Kisah Rokok dan Tiga Anak Remaja

“LU ngerti bahasa manusia nggak, sih?!” bentak Agus kepada Coki yang terus-menerus menggodanya sejak tadi.
“Hahaha, gitu aja ngambek. Gak asyik, ah,” ledek Coki.
“SIAPA YANG NGAMBEK?!” Agus mulai naik pitam. “Lu tuh kelewatan kalo bercanda!”

“Udah-udah, jangan ribut di sini,” ujar Beni mencoba menengahkan.
“Lagian belagu amat sok-sok nggak mau merokok,” kata Coki. “Cowok nggak ngerokok tuh cemen tau.”

“Diem apa, Cok!” Beni juga mulai kesal terhadap kelakuan Coki. “Jangan godain Agus mulu.”

Maksud menggoda di sini bukanlah merayu karena suka atau naksir. Tentu saja Coki tidak homo. Coki menggoda Agus dengan menyemburkan asap rokok ke wajahnya dan meledek-ledek tentang cowok yang tidak merokok itu sangat payah.

rokok


“Eh, Tong. Lu kalo mau pada berisik jangan pada di warkop gue, yek! Kalo masih pada betah di sini, jangan rusuh,” kata Bapak penjaga warung kopi yang warungnya sedang dibuat gaduh oleh kelakuan mereka bertiga.

“Maaf, Pak,” kata Agus. “Ini saya juga mau pulang, kok.”

Agus pun memilih pulang ke rumah. Meninggalkan Beni dan Coki yang sedang asyik bermain asap. Pilihan Agus sangat tepat. Agus memang lebih baik pulang dan menyendiri, daripada ia harus berada di dekat Coki yang selalu bikin kesal. Lebih tepatnya, Agus ingin menghindari asap rokok. Ya, Agus memang membenci rokok. Dalam seumur hidupnya, ia belum pernah sekalipun menghisap barang yang telah membunuh ayahnya.

***

Pak Bambang (ayahnya Agus) memang terbunuh karena rokok. Namun, beliau tidak mati terbunuh oleh luka sundutan rokok. Sangat tidak lucu pula jika Pak Bambang meninggal dengan banyak luka sundutan di tubuhnya. Penjahat bodoh mana yang berusaha membunuh hanya dengan menyundut korbannya dengan rokok? Sangat tidak masuk akal.

Melainkan karena Pak Bambang ialah perokok berat. Hampir setiap hari beliau menghabiskan satu bungkus rokok seorang diri. Agus masih ingat betul saat itu, saat ia masih kelas 4 SD, ayahnya mulai sakit-sakitan dan dirawat di rumah sakit selama seminggu. Dan tepat pada hari ketujuh, akhirnya Pak Bambang pergi meninggalkan Agus dan keluarga untuk selama-lamanya. Ayah Agus terkena penyakit kanker yang tidak diketahui sebelumnya. Pak Bambang ini selalu merasa dirinya baik-baik saja. Tidak ada keluhan apa-apa selama menjadi perokok berat. Sangat santai dengan bahaya rokok yang terdapat di kemasannya, “Merokok dapat menyebabkan kanker, serangan jantung, impotensi, dan gangguan kehamilan dan janin.”

Hingga akhirnya terbaring lemah di rumah sakit dan ajal yang akan menjemputnya, mungkin Pak Bambang barulah tersadar akan bahaya rokok. Sayangnya, itu semua sudah terlambat. Sejak saat itu pula, Agus mulai membenci rokok dan berjanji untuk tidak akan pernah merokok. Ia sudah bertekad seperti itu kepada dirinya sendiri agar tidak mengulangi kesalahan ayahnya.

Berbeda sekali dengan Coki. Coki sejak SMP sudah mulai mencoba rokok. Awalnya memang coba-coba, tetapi sekarang ia malah jadi ketagihan. Dan kalau Beni, ia baru mulai merokok saat SMA. Itu pun karena Beni dibujuk oleh teman-temannya dan tidak enakan untuk menolak. Coki termasuk salah seorang temannya yang membujuk Beni untuk mencoba rokok.

Namun, Beni ialah tipe orang yang tetap menghargai orang-orang yang tidak merokok. Ia juga menyukai prinsip Agus yang konsisten untuk tidak merokok. Beni tidak pernah sekalipun menggoda Agus—seperti yang dilakukan Coki.

Itu semua karena Agus dan Beni sudah berteman sejak SD. Oleh karena itu, Beni sudah paham bagaimana sifat Agus. Sedangkan Coki baru mulai masuk ke dalam pertemanan mereka ketika SMP. Sebenarnya mereka bertiga telah menjadi teman baik, tapi dalam sebuah pertemanan pasti ada satu teman yang selalu bikin jengkel. Dan Coki hadir untuk melengkapi bagian itu.

