup dewasa untuk memahami kalau pacaran memang lebih banyak negatifnya dan bisa mendekati maksiat.

Gue mulai fokus menulis dan ngeblog, gue mulai menyukai fotografi, gue juga mempelajari desain. Ah, pokoknya pas jomlo gue jadi lebih produktif berkarya. Ternyata jomlo itu nggak selamanya menyedihkan.

Gue bosen sama pasangan yang suka menghina atau bully jomlo. Norak! Udah nggak zaman weeyyy. Gue buktikan ke kalian wahai orang-orang yang pacaran (terutama yang suka ngeledek jomlo), kalau jomlo itu tidak selamanya buruk.

Gue jomlo masih bisa bahagia. Gue bisa berkarya meskipun tanpa semangat dari seorang pacar. Oiya, ngomong-ngomong katanya baru-baru ini ada website projomblo.com. Nah, web ini pro banget terhadap jomlo. Jadi, kalian tidak perlu takut mendapatkan hujatan lagi. Karena para jomlo sudah ada wadahnya.

Kalian juga bisa intip Instagram-nya DI SINI.

Menjadi seorang jomlo juga banyak manfaatnya, gue pernah baca di artikel “20Manfaat Jomblo yang Menunjukan Bahagia Itu Gak Harus dengan Pacaran

Di antaranya:  jomlo punya banyak waktu ‘me time’; jomlo lebih hemat; jomlo tidak akan diselingkuhin; dan yang penting jomblo terhindar dari maksiat.

Yang penasaran, langsung mampir, gih.

Kembali ke pertanyaan “Terus Kenapa Kalo Jomlo?”

Jawabannya: kalian harus main ke www(dot)projomblo(dot)com.

Hidup jomlo!

PS: Tidak semua hubungan pacaran itu buruk, mungkin masih banyak pasangan bahagia yang pacarannya sehat dan positif. Pacaran sehat itu yang suka minum bareng pacar tiap hari bukan, sih?

Hm... ini hanya tulisan dari sudut pandang gue untuk mendukung pergerakan jomlo. Jika ada yang merasa tersinggung. Gue mohon maaf.

Pesan moral: Jika tujuanmu pacaran itu cenderung ke hal yang negatif, atau hubungan pacaranmu lebih banyak galaunya, lebih baik jomlo aja dan memilih berbahagia.

Pesan moral lagi: Semakin kita mengekang ataupun dikekang oleh pasangan, itu bukanlah jadi lebih saling mencintai, tetapi malah berkurangnya kepercayaan dan semakin memudarkan rasa sayang.

Pesan moral sekali lagi: Jika if adalah is, mengapa why tidak pernah never? Terkadang sometimes lebih baik better.


Terima kasih.
SHARE

Unknown

  • Image
  • Image
  • Image
  • Image
  • Image
    Blogger Comment

0 comments:

Post a Comment