Bermalam di Bogor, Cerita Konyol, Anak Kecil, Awal Perjalanan

Pamulang, 18 April 2015

Sepulang kuliah, gue dan beberapa temen kuliah—yang dulu satu kelas dan sekarang udah beda kelas—sedang duduk-duduk sambil ngobrol di Family Mart.
Di tengah obrolan ngawur, Sadam memotong pembicaraan, “Sabtu depan pokoknya pada ikut, ya.” Teman-teman yang lain langsung menengok ke arah Sadam, kecuali Debby yang masih menunduk menatap layar HP ( dibaca : main Clash Of Clan ).

“Emang rame yang ikut?” tanya gue.


Linda, Tika, dan Eko memasang raut wajah tidak tertarik. Mungkin dalam hati mereka ingin bilang, “Ah, gue kayaknya nggak ikut. Lagi bokek.”
“Ya, kita-kita aja, lagian biasanya juga cuma segini,” jawab Sadam, “nanti ditambahin Aldi kalo dananya kurang,” lanjut Sadam.
“Serius ditambahin?” tanya Linda dan Tika kompak.
Sadam diem.
Linda dan Tika masih menunggu respons Sadam.
“Kata Aldi, sih, berlakunya buat yang nganggur aja,” kata Sadam pelan.
“Oh,” jawab Linda dan Tika lemas sambil melihat ke arah gue. Gue sebagai satu-satunya pengangguran di situ langsung merasa nggak enak. Gue emang nggak pengin merepotkan orang lain. Gue juga nggak mau memaksakan keadaan krisis keuangan ini.
“Gue nggak ikut,” kata gue.
Tau-tau Aldi muncul dari belakang dan menepuk pundak gue. “Apa-apaan lu nggak ikut? Nanti yang nulis cerita siapa? Yang penulis lu doang.”
Gue nyengir.

Tae. Mentang-mentang di setiap perjalanan, cerita perjalanannya sering gue tulis di blog. Gue dikenal sebagai penulis sama temen-temen.
***
Pamulang, 25 April 2015

Pagi itu, gue memasuki ruang kelas 801 sendirian. Beberapa mahasiswa yang hafal biasanya gue berangkat bareng Arief langsung menatap aneh.
“Arief nggak masuk, Yog?” tanya Sadam dan Debby.
“Sakit tipes die,” jawab gue.
“Wah, makin dikit aja yang ikut, nih,” kata Sadam.
Tak berapa lama, dosen pun datang, dan perkuliahan segera berlangsung. Kami semua menyimak materi yang beliau sampaikan. Gue tidak begitu memperhatikan dosen, karena kurang tidur semalam. Gue juga melihat jam yang rasanya berputar lama sekali. Gue berharap waktu cepat berlalu dan segera Magrib.

***

Karena langit tiba-tiba menangis, perjalanan yang seharusnya dari habis Magrib, malah ditunda sampai sehabis Isya. Itu juga nekat dan memakai jas hujan. Kami berangkat hanya berlima; Sadam sendirian menggunakan motornya, Aldi dan Eko boncengan naik motor Aldi, gue membonceng Debby naik motor gue. FYI, Debby itu nama cowok. Emang namanya yang agak kecewek-cewekan.
Setelah mengisi bensin di daerah Parung, kami berdoa agar selamat dalam perjalanan. Apalagi Aldi sempat bilang, kalo tempat yang kami tuju: Bogor Selatan. Terkadang suka ada begal, lebih sadisnya lagi, begalnya menggunakan pistol.

Kemudian Aldi memberikan formasi kepada kami: karena yang tau jalan Aldi, maka dia yang paling depan; motor Sadam paling lambat, maka di tengah; dan gue sisanya, di belakang.
Ingin rasanya gue protes sama Aldi, resiko paling belakang itu bisa aja ketinggalan. Dan sebenernya gue juga takut. Hati gue dari tadi menjerit-jerit.
INI KENAPA GUE PALING BELAKANG WOI? TAR KALO GUE YANG DIBEGAL GIMANA? PAKE TEMBAKAN PULA. GUE MASIH PENGIN HIDUP YA ALLAH.

Dengan kondisi jalanan yang licin akibat hujan, kami mengendarai motor dengan kecepatan 40-60 km/h. Tidak mau ngebut-ngebut dan takut kepeleset.

Awalnya gue masih santai mengendarai motor, karena biasa ke Puncak lewatnya jalanan ini. Ketika memasuki kawasan Bogor, gue mulai merasa asing dan jantung gue juga berdebar lebih cepat dari kondisi normal. Suasana jalanan juga sepi mencekam. Ini Bogor sebelah mananya, sih? Batin gue bertanya-tanya.

Sepanjang jalan gue membaca ayat kursi agar terhindar dari pembegalan.

LU KIRA TUKANG BEGAL ITU JENIS MAKHLUK GAIB, YOG?!

Bodo deh, intinya gue baca doa biar selamat.

