Setiap orang punya selera masing-masing terhadap banyak hal. Misal dalam makanan, ada beberapa orang yang suka banget sama sea food, ada juga yang nggak suka, bahkan ada yang alergi. Lalu, ada sebagian orang suka banget durian. Sebagian yang lain justru membencinya. Bagi yang menyukainya pasti bilang, “Wah, enak banget ini buah duren! Kalian harus cobain!”
Bagi yang membencinya (termasuk gue), bakalan bilang, “Wah, enek banget ini duren. Kalian jangan pernah sekalipun nyobain!”
Enak dan enek itu emang beda tipis. Yap. Itulah soal selera.
Begitu juga soal film dan buku. Ada yang suka film dan cerita action; ada yang suka film dan cerita cinta-cintaan; ada juga yang suka sama film dan cerita komedi. Tapi yang gue nggak ngerti, kenapa ada yang suka sama film dan cerita horor?
Ah, iya. Lagi-lagi soal selera. Menurut gue, film dan cerita horor itu kurang menarik. Emang, sih, “menegangkan”, terus juga bikin penasaran. Namun, udah mengeluarkan uang banyak: beli novel horor; nonton film horor di bioskop, tapi ujung-ujungnya kita malah ditakut-takutin itu novel atau film.
Kan, setan!
Ah, iya. Lagi-lagi soal selera. Menurut gue, film dan cerita horor itu kurang menarik. Emang, sih, “menegangkan”, terus juga bikin penasaran. Namun, udah mengeluarkan uang banyak: beli novel horor; nonton film horor di bioskop, tapi ujung-ujungnya kita malah ditakut-takutin itu novel atau film.
Kan, setan!
Apalagi film horor Indonesia. Kok, ada aja gitu yang suka, ya? Padahal udah ketebak jalan ceritanya.
Misal, ada adegan seorang cewek yang lagi sendirian di kamar. Cewek itu lagi ngaca dan menyisir rambutnya, tiba-tiba ada hantu yang nongol di belakangnya. Cewek itu melihatnya dari kaca, pas nengok hilang. Lihat lagi dari kaca, nongol. Lihat ke belakang, hilang lagi. Nah, pas ketiga kalinya, nanti baru beneran ada. Ceweknya pun terkejut dan lari ketakutan. Begonya, ini cewek bukannya lari ke tempat rame, malah lari ke tempat sepi. Ya udah pasti ketemu lagi sama itu setan.
Hmm, tapi masih mendinglah dengan adegan begitu. Kalo dipikir-pikir, walaupun udah ketebak jalan ceritanya, tapi harus gue akui kalo setan Indonesia itu wujudnya serem-serem. Dibandingin setan luar negeri, masa setannya berwajah ganteng. Lihat aja vampir Edward Cullen, cewek-cewek nggak ada yang takut, malah pada becek.
Apanya yang becek, Yog? Auk. Asal ngetik aja. Huwahaha.
Oke, kenapa dari tadi ngomongin selera, Yog? Ya, karena inilah idenya.
Saat ini, dunia musik mulai heboh karena musik EDM yang memang lagi ngetren. Bagi yang belum tau, EDM adalah Electronic Dance Music. Apalagi waktu itu, ketika David Guetta feat Sia memperkenalkan lagu Titanium. Jujur, gue pertama kali tau atau mengerti musik EDM karena lagu itu. Ya, lagu Titanium memang keren. Lebih kerennya lagi, ketika ada anak SD yang membuat liriknya menjadi “amburegul emeiseyu, bahrelway-bahrelway”, lagu itu semakin tenar.
Tapi, gue nggak begitu suka sama musik EDM ini. Nggak tau kenapa, rasanya lagu hardcore, metalcore, screamo masih menjadi kesukaan gue. Temen-temen gue mulai mengisi daftar lagu mereka dengan musik-musik EDM. Sampai akhirnya, gue mulai bluetooth beberapa lagu dari mereka. Beginilah ceritanya.
Waktu itu, sepulang kuliah, gue lagi ngumpul sama temen-temen sekelas di sebuah tempat makan. Arief—salah satu temen gue—sedang mendengarkan musik dengan earphone, ia terlihat begitu menikmati musik itu. Karena penasaran, gue pun mengambil salah satu earphone dan memasangnya ke telinga gue.
Gue nggak tau itu jenis lagu apa, apalagi judulnya. Tapi nggak tau kenapa, liriknya dalem dan enak banget untuk didengerin. Gue mencoba mendengarkan lagu itu sampai habis, terdengar agak mirip seperti Titanium. Ya, yang nyanyi cewek terus ada juga DJ-nya. Tapi nggak tau kenapa, menurut gue lebih enak didenger ketimbang Titanium. Gue pun bertanya sama Arief, “Ini judulnya apaan?”
“Judulnya Clarity,” jawabnya pelan, “Zedd feat Foxes,” tambahnya.
“Oh, lumayan juga. Bluetooth, dong.”
“Tar dulu, lu harus dengerin lagu yang ini,” kata Arif, ia pun menatap layar HP-nya dan mengganti lagu.
Lalu dia pun menggantinya dengan lagu EDM yang lain. Gue dengarkan dengan saksama. Terdengar ciri khas dari suara vokal si cewek. Gue merasa tidak asing lagi dengan suara itu. Gue langsung berkata, “Ini kan suara...”
Belum sempat gue berkata lagi, Arief memotong, “Hayley vokalisnya Paramore. Judulnya Stay The Night.”
Sejak saat itu, gue mulai mendengarkan lagu-lagu EDM. Beberapa lagu mulai mengisi daftar musik di HP gue. Entah bagaimana, lama-lama gue bosen aja sama lagu-lagu begitu. Rasanya lagu itu menang di DJ doang.