Awalnya Coki tidak rese seperti sekarang, tetapi entah kenapa sejak masuk SMA, apalagi ketika saat ini sudah kelas tiga, ia mulai berubah. Coki menjadi pribadi yang sungguh menyebalkan.

Agus sering kali menasihatinya untuk tidak merokok, “Jangan ngerokok terus, Cok. Lu masih sekolah juga. Kasihan orangtua yang biayain hidup lu. Mending uangnya ditabung untuk hal yang lebih berguna.”

Namun, respons Coki selalu sama, “Lah, lu siapa ngatur-ngatur gue?! Duit-duit gue. Lagian gue sekarang udah 17 tahun, udah boleh nakal. Gue baru ngerokok aja udah lebay lu! Gimana gue pake narkoba?!”

Sedangkan Beni, ia ingin sekali berhenti merokok. Selalu iri melihat Agus yang kuat akan pendiriannya. Namun, karena Beni berada di lingkungan yang kurang baik, ia pun sulit keluar dari jeratan dan hawa nafsu untuk terus merokok.

***

DI warkop tempat mereka bertiga biasa berkumpul, lagi-lagi Coki menyemburkan asapnya kepada Agus. Kali ini, Beni mencoba mengurangi rokok sedikit demi sedikit. Ia juga tidak ingin merokok ketika ada Agus di dekatnya, berusaha menghargai prinsip Agus.

Agus pun mulai terbatuk-batuk ketika asap rokok itu mulai terhirup secara tidak sengaja. Anehnya, Agus tidak pernah kapok untuk terus berkumpul bersama Beni dan Coki. Ya, Agus adalah tipe orang yang menghargai pilihan temannya. Tidak menjauhi seorang teman hanya karena dia nakal. Agus memang tidak suka memilih-milih dalam berteman. Yang penting, ia bisa menjaga dirinya dan tidak terbawa arus negatif.

“Kalo lu masih kayak begini terus, gue nggak akan mau kumpul lagi sama lu, Cok!” kata Agus mengancam Coki.

Coki hanya tertawa mendengar kata-kata Agus. Ia tidak memedulikannya.

Sampai akhirnya....

***

SUDAH dua minggu sejak kejadian itu, Agus tidak lagi kumpul bersama Beni dan Coki.

“Si Agus beneran ngambek sama gue ya, Ben?” tanya Coki kepada Beni.

Beni bergeming. Ia tidak memperhatikan Coki. Pikirannya sedang berada di tempat lain. Memikirkan sesuatu hal yang sangat membuatnya cemas.

“Ben?” sahut Coki sekali lagi.
“WOI, BENI SUGENI! KALO GUE AJAK NGOMONG DENGERIN, DONG!” Coki kesal karena dicuekin.
“Ah, apaan?” tanya Beni yang baru sadar akan lamunannya. “Sori-sori.”
“Mikirin apaan, sih, lu?”

Beni tidak menjawab.

“Eh, Ben. Lu kenapa, sih?” tanya Coki penasaran. “Oh, rahasia-rahasiaan nih sama gue? Udah gak mau cerita-cerita lagi?”
“A-Agus, Cok,” ucap Beni, lirih.

“Ya, makanya tadi gue nanyain Agus. Lu malah gak jawab. Gue tadi nanya, ‘Agus ngambek sama gue, ya? Kok dia beneran gak nongkrong lagi.’ gitu.”

Beni sangat kesal dengan ucapan Coki barusan. Beni kemudian memandangi Coki dengan sangat serius.

“Loh, lu ngapa ngelihatin gue kayak gitu?”

“Denger ya, Cok...,” kata Beni berusaha menjelaskan sesuatu.

Coki mulai mendengarkan dan berusaha menyimak cerita Beni. Beni pun menceritakan tentang keadaan Agus. Membenarkan fakta atas tuduhan Coki yang bilang Agus ngambek. Agus tidak seegois itu. Beni bercerita tentang alasan Agus tidak merokok dan sangat membenci rokok, ya karena rokok telah membunuh ayahnya. Beni pun mulai menceritakan kenapa Agus tidak kelihatan batang hidungnya hampir dua minggu ini. Beni kemudian menjelaskan kalau Agus juga sudah seminggu lebih tidak masuk sekolah.

“Jadi, gitu,” jelas Beni mengakhiri ceritanya.

Coki benar-benar tidak percaya terhadap cerita Beni mengenai Agus yang baru saja ia dengar.

