Sepotong Hati di Segelas Milkshake Cokelat (Potongan Kedelapan)

“Loh, Agus kok bisa ada di sini?”

“Mei?” kata Agus, tak percaya akan kenyataan bahwa Mei memang pacar kakaknya. Suasana di rumah tiba-tiba menjadi tegang. Setegang batang kejantanan pria ketika bernafsu.

“Kalian udah saling kenal?” Januar menatap Mei dan Agus bergantian. Januar tampak terkejut, tapi ia hanya terkejut biasa. Tidak ada rasa cemburu sedikit pun terhadap adiknya.

Kursi di meja makan saat itu terasa seperti kursi listrik. Membuat Agus ