Tanggal 15, 16, dan 17 Agustus kemarin bisa dibilang sebuah long weekend. Cocok banget buat jalan-jalan.
Sehari sebelum 17-an, gue biasanya seru-seruan atau touringsama temen kantor. Lebih sering, sih, ke Puncak. Namun, tanggal 16 Agustus 2015 kemarin, gue sudah tidak bekerja. Jadi, gue nggak sempet liburan ke mana-mana.
Yelah, pamer amat jadi pengangguran, Yog!
Mungkin di antara kalian sudah baca cerita Sehari Sebelum Merdeka. Nah, gue akan melanjutkan kejadian setelah teleponan sama penipu yang cupu.
*Beberapa jam kemudian*
Sehabis salat Isya, para masyarakat RT 003—tetangga gue—mengadakan sebuah acara di malam 17 Agustus-an.
Gue yang baru banget mandi. Iya, di hari Minggu itu gue mandinya sekitar jam 8 malem. Gue emang males mandi di hari Minggu. Nggak ke mana-mana ini, toh. Lagian kalo gue wangi juga nggak ada yang nyium.
Emaap.
Tiba-tiba Nyokap memanggil gue dan memberikan sebuah kertas yang terlipat rapi. Gue pun langsung baca baik-baik kertas itu. Ya, siapa tau aja itu dari cewek yang mungkin ngirimin surat buat gue. Surat penagihan utang.
Ah, ternyata bukan. Itu sebuah undangan untuk hadir di acara malam 17 Agustus-an.
Tumben banget ini gue diundang. Atau emang setiap tahun gue sebenernya selalu dapet undangan? Terus gue malah mengabaikan undangan itu karena sibuk sama acara gue sendiri? Ya Allah, gue bukanlah warga yang baik.
Gue memilih-milih pakaian apa yang bakal gue kenakan di acara tersebut. Yoi, mencoba untuk tampil rapi. Siapa tau aja ada beberapa remaja cewek yang naksir ketika melihat gue.
Setelah memakai kemeja kotak-kotak krem dan celana panjang hitam, gue langsung menghadiri acara tersebut yang memang diselenggarakan di sepanjang jalan RT 003. Iya, di jalanan sebuah gang gitu dan hanya ditutupi karpet. Kebetulan banget karpet itu sampai ke depan rumah gue. Jadi, gue langsung duduk manis di jalanan depan rumah.
Gue memperhatikan para warga yang hadir. Bapak-bapak yang lebih mendominasi acaranya. Kemudian ibu-ibu, dan sisanya anak-anak. Bentar-bentar, ini remajanya pada ke mana deh? Mampus, gue doang ternyata remajanya. Iya, remaja umur 17-22 kagak ada yang hadir. Yoga sendirian. Gue kira, selama ini gue yang paling males ikut acara-acara kayak gini. Ternyata kali ini semuanya terbukti. Bahwa, para remaja RT 003 nggak ada yang hadir selain gue. Sepertinya, para remaja di RT gue tidak mencintai kegiatan sosial di lingkungan tempat tinggalnya.
Sekalinya ada remaja cewek, paling baru umur 15 tahun. Dia masih SMP atau baru banget masuk SMA. Yelah, masih dedek-dedek.
***
Acara dimulai dengan menyanyikan lagu Indonesia Raya. Semua warga berdiri dan bernyanyi dengan riang.
Gue mendadak kangen sama suasana sekolah. Apalagi di saat upacara bendera. Hmm... terakhir kali upacara itu sekitar tiga tahunan yang lalu. Maklumin deh, ya. Kemudian dilanjutkan dengan mengheningkan cipta. Nah, gue bingung deh. Sebenernya mengheningkan cipta itu ngapain, sih? Kita cuma diem aja, terus menciptakan suasana hening. Gitu, ya?
Sumpah, gue nggak tau apa yang dilakukan orang-orang pas lagi mengheningkan cipta. Soalnya pas SD-SMP, gue sering kedapetan tugas yang memainkan lagu Mengheningkan Cipta menggunakan pianika atau suling. FYI, alat musik yang gue bisa hanya suling. Benar-benar cowok yang cupu banget.
Kalo anak-anak yang lain, guru, atau siapa aja deh yang dengerin lagu Mengheningkan Cipta, mereka itu pada ngapain coba? Pikir gue.
Sampai sekarang, entah kenapa gue suka memikirkan hal ini.
Gue, sih, biasanya baca surat Al-Fatihah untuk para pahlawan yang telah gugur. Terus kalo udah selesai, ya paling diem aja. Lebih sering nunduk sambil ngelihatin sepatu, ngelamun jorok, atau kentut kalo kelepasan.
Apa kalian juga mikir kayak gitu?
Oke, lupakan soal mengheningkan cipta.
Selanjutnya, pidato dari Pak RT. Hanya sedikit sekali yang mendengarkan ocehan beliau. Parah banget nih warganya. Tokoh masyarakat lagi pidato, mereka malah main HP. Kacau emang. Gue termasuk salah satunya.
Setelah itu pembacaan doa yang dipimpin oleh seorang ustad. Para masyarakat pun mendengarkannya dengan khidmat dan bilang “aamiin” beberapa kali.
Baru deh acara terakhir, pemotongan tumpeng dan makan-makan.
Kampretnya, yang boleh makan tumpeng cuma Ketua RT dan beberapa pengurus RT. Kalo masyarakat nggak penting kayak gue mah kagak bakal kebagian.
Acara selesai dan dilanjutkan dengan ngobrol-ngobrol nggak jelas. Gue ngobrol sama bapak-bapak kurang nyambung. Gue ajak ngomongin tentang musik EDM, mereka malah membahas Didi Kempot dan Mansyur S.
Astagfirullah.
Udah, acaranya gitu doang. Basi, kan?
Masa nggak ada hiburannya sama sekali. Gue langsung pengin Stand Up aja rasanya. Mengingat gue yang suka demam panggung dan belum jago soal komedi, gue pun mengurungkan niat itu.
Beda banget sama suasana pas gue masih sekolah; ada pembacaan puisi, terus temen-temen yang sepantaran sama gue biasanya tampil dengan band-nya, terkadang ABG cewek-cewek juga mengisi dengan tarian tradisional ataupun modern.
Uh, coba aja tahun depan ada sexy dancer dan striptis. Pasti acaranya jadi lebih seru. Hehehehe. Hehehe. Hehe. He.
Segitu aja yang bisa gue tuliskan.
Sekali lagi gue mau nanya, kalian kalo mengheningkan cipta itu ngapain? Gue masih penasaran. Huwahahaha. Ada yang mikir kayak gue juga nggak, sih? Shareyuk di kolom komentar.
0 comments:
Post a Comment