Kemarin itu katanya Hari Guru. Bener emang, ya?
Anjir. Udah lama nggak sekolah, gue jadi nggak inget tanggal gini. Biasanya kalo di sekolah, kan, ada upacara gitu. Kemudian setelah upacara nggak perlu belajar. Nah, ini favorit banget buat para siswa-siswi. Biasanya sekolah juga mengadakan perlombaan atau olahraga: guru melawan murid-murid.
Pokoknya di Hari Guru ini, sekolah membebaskan para siswanya untuk melakukan apa saja: murid boleh mainan hape di kelas; murid boleh ngobrol dan ketawa kenceng-kenceng; murid boleh jadi guru.
Oke, yang terakhir kayaknya nggak mungkin.
Karena sudah lama lulus sekolah, gue cuma bisa memeriahkan Hari Guru ini di Twitter dan blog. Namun, kemarin gue nggak sempet nulis apa-apa di blog. Di Twitter juga twit gue nggak jelas. Huft. Barangkali ada yang mau follow, @ketikyoga
***
Ngomong-ngomong soal Hari Guru, gue jadi kangen sama guru-guru yang pernah mengajar dari SD-SMK.
Dari sekian banyak guru yang pernah ngajarin gue, lalu gue teringat suatu memori di masa SMP.
Gue mengikuti pendalaman materi (PM) saat kelas 9 menjelang Ujian Nasional. FYI, PM itu seperti jam pelajaran tambahan di luar jam sekolah. Biasanya 1-2 jam setelah pulang sekolah (just in case ada yang belum tahu).
Siang itu, jadwalnya Bahasa Indonesia. Satu-satunya pelajaran di antara 4 mata pelajaran UN yang paling gue bisa. Ya, Bahasa Indonesia setidaknya lebih mendingan daripada Bahasa Inggris, Matematika, dan IPA. Saat pendalaman materi, gue berusaha serius mungkin.
Tiba-tiba Bu Devi—guru Bahasa Indonesia—memanggil gue yang duduk di paling belakang, “Yogaaaa”.
Gue kaget.
Beberapa teman yang lain pun menengok ke arah gue.
“Ya, Bu?” kata gue sambil berdiri.
“Nanti sehabis PM, mampir ke meja ibu di ruang guru, ya. Ada yang mau ibu sampaikan,” kata Bu Devi melanjutkan.
Gue salah apa, ya?
“Hayolo, Yog!” kata Agus menakut-nakuti gue.
MAMPUS GUE!
Gue tidak fokus mengikuti PM. Sumpah, langsung deg-degan gitu.
***
Begitu PM usai, gue segera menuju ruang guru, tepatnya meja Bu Devi.
“Permisi, Bu,” kata gue.
“Ya, silakan duduk.”
“Ada apa, ya?” tanya gue kebingungan.
“Jadi gini...”
Gue panik.
Ya Allah, ini gue bikin masalah apa coba?
“...hmm langsung aja ya,” Bu Devi mencoba melanjutkan. Suasana semakin tegang.
“Kamu kalo belajar Bahasa Indonesia, Ibu perhatiin serius amat deh.”
Gue yang tadinya panik malah bingung.
“Maksudnya gimana, Bu?” tanya gue sambil mencoba memahami kalimat Bu Devi.
“Iya. Tadi selama PM, Ibu lihat kamu serius baca soal-soal latihannya. Biasanya yang duduk paling belakang, kan, suka bercanda. Kamu malang anteng dan diem gitu. Serius banget kayaknya.”
Gue tersenyum.
Bu Devi nggak tahu aja kalo sebenernya gue tuh serius karena lagi nonton film porno. Muka serius sama muka sange emang beda tipis ternyata.
Enggak deng. Sorry-sorry, bercanda doang itu sumpah, kok. SMP gue tidak senakal itu.
“Soalnya saya suka baca cerita gitu, Bu. Nah, Bahasa Indonesia, kan, sering ada cerita-ceritanya. Misal soalnya tentang kalimat atau gagasan utama, biasanya ada 1-2 paragraf cerita. Saya kalo lagi baca, ya kudu serius,” jelas gue.
“Oh, begitu,” kata Bu Devi sambil tersenyum bangga. “Jarang, loh, orang yang suka baca gitu. Ibu rasa kamu punya potensi di situ. Kembangin terus, ya.”
***
Sebuah kejadian di masa SMP itu lalu mengingatkan gue akan hobi gue saat ini: menulis dan ngeblog.
Gue awalnya nggak pernah nyangka kalau saat ini gue bisa menyukai dunia tulis-menulis. Meskipun sampai sekarang belum berhasil menerbitkan buku. Mungkin memang belum saatnya.
Lagian menurut gue, penulis itu bukan orang yang berhasil menerbitkan buku. Banyak buktinya yang cuma nerbitin satu buku, lalu menghilang dari dunia penulisan. Ya, dia lenyap dan nggak pernah nerbitin atau ngeblog lagi. Tapi penulis itu ialah orang yang selalu menulis, meskipun hanya sedikit pembaca. –Yoga, Blogger 20 tahun yang belum mampu menulis novel.
Zaman SMK, gue masuk jurusan Pemasaran. Padahal begitu lulus SMP, gue pengin masuk jurusan Bahasa Indonesia. Sayangnya, nggak banyak SMA yang memiliki jurusan tersebut. Biasanya hanya IPA dan IPS.
Di SMK, gue memang suka bikin coret-coretan tulisan atau sekadar curhatan nggak penting di belakang buku. Hm, tapi itu iseng-iseng aja. Gue lebih suka main Online Games di warnet, terutama DotA.
Sampai pada kelas 11, gue mulai iseng nonton Youtube dan mengenal sosok Raditya Dika lewat stand up comedy. Di salah satu stand up-nya, dia bilang kalau dirinya seorang penulis. Gue pun iseng cari tahu soal bukunya.
Saat itu, dia baru saja menerbitkan novel Manusia Setengah Salmon. Sejak itu pula, entah kenapa gue mulai meninggalkan warnet. Gue kemudian iseng main-main ke Gramedia dan membeli novel Radith. Yap, itulah novel pertama Radith yang gue baca. Novel pertama sampai kelima malah gue baca belakangan.
Kalau dipikir-pikir, selama ini uang gue habis tak berguna hanya untuk permainan virtual. Kenapa nggak dari dulu gue beli dan baca buku?
Namun, kalau dipikirkan baik-baik, seandainya saja gue tidak rajin main warnet, mungkin gue akan lebih telat mengenal Radith dan menyukai baca novel. Novel itu kemudian membuat gue menjadi suka baca lagi. Gue juga mulai baca blog-nya. Lalu, beberapa blog lainnya: Alitt, Bena, de el el.
Rasanya seru banget. Membaca pengalaman orang, lalu gue menertawai kisahnya.
Gue juga pengin kayak gini! Jeritan dari hati gue yang terdalam.
Kampretnya, gue cemen soal teknologi. Selama ini main warnet cuma ngerti email, Facebook, Twitter, dan main games.
Gue sama sekali nggak ngerti tentang blog.
Lalu, rasa ingin di hati gue perlahan meredup. Gue menjalani kegiatan seperti biasanya. Tidak pernah terpikir lagi untuk menulis ataupun bikin blog.
Sampai akhirnya gue membuka buku-buku catatan—yang banyak coretan dan curhatan gue. Kemudian gue berpikiran untuk menulis di media yang lain: sebuah aplikasi notes di HP.
Gue cerita banyak hal di notes, di antaranya: tentang hubungan gue sama pacar, tentang kejadian konyol di kelas, ataupun nasib sial gue.
Sampai lulus sekolah dan bekerja, gue masih rajin menulis di notes. Dan misalkan dikumpulin sampe sekarang, mungkin bisa jadi novel kali tuh.
Namun, tak lama setelah itu, hape gue malah hilang. Bersamaan dengan itu, si pacar juga menghilang dari hidup gue (selingkuh).
Kalau ingin tahu detailnya, boleh baca tulisan JOMBLO INI.
Tanpa hape dan notes-nya, gue jadi kacau. Gue nggak bisa lagi curhat permasalahan hidup gue. Apalagi permasalahan terakhir ini, pacar selingkuh.
***
Gue mulai membeli hape baru, BB. Yang gue bingung, setelah ada hape baru, keinginan untuk menulis itu hilang. Gue trauma karena kehilangan HP. Udah nulis panjang-panjang di notes, eh lenyap begitu saja.
Bagusnya, ada Mayang—temen gue—yang saat itu sedang promosi blog-nya di Personal Message. Tanpa berpikir panjang, gue mulai chat dia dan tanya-tanya soal blog. Setelah dijelaskan, gue pun coba praktik. Sialan. Ternyata gampang. Tau gitu, gue bikin blog dari dulu deh. Otomatis, kan, tulisan-tulisan gue pasti juga udah banyak nih.
Ah, tapi biarlah. Mungkin inilah jalannya.
Awal-awal bikin blog, gue setiap hari posting. Itu niatnya untuk melampiaskan rasa sakit hati karena diselingkuhin. Tulisan gue juga sangat mendayu-dayu dan cengeng abis. Lebih tepatnya nggak layak baca. Hmm, tulisan itu sekarang udah nggak ada. Karena suatu waktu sempet bermasalah sama pacar yang baru. Dia baca cerita-cerita itu dan ngambek sama gue. Dia mengira gue masih sayang sama mantan. Tulisan lama itu pun gue hapus untuk menghargainya.