“Lu kenapa baru bilang sekarang?!” tanya Coki rada kesal.
“Emang lu peduli sama dia?” ucap Beni lebih kesal. “Lu bahkan hampir tiap hari ngatain dia cemen setiap kali batuk-batuk pas lu semburin asep ke mukanya! Apa peduli lu kampret?!”

Beni semakin terbakar emosi.

“Maaf,” ucap Coki lirih. Baru kali ini Coki merasa bersalah akan perbuatannya.

“Terlambat!”

Sebenarnya tidak ada kata terlambat untuk orang yang benar-benar menyesal dan ingin minta maaf. Namun, kali ini Beni benar-benar marah terhadap Coki yang baru sadar akan kesalahannya sekarang.

“Ya udah, tolong anterin sekalian temenin gue ketemu Agus, Ben.”


***

Di kamar Anggrek nomor 21 yang berada di sebuah rumah sakit wilayah Jakarta Barat, seorang Agus terbaring lemas. Ia tidak pernah menyangka kalau dirinya bisa terkena kanker paru-paru seperti ayahnya dahulu. Ia lupa akan satu hal, kalau perokok pasif juga bisa terkena serangan kanker akibat asap rokok yang tidak sengaja dihirupnya. Namun, semua itu sudah terjadi. Agus tidak bisa menyalahkan siapa-siapa. Termasuk Coki yang sering menyemburkan kepulan asap ke wajahnya.

Kini, Beni dan Coki sudah berada di ruangan bersama Agus. Tapi sayangnya, Agus sedang tertidur. Coki kali ini lebih banyak diam dari biasanya. Ia sedang merenungi kesalahannya dan bingung harus meminta maaf seperti apa kepada Agus.

Beni dan Coki masih berdiam diri dan menunggu temannya bangun. Hingga 15 menit berselang,  Agus pun akhirnya terbangun dan menyapa mereka berdua, “Hai, Ben. Hai, Cok. Makasih ya udah nengokin.” Suara Agus begitu lemah. Wajah Agus tampak pucat. Pipinya juga menjadi lebih tirus dari biasanya.

“Ma-maafin gue ya, Gus,” ujar Coki terbata-bata. Coki sangat menyesal dari lubuk hati yang paling dalam. Kini, ia merasa bersalah akan musibah yang dialami Agus. Kalau saja dirinya tidak iseng menyemburkan asap, meledeki, atau tidak merokok di dekat Agus, mungkin nasib Agus tidak akan seperti ini. Ya, tentu saja penyesalan selalu datang belakangan. Kalau datang duluan namanya pendaftaran. Kalo hamil duluan sebelum nikah namanya berzinah. Dan itu dosa besar. Allahu Akbar!

Namun, seorang Agus tidak akan menyalahkan perbuatan Coki. Agus lebih berpikiran positif kalau penyakit itu memang pemberian Tuhan. Agus tersenyum. “Bukan salah lu, Cok. Mungkin sakit ini emang udah menjadi takdir gue.”

Di malam itu, Coki—teman yang paling menjengkelkan dan banyak gaya—berubah menjadi lembek. Ia meneteskan air matanya untuk Agus, teman yang selama ini ia remehkan. Sebuah kejadian yang sangat langka.

Setelah setengah jam menemani Agus, Beni dan Coki harus pulang. Mereka tidak bisa berlama-lama di rumah sakit karena jam besuk sudah hampir habis.

“Ya udah, cepet sembuh ya kawan. Lu pasti sembuh,” ucap Beni dan Coki menyemangati Agus. Mereka berdua pun meninggalkan rumah sakit.

Agus merasa menjadi lebih baikan berkat kedatangan kedua temannya itu. Ia jadi lebih semangat untuk bertahan hidup. Percaya kalau dirinya lebih kuat daripada kanker yang sedang dideritanya. Dan optimis kalau dirinya pasti akan sembuh dari kanker terkutuk itu.

Sepulang dari rumah sakit, Beni semakin yakin untuk berhenti merokok. Ia tidak ingin dirinya bernasib sama dengan Agus. Coki pun demikian. Ia mulai sadar akan sesuatu hal yang selama ini dibanggakannya adalah perbuatan yang sangat bodoh. Coki benar-benar menyesal akan kesalahannya. Tapi, Coki tidak bisa terus-terusan menyesal begitu. Ia perlahan-lahan mulai memaafkan dirinya sendiri. Dan mulai mengubah kebiasaan buruknya. Coki berjanji untuk tidak merokok lagi, walaupun itu sulitnya seperti move on dari mantan yang meninggalkan pas lagi sayang-sayangnya. Jangan sampai ada lagi korban yang jatuh akibat keganasan rokok.