Gue kadang juga nggak habis pikir sama temen-temen yang rela beli tiket konser DWP yang harganya begitu mahal. Kalo gue jadi dia, mending buat bayaran kuliah. Hmm, terus mereka selalu suka sama kata-kata “put your fuckin hands up”. Setiap dengerin musik, mereka selalu pake headphone.
Gue kadang juga nggak habis pikir sama temen-temen yang rela beli tiket konser DWP yang harganya begitu mahal. Kalo gue jadi dia, mending buat bayaran kuliah. Hmm, terus mereka selalu suka sama kata-kata “put your fuckin hands up”. Setiap dengerin musik, mereka selalu pake headphone.
Beberapa minggu kemudian, Arief masuk kampus dengan mengenakan earphone sambil sok mengangguk-anggukan kepalanya. Setelah itu, ia langsung duduk di sebelah gue. Beberapa detik setelah ia duduk, mata Arief mulai merem-merem nikmat dan keenakan seperti orang lagi klimaks.
Kepalanya pun mulai goyang ke kanan ke kiri, kadang tangannya juga ikut menari-nari. Bahkan, kalo gue lagi di sampingnya, dia suka bilang, “Hacep banget ini lagu, Bro. Lu harus dengerin!”
“Yelah, norak lu!” kata gue kesel.
“Coba dengerin dulu. Tar juga ketagihan,” kata dia sambil memasangkan earphone ke telinga kiri gue.
Gue mulai dengerin lagu yang katanya hacep itu. Mulai terdengar suara cewek bernyanyi, “We go hideaway in daylight. We go undercover, wait out the sun.”
Gue biarkan earphone itu menempel di telinga gue. Sampai lirik ini pun terdengar dengan jelas.
I know you hear me now
We are a different kind
We can do anything
We could be heroes
We could be heroes
Me and you
BANGKE! INI LAGU APAAN? teriak gue dalam hati.
“Judulnya apaan nih?”
“Heroes,” katanya sambil merem-merem dan gelengin kepala ke kanan dan ke kiri.
“Oh, yang nyanyi siapa?”
“Alesso.”
Gue langsung catet judul lagu itu di notepad HP. Gue copot earphone di telinga kiri, dan memberikan earphone itu kepadanya. Setelah itu gue beranjak dari tempat duduk tadi dan melangkah pergi.
Sebelum gue pergi, dia bertanya, “Lagunya keren kan, Yog?”
“Biasa aja,” jawab gue sok cool.
Lalu, dia pun hanya memasang earphone itu ke telinganya sambil tersenyum kepada gue.
***
Begitu pulang kuliah dan sampai di rumah, gue langsung download lagu tadi karena penasaran. Lagu ‘Heroes’ ini kenapa enak banget buat didengerin, ya? Asli. Gue nggak ngerti kenapa jadi suka sama EDM lagi setelah kemarin enek sama genre musik ini. Setelah lagu itu selesai di-download. Gue nggak berhenti-berhenti mendengarkannya. Nggak ada satu pun lagu lain yang gue puter. Udah belasan kali lagu ini membuat gue merem-merem nikmat seperti yang Arief lakukan. Udah beberapa kali lagu keganti secara otomatis, tapi gue tetep aja males ganti lagu yang lain. Baru beberapa detik lagu lainnya kesetel, gue ganti lagi dengan lagu Heroes itu.
Kata “biasa aja” yang gue bilang ke Arief tadi, sepertinya harus gue ralat menjadi: “KAMPREEEETTTTT. INI LAGU ASYIK BANGET!”
Sekarang gue mengerti, kenapa dia dengerin lagu ini sambil merem-merem nikmat. Ternyata gue juga menikmati setiap lirik dan alunan musiknya. Huwahahaha.
Jadi, sekarang gue mulai mengerti soal selera, terutama tentang musik. Gue nggak begitu peduli sama orang-orang yang suka musik melayu dan cengeng itu. Mungkin bagi sebagian orang, lagu itu norak dan kampungan. Bagi para pecintanya, musik itu pasti keren banget.
Dangdut pun demikian, sering jadi bahan ejekan orang-orang yang membencinya. Tapi, para pecinta musik dangdut selalu bilang, “Dangdut never dies. Because 'dangdut' is the music of my country.” Apalagi sekarang acara TV dikuasai oleh musik dangdut. Hahaha. Bagi para penikmat musik dangdut koplo, musik EDM itu terlalu mahal dan ribet. Nggak ada biduannya, nggak bisa nyawer.
Begitu juga dengan musik jazz, temen gue pernah bilang, “Musik jazzbikin ngantuk, males dengerinnya.” Temen gue yang suka jazz langsung membela musik yang ia suka itu. Hmm, begitu juga dengan musik metal atau yang suka teriak-teriak nggak jelas itu. Awalnya, gue bilang, “Nyanyi apaan sih, ini orang? Nggak jelas banget suaranya.” Lama-lama, gue malah iseng-iseng nge-band membawakan lagu-lagu hardcore sama temen-temen pas SMK. Dan, karena gue nggak bisa main alat musik apa pun. Gue disuruh jadi vokalis, dan gue belajar teknik vokal yang namanya scream dan growl yang biasa dinyanyiin sama vokalis band metal itu.
Ya itu aja sepertinya yang bisa gue tulis, begitulah soal selera. Setiap orang punya selera yang berbeda-beda. Dan berdebat karena selera itu kayaknya buang-buang waktu.
Jadi, apa komentarmu mengenai tulisan ini?
Ditulis pada Senin, 27 April 2015.
0 comments:
Post a Comment