***
Berbulan-bulan ngeblog, gue tiba-tiba kepikiran, Ini nggak ada yang mau baca tulisan gue apa, ya?
Gue pun pelan-pelan melupakan blog itu. Hanya gue isi tulisan-tulisan yang tidak penting (coba aja cek arsip 2012-2013). Jumlahnya tidak sampai puluhan.
Gue terlalu sibuk bekerja sambil kuliah. Blog itu pun akhirnya benar-benar kosong. Gue merasa gagal karena bingung dan nggak tahu mau nulis apa. Setiap mau menulis dan bener-bener niat, gue selalu mikir dan berucap, “Emang ada yang mau baca tulisan gue?”
Gue pun gagal ngeblog lagi.
Sampai suatu hari, saat bertemu dengan Mayang (teman yang waktu itu ngajarin gue bikin blog), dia bilang ke gue, “Yog, kok blog lu nggak pernah ada tulisan baru lagi?”
Gue terkejut luar biasa.
“Gue diem-diem sering baca, loh,” kata Mayang jujur. “Hehehe. Lupa password apa gimana?” lanjutnya.
“Sibuk nih, capek ngantor dan udah mulai banyak tugas di kampus,” kata gue berbohong. Ya, itu hanyalah alesan gue.
Selama ini, ternyata Mayang silent reader blog gue. Masih ada yang bersedia meluangkan waktu untuk baca curhatan nggak jelas si Yoga. Gue juga mulai paham, kalau menulis itu untuk memuaskan hati sendiri terlebih dahulu. Soal ada yang baca apa enggak itu belakangan. At least, gue sendiri pun termasuk pembaca blog gue.
Gue mulai rajin nulis dan blogging lagi, nggak peduli walaupun tidak ada pembaca dan komentar. No comment no cry, Bro. Keep blogging!
Itulah yang membuat gue terus menulis dan nge-blog.
Sampai akhirnya, September 2014 gue gabung ke beberapa komunitas blogger. Gue juga baru tahu istilah blogwalking. Pantes aja selama ini nggak pernah ada yang baca blog gue. Gue aja bacanya blog-blog yang udah terkenal. Nggak mungkin si Radith, Alitt, dan Bena mau main ke blog gue yang gembel. Hahaha.
Setelah itu, pembaca dan komentar mulai bermunculan. Gue semakin semangat menulis. Gue pun merasa kalau bercerita adalah passion gue. Yoih, cerita atau curhat itu bikin gue bahagia. Ya, meskipun sekarang ini lagi keranjingan cerita via tulisan. Ah, apa pun itu yang penting gue bisa cerita.
Gue juga mulai menyadari beberapa hal. Gue semakin nggak sreg sama kerjaan yang sedang dijalani. Iya, udah cukup sadar kalo sebenernya gue pas-pasan dalam hitungan. Nggak sejago anak-anak yang lain. Pajak bukan bidang gue. Gue juga tidak merasa bahagia.
Jadi, ya gue memutuskan untuk tidak memperpanjang kontrak di pajak. Emang, sih, gaji udah lumayan. Temen-temennya juga asyik. Tapi mau gimana lagi? Apa gue harus kerja karena terpaksa?
Setelah resign, gue berusaha memperdalam kemampuan gue di bahasa Indonesia. Gue belajar menulis lebih banyak lagi. Baca buku lebih banyak lagi. Belajar EYD, komedi, dan lain-lain. Gue kembali teringat oleh ucapan Bu Devi, “Kamu serius banget kalo pas pelajaran Bahasa Indonesia. Kamu punya potensi di bidang itu. Kembangin, ya.”
Well, gue semakin semangat menulis, terus konsisten nge-blog. Dari yang pembacanya hanya hitungan jari sampai sekarang bisa ramai seperti ini. Terima kasih para pembaca. Terima kasih juga Bu Devi. Berkat Ibu, seorang Yoga sadar akan kemampuan dirinya.
Sudah terlalu banyak gue bercerita, ya. Kalau kalian sudah baca sampai sini, kalian sangat luar biasa. :)
Dan untuk menutup tulisan ini, gue pengin bilang, “Selamat Hari Guru wahai semua guru di dunia ini. Terutama Bu Devi yang mengajarkan gue untuk mengembangkan potensi di bidang menulis. Dan untuk seorang guru yang paling banyak mengajarkan gue arti kehidupan, terima kasih wahai pengalaman.”
Seperti kata buku tulis SIDU, Experience is the best teacher.
0 comments:
Post a Comment