***

SEORANG laki-laki remaja sedang berlari menuju rumah temannya sambil meneteskan air mata. Sampai di suatu rumah yang berpagar warna cokelat, ia mulai berteriak mengucapkan salam dan memanggil-manggil nama temannya itu. Tak lama setelah itu, seorang laki-laki remaja lainnya pun membuka gerbang dan bertanya, “Ada apaan, Ben?”

Ya, laki-laki yang berlari itu adalah Beni. Dia mengunjungi rumah Coki. Rambut Coki masih acak-acakan saat membuka gerbang, sedikit-sedikit menguap, dan mengucek-ngucek mata. Tanda orang baru bangun tidur.

Beni tidak menjawab. Ia masih sesak karena tangisnya.

“Eh, mata lu sembab, Ben? Kok nangis? Kenapa dah?” tanya Coki.
“A—Agus, Cok...,” jawab Beni.
“Agus kenapa?”

Beni bergeming. Ia tidak sanggup melanjutkan perkataannya.

“Ben, Agus kenapa woy?!”

Lidah Beni terasa kelu untuk mengatakan kejujuran itu. Ia juga masih tidak percaya akan apa yang terjadi pagi ini.

“BEN, JAWAB!” Coki berteriak.

“Dia meninggal tadi subuh.”

“Hah?!” Coki terkejut dan langsung berdiri mematung. Dadanya terasa sesak mendengar ucapan Beni barusan. Pandangannya pun kosong, entah pikirannya tiba-tiba menerawang ke mana.

Beberapa saat kemudian, mereka berdua sudah berada di rumah duka. Coki benar-benar tak percaya ketika melihat temannya—Agus—berbaring mengenakan kain kafan. Beni juga masih belum berhenti meneteskan air mata. Sulit sekali rasanya ditinggal pergi sahabat selama-lamanya. Bahkan, Beni merasa sakitnya lebih parah dari putus cinta. Apalagi putusnya layangan. Semua itu nggak ada apa-apanya dibandingkan kehilangan sahabat.

Setelah yasinan selesai, mereka berdua pergi mengantarkan jenazah Agus ke TPU Kemanggisan, Jakarta Barat. Saat sedang proses memasukkan jenazah Agus ke liang lahat, tiba-tiba Coki terjatuh dan pingsan.

Suasana pemakaman yang tadinya penuh haru dan hening pun mendadak riuh.

“Cok, bangun!” ujar Beni menggoyang-goyangkan tubuh Coki.

***

“Cok. Bangun, Cok.”

Coki pun tersadar dan melihat keadaan sekitar, tapi tempatnya mendadak berubah. “Loh, Mama? Kok Coki ada di rumah? Bukannya tadi di kuburan?”

“Ngomong apa, sih, kamu?” tanya ibunya Coki. “Dari tadi kamu tidur di sini. Mama bangunin karena ada Beni di depan.”

Coki panik. Ia segera beranjak dari tempat tidur dan berlari ke depan rumah untuk menemui Beni. Coki merasa sedikit lega karena kejadian itu hanya mimpi. Namun datangnya Beni ke rumahnya, membuat dirinya cemas kembali.

“Ada apa, Ben?” tanya Coki, begitu ketakutan.
“Lu kenapa kayak orang ngelihat hantu gitu?” Beni bertanya balik kepadanya.
“Gapapa, kok. Lu ke sini ngapain deh?”

“Gue mau ngabarin berita buruk soal Agus.”

Coki kaget bukan main. “Ya, Allah.” Coki langsung meneteskan air mata.


***

Beni dan Coki sedang duduk di ruang tunggu kamar Anggrek nomor 21 sambil menunggu kabar dari dokter mengenai hasil operasi Agus. Ya, Agus belum meninggal. Agus hanya belum bisa pulang ke rumah karena mesti mendapatkan perawatan serius untuk kesembuhan kankernya. Dan hari ini, ia akan dioperasi.

Ya, ternyata kematian Agus tadi hanyalah mimpi Coki.

Laki-laki berumur 40-an yang mengenakan pakaian serba putih itu baru saja keluar dari ruangan tempat Agus dioperasi. Melihat hal itu, Beni dan Coki pun segera menanyakan kabar Agus.

“Gimana keadaan temen saya, Dok?” tanya Beni dan Coki bersamaan.
“Alhamdulillah operasinya berjalan lancar,” ujar sang Dokter.

“Alhamdulillah,” ucap Beni.
“Terima kasih, ya Allah,” ujar Coki yang langsung sujud syukur.

Mereka berdua segera menemui Agus di ruangannya dengan penuh rasa bahagia.


***

BANYAK hal yang mulai berubah sejak saat itu. Sebulan kemudian, mereka bertiga sudah berkumpul kembali di warkop—tempat favorit mereka sepulang sekolah. Kali ini, tentunya bebas akan asap. Agus sudah mulai sehat dan aktif seperti sedia kala. Beni sudah resmi berhenti merokok sejak Agus dirawat di rumah sakit. Dan Coki pun mulai membenci barang yang bernama “rokok”, bahkan mendengar kata itu saja, ia risih. Tak ingin lagi ia menghisap benda yang sudah membuat temannya menderita. Ia juga mulai menyayangi dirinya sendiri. Ya, rokok itu memang merugikan banyak hal. Dari segi uang, kesehatan, dan juga menyebabkan pencemaran lingkungan.

Sekarang mereka bertiga mulai berkumpul kembali di warkop. Mereka sedang siap-siap untuk berangkat jogging sore di Gelora Bung Karno. Mulai saat ini, Agus, Beni, dan Coki akan menerapkan pola hidup sehat. Mereka jadi rajin berolahraga dan menjauhi asap rokok. Mereka juga mulai mencintai lingkungan di sekitarnya. Mereka ingin menjadi remaja yang lebih baik dan positif. Ingin menjadi remaja yang memiliki tubuh yang sehat dan jiwa yang kuat. Ingin menjadi remaja yang bermanfaat, paling tidak untuk dirinya sendiri. Karena melakukan sebuah perubahan memang harus dimulai dari diri sendiri.

Meskipun sudah berlari lima putaran mengelilingi Gelora Bung Karno, tetapi mereka terus berlari dengan penuh rasa semangat tanpa kenal lelah. Di putaran kedelapan, barulah mereka memilih beristirahat di bawah pohon yang rindang sambil memandangi langit jingga. Mereka bertiga begitu menikmati kebersamaannya dengan canda dan tawa. Mereka terlarut dalam kebahagiaan hingga senja pun menua.

***

Karena belakangan ini lagi heboh-heboh soal kenaikan rokok, maka nggak ada salahnya gue posting cerpen ini. Sebagai orang yang tidak merokok, mungkin gue nggak begitu peduli akan kenaikan harga itu. Namun, gue peduli sama nasib para korban yang berjatuhan karena benda kecil bernama “rokok” tersebut.

Yap, keresahan gue tentang rokok itu pun membuat gue teringat kalau pernah menuliskan sebuah cerita tentang rokok. Gue pernah diajak Dara Agusti ke dalam sebuah proyek menulis tentang kesehatan. Sebagai blogger yang keren (halah), maka gue tidak perlu berpikir panjang untuk ikutan.

Jadi, tulisan barusan adalah cerpen yang gue ikut sertakan dalam proyek itu. Dan gue nggak nyangka banget kalau tulisan gue ini terpilih dan bakal dibukukan. Akhirnya, seorang Yoga berhasil menelurkan sebuah karya antologi. Ehehe. GUE PUNYA KARYA WOY!

MUAHAHA. DASAR NORAK. Sorry-sorry, sampe mana tadi?

Oiya, buku. Emang, sih, bukunya masih dalam proses. Tapi, ya... gue bahagia banget bisa berkarya apalagi itu proyek sosial yang seluruh keuntungan dari penjualan bukunya bakalan didonasikan untuk peningkatan kesehatan dan pendidikan Anak Bumi Sebalo, Kab. Bengkayang, Kalimantan Barat.. Muahaha. Seorang Yoga bisa berbuat baik juga. Kemudian, foto gue itu akan terpampang di halaman akhir buku bersama dengan penulis lainnya. Secara gak langsung, ketampanan gue itu jadi bisa dilihat banyak orang. Muahaha.



Btw, mohon maaf sebelumnya kalau cerita barusan itu kepanjangan. Tulisan ini emang ada yang gue edit dan tambahin lagi demi kemajuan skill menulis gue. Gue sebenernya ada banyak draft, tapi bingung mau lanjutin dan posting yang mana. Mengingat karena gue udah lama nggak mengisi blog ini dengan fiksi. Oleh karena itu, tulisan inilah yang terpilih. Semoga ada manfaatnya. Dan mohon maaf bila ada kekurangan. Tolong, berikan kritik dan saran. :)

*) Sumber gambar: http://assets.kompas.com/data/photo/2013/05/31/2140136-rokok-780x390.jpg

Terima kasih.
SHARE

Unknown

  • Image
  • Image
  • Image
  • Image
  • Image
    Blogger Comment

0 comments:

Post a Comment