Local Heroes, Nyokap

Kalo ditanya “Siapa pahlawan kamu? Dan jasa apa yang telah dilakukannya?”, tanpa ragu gue bakalan jawab: Nyokap.

Iya. Soalnya gue bukan band Wali yang bisa menjawab “Nenekku Pahlawanku”. Terus gue juga bingung misalnya jawab seorang guru. Guru gue, kan, banyak. Kalo cuma satu yang ditulis, nanti takut yang lain iri. Lagian, kata orang-orang guru itu pahlawan tanpa tanda jasa. Oleh karena itu, ya gue milih ibu. Seseorang yang memang berjasa dalam hidup gue.

Jasa yang telah diberikan seorang ibu kepada anaknya itu banyak sekali. Gue nggak akan bisa menghitungnya. Kalaupun mau ngitung, sama aja kayak menghitung jumlah pori-pori di tubuh kita (siapa juga mau ngitungin?).


 Nyokap telah melahirkan gue, merawat gue dari bayi sampe sekarang, serta menyekolahkan gue dari SD-SMK. FYI, gue nggak TK. Dan sekarang juga membantu gue membiayai uang semesteran kuliah (karena gue masih nganggur).

Kayaknya semua orangtua kayak gitu deh?

Mungkin jasa-jasa itu memang biasa aja, namanya juga orangtua. Namun, gue belum tentu bisa membalas jasa-jasanya. Selain itu, gue belajar banyak hal dari Nyokap. Nyokap sering banget mengajarkan gue soal kebaikan. Kemudian beliau juga mengingatkan gue untuk tidak terlalu bergantung sama orang lain. Karena berharap sama orang lain itu biasanya mengecewakan. Selagi diri sendiri masih mampu untuk melakukannya, ya berusaha lakuin aja sendiri. Tapi, kalo ada orang yang lain minta tolong. Usahain selalu bisa selama itu nggak memberatkan diri sendiri.

Nyokap juga mendidik gue untuk menabung dan jangan suka ngutang dari kecil.
Jadi, waktu gue masih SD kelas 1, gue pernah meminta sebuah sepatu yang kalo jalan ada lampu yang menyala-nyala gitu.
Lalu, Nyokap merespons, “Emang sepatu yang lama kenapa?”
“Udah agak sempit,” jawab gue.
“Selagi belum rusak, pake itu dulu, ya. Nanti, kalo ibu ada uang lebih dibeliin. Kalo Yoga maunya buru-buru, coba kamu nyisihin uang jajan. Jangan apa-apa minta.”

Kebetulan banget, di SD gue ada tabungan untuk para siswanya. Tabungan pelajar kalo nggak salah. Sehingga gue pun menabung sehari Rp 500-1.000. Dulu, uang segitu emang udah banyak banget (ini kayaknya jebakan umur).

Alhasil, dalam satu caturwulan uang itu sudah terkumpul lumayan banyak. Ya, kalian nggak salah baca. Dulu pas SD gue merasakan caturwulan. Yang dalam setahun menerima rapor sebanyak tiga kali.

Setelah uang tabungan itu diambil, gue pun menyerahkan uang itu ke orangtua untuk membeli sepatu. Namun, nyokap dan bokap gue malah sudah membelikannya.
Nyokap bilang, “Nanti tabungannya buat beli buku sama peralatan tulis aja.”
Sejak itu, gue jadi terbiasa untuk membeli sesuatu dengan ngumpulin duit sendiri. Itung-itung nggak nambahin beban orangtua.

Ketika SMK gue pun bisa membeli HP Nokia C2 (dulu mah keren banget) berkat tabungan gue sendiri. Emang, sih, masih ditambahin sama Bokap sekitar 30%. Setidaknya, nggak 100% duit orangtua. Hehe.

Seandainya dari kecil beliau tidak mengajarkan gue seperti itu, mungkin sekarang gue menjadi anak manja yang sedikit-sedikit minta sesuatu.

“Bu, beli laptop dong!”
“Bu, besok beliin motor, ya.”
“Bu, beli pulau!”

Bisa-bisa Nyokap berkata, “Pulau Ndasmu!” dan nama gue pun dicoret dari kartu keluarga.

Alhamdulillah gue tidak demikian.

Anehnya, masih banyak remaja-remaja yang kalo keinginannya tidak dituruti terus ngambek; mengurung diri di kamar, males dateng ke sekolah, dan minum baygon.