Alhamdulillah kami berlima sampai dengan selamat di Bogor, lebih tepatnya di rumah sepupunya Aldi. Berangkat jam 19.35, lalu sampai jam 21.17. Kira-kira hampir dua jam kami berkendara dari Pamulang ke Bogor.
Sampai di sana, kami langsung duduk-duduk di teras sambil ngemil-ngemil dan ngopi.

Awalnya kami membahas tentang perjalanan besok pagi, lama-lama ganti topik tentang perjalanan waktu ke Jogja—yang sampe sekarang belum gue posting—di bulan Desember tahun lalu. Karena ada cerita mistis di Jogja—ketika kami bermain tutup-tutupan mata di Alun-Alun Kidul. Setelah itu malah membahas cerita horor yang lain.

Dari Aldi yang bercerita tentang kamarnya yang serem. Terkadang suka ada yang iseng dan ngetuk-ngetuk jendela kamarnya. Setelah dibuka jendela itu nggak ada siapa-siapa. Terus gantian Debby yang bercerita kalo pernah boncengin kuntilanak. Gue pun bercerita dengan membahas kodam ( kembaran kita yang berwujud makhluk gaib ). Si Eko juga membahas kalo pernah dielus-elus setan, paha dan kakinya terlihat biru-biru. Bekas luka biru itu katanya sulit hilang. Kemudian Sadam pun ikutan membahas mahasiswi kelas sebelah yang bohay dan seksi, lama-lama malah menjurus ke cerita bokep.

Sadam MEMANG HOROR BANGET.

***

Saat asyik-asyik bercerita, kemudian terdengar bunyi kentut. Semuanya langsung hening.
Tanpa perlu disuruh mengaku, gue langsung bilang, “Duh, perut gue pake mules lagi.”
“YEH, SIALAN!”
Setelah itu, kami lanjut bercerita dan ngobrol-ngobrol lagi.
“Woi, Yog. Lu kentut mulu, buruan boker sana!” protes Aldi.
Gue dari tadi udah nahan-nahan boker karena takut akan cerita horor yang tadi kami bicarakan, apalagi ini di rumah orang. Gue ngeri kalo nanti WC-nya itu angker. Mana di belakang rumah ini sawah semua. Sumpah, bener-bener suasana pedesaan yang serem.

Karena tak sanggup lagi menahan gejolak di dalam perut, gue langsung nanya, “WC di mana?”
Aldi pun akhirnya nganterin gue ke toilet. Gue memasuki toilet itu dengan ragu-ragu. Karena rasa mules ini lebih kuat dari rasa takut, gue pun nggak mikirin setan-setan itu lagi. Yang penting bisa boker dan lega.

Aldi masih menemani dan menunggu di dekat pintu. Karena bete dia bilang, “Gue tinggal ya, Yog?”
“Ya udah, tinggal aja sana!” kata gue sok berani. Sebenernya gue emang nggak takut, cuma kurang berani aja. Setelah itu, gue malah merasa semakin takut. Gue jadinya boker dengan tidak khusyuk. Tainya juga susah keluar. Tainya seperti merasa takut juga akan WC yang mungkin angker ini.
Satu yang gue pengin saat ini adalah: boker ini cepat selesai.

***

“Udah?” tanya yang lain.
“UDAH. LEGAAAAAAAAAA BANGEETTTT,” jawab gue.
Kami lanjut ngobrol-ngobrol nggak penting lagi, tetapi si Debby malah diem aja. Mukanya meringis seperti ada yang ditahan.
“Nahan berak lu, ya?” tanya gue sotoy.
“Hehehe.”
Kira-kira 5 menit setelah ‘hehehe’, Debby belum juga beranjak dari tempat duduknya. Kami berempat pun semakin menakut-nakuti Debby. Karena takut mendengar cerita itu, ia langsung ngacir ke toilet. Selang beberapa detik, gue yang kebelet pipis kemudian menyusulnya.

Gue melihat pintu toilet masih terbuka, pas gue tengok, si Debby lagi kencing dan pintu nggak ditutup.
“ANJIR. DEBBY KENCING KAGAK DITUTUP! WAKAKAKAKAK,” ledek gue.
Dia masih menikmati kencingnya itu, dan pintu tetap dibiarkan terbuka. Absurd abis.

***

 Bogor, 26 April 2015.

Sekitar pukul 02.00 dini hari, gue dan Aldi masih duduk-duduk sambil curhat di teras depan rumah sepupunya. Kami juga menonton film Amazing Spiderman 2 secara streaming di netbook Aldi. Debby, Eko, dan Sadam sudah masuk ke dalam kamar dan mungkin tidur.
Saat sedang asyik-asyik curhat dan fokus nonton film, tiba-tiba terdengar suara jeritan dari dalam kamar.
“HUUUUAAARGGGGHHHHHHHH.”

Gue dan Aldi langsung panik dan segera melihat ke dalam kamar. Gue awalnya berpikir itu suara si Sadam teriak yang mungkin lagi diisengin sama Eko dan Debby. Setelah melihat suasana kamar, si Sadam masih tertidur pulas, Debby dengan wajah terkejut serta ketakutan, dan si Eko dengan ekspresi muka dongo.
“Ada apaan?” tanya Aldi ke Debby dan Eko.
“Tau nih Eko teriak-teriak, ngagetin gue aja,” jawab Debby.
Eko masih bergeming dan bengong muka dongo. Gue sama Aldi langsung lihat-lihatan, dan berpikir yang aneh-aneh.
Eko tadi kesurupan.
Eko masih kesurupan sampai sekarang.
Eko emang orang dongo yang gila.
“Lu kenapa, Ko?” tanya gue.
“...”
“Woi, Ko? Lu Eko bukan, sih?” tanya gue, mulai agak panik.
Debby menggoncang-goncangkan tubuh Eko. Aldi garuk-garuk kepala.

“Emang ada apaan, sih?” tanya Eko polos dengan muka dongonya.
“Lah, lu yang teriak-teriak!” protes Aldi.
“Gue tadi kayak mau diajak pergi gitu sama setan, gue ditarik-tarik. Terus dia kayak mau nyekek gue, gue langsung berontak dan teriak.”
“Mimpi buruk kali lu, makanya tidur baca doa,” kata Debby kesel.
Sadam yang tadinya merem tau-tau ikutan ketawa-tawa. Ternyata ini anak masih dengerin suara-suara kita, tapi matanya sok-sok merem. Sialan.

***

Setelah kejadian konyol itu, kami berlima pun jadi sulit tidur. Gue akhirnya mendengarkan lagu-lagu galau agar cepat pulas. Gue sudah tidak mendengar apa-apa lagi.
Namun, entah jam berapa, gue mendengar anak kecil tertawa-tawa dan meloncat-loncat sambil melangkahi kami yang sedang tidur. Gue rasanya ingin segera membuka mata, tapi entah kenapa mata ini tetap terpejam.

Beberapa menit setelah itu, gue tertidur nyenyak lagi.
Setelah terbangun—dengan mata masih merem—gue mendengar mereka berempat sedang membahas tragedi semalam, tepatnya ketika jam 2 pagi si Eko berteriak itu. Gue langsung ketawa-ketawa dengan kondisi mata terpejam. Yang lain malah panik.
“Yog, kenapa lu?”
“Wah, kesurupan juga ini anak.”
Gue tertawa semakin keras. “HAHAHAHAHAHAHAHA.”
Gue lalu membuka mata dan bilang, “Gue ngakak nginget kejadian semalem, lu pagi-pagi malah udah bahas aja.

Terus Eko yang semakin menjelaskan kalau dia bener-bener diajak pergi sama setan itu, terus teriak-teriak bermaksud memberontak.

Obrolan pagi yang mengocok perut itu membuat gue melihat jam. Ternyata sudah menunjukkan pukul 5. Gue pun mengira-ngira kejadian bocah loncat-loncat sambil ketawa itu. Gue langsung bertanya, “Jam 4, ada yang denger suara anak kecil ketawa-tawa, terus dianya loncat-loncat gitu, nggak?”
“Lu denger juga?” tanya Eko, “itu mungkin anak kecil yang ngajak main gue semalem!”
Aldi, Debby dan Sadam berpikir dan saling lihat-lihatan. “Itu kodam lu kali, Yog! Makanya jangan kebanyakan cerita kodam. Lu sama Eko sama aja,” ledek mereka, “sama-sama dongo. Apa-apa selalu disambungin ke setan.”

TAE.

Padahal gue bener-bener denger suara anak kecil. Apa anak kecil itu adalah sosok yang ngajak Eko sehingga Eko berteriak kencang seperti itu?

Gue nggak tau, biarkan hal itu menjadi rahasia illahi.

Oke, itu tadi adalah cerita goblok dan nggak jelas yang pengin gue tulis. Nggak lucu, nggak seru, dan nggak bermanfaat sama sekali.

Jika lu udah baca kalimat ini, artinya waktu dan kuota lu terbuang dengan percuma. HUWAHAHAHAHA. RASAKAN! Baca panjang-panjang, tapi nggak ada faedahnya sama sekali.
Huft, maafkan gue. Habisnya gue bingung mau nulis apa. Tapi begitulah kisah gue ketika bermalam di Bogor. Semoga kalian nggak kapok baca cerita gue.

Karena setelah ini, barulah cerita aslinya. Cerita ini hanyalah awal perjalanan. Perjalanan sesungguhnya ialah “Curug Nangka, Kawasan Gunung Salak”. Yap. Tunggu di posting-an berikutnya!

Marah-marah dan proteslah kalian di kolom komentar. Hehehe.


Terima kasih sudah membaca.
SHARE

Unknown

  • Image
  • Image
  • Image
  • Image
  • Image
    Blogger Comment

0 comments:

Post a Comment