Ngomong-ngomong, selama nganggur kerjaan gue di rumah jadi lebih sering nonton TV. Biasanya pas masih kerja nggak sempet. Setiap pulang kerja bawaannya langsung pengin rebahan di kasur dan meluk guling. Maka, saat sedang menggonta-ganti channel karena bingung mau nonton apa. Gue pun curhat ke Nyokap soal acara-acara TV yang mulai membosankan.
“Terus kamu mau pasang TV kabel?” tanya Nyokap.
“TV kita juga ada kabelnya, kok. Hehehe,” kata gue garing.
“Ya udah, nanti kalo ada uang lebih pasang. Kalo kamu kepengin banget, pake uang sendiri.”

Mampus. Gue aja nganggur. Duit dari mana?

Ah, gue berasa nostalgia. Mengingatkan gue untuk ngumpulin duit sendiri demi keinginan gue. Tapi ini menyadarkan gue, di mana gue seharusnya mengutamakan sebuah kebutuhan terlebih dahulu daripada keinginan.

Saat gue kelas 1 SD, uang tabungan gue terpakai untuk buku dan peralatan tulis. Ya, karena itulah kebutuhan utama gue. Sepatu yang nyala-nyala itu sebenernya juga nggak penting-penting amat. Karena sepatu tujuan utamanya untuk alas kaki. Bukan untuk gegayaan.

Yang paling penting, Nyokap selalu mengajarkan gue untuk berbagi.

Pernah suatu hari dagangan Nyokap yang berupa donat masih tersisa lima buah. Nah, tiba-tiba ada orang yang nggak sengaja lewat kepengin beli. Nyokap biasa jualan pagi dari jam 6-10. Entah kenapa jam 2 siang masih ada yang kepengin donat. Mungkin itu emang udah rezeki nyokap gue.
“Beli berapa, Mbak?” tanya gue ke mbak-mbak yang nggak sengaja lewat.
“Beli tiga aja,” jawabnya sambil menyerahkan uang lima ribuan.

Gue langsung menanyakan sama Nyokap di mana dompetnya untuk mengambil uang kembalian. 

Lalu, Nyokap menyerahkan uang dua ribu dan malah menyuruh gue untuk mengasih semua donat yang tersisa ke pembeli tersebut.

Sumpah. Kenapa gue awalnya nggak kepikiran kayak gitu, ya? Gue pun kembali ke depan.
“Bawa aja semua donatnya, Mbak,” kata gue sambil menyerahkan uang kembalian.
“Beneran, nih?” tanya si Mbak nggak percaya.
Gue mengangguk.

Daritadi ngomongin Nyokap, tapi ngga ada wujudnya, Yog?

Baiklah. Ini foto beliau:




Nyokap juga pernah bilang, “Meskipun hidup kita pas-pasan, jangan pernah lupa untuk berbagi ke sesama.”

Selagi kami sekeluarga hanya bisa makan sehari tiga kali walaupun cuma tahu-tempe, tapi masih banyak orang di luar sana yang makan sehari sekali atau malah nggak makan. Masih bersyukur bisa lulus sekolah dan melanjutkan kuliah. Banyak orang lain yang putus sekolah, bahkan boro-boro biaya untuk sekolah, mereka lebih sibuk mencari uang hanya untuk sesuap nasi.

Berbagi itu indah, ya. Sedihnya, gue belum bisa berbagi apa-apa ke mereka.

Nyokap memang hanya mengajarkan gue pelajaran yang sederhana. Tidak seperti negara Jerman yang membuat program made for minds oleh DW . Beliau juga tidak turun langsung seperti jurnalis dan aktivis di sana yang rela mati demi sebuah berita jujur dan kebenaran. Namun bagi gue, Nyokap juga seseorang yang berani mempertaruhkan nyawanya saat melahirkan gue. Beliau orang yang mengajarkan gue untuk selalu tulus dalam berbagi kebaikan.

Maka dari itu, sekarang gue mencoba berbagi cerita ini lewat tulisan blog. Niat gue hanya berbagi, sama sekali nggak ada unsur pamer. Toh, gue juga nggak punya apa-apa yang bisa dipamerin. Hehe.  Semoga bermanfaat!
SHARE

Unknown

  • Image
  • Image
  • Image
  • Image
  • Image
    Blogger Comment

0 comments:

Post a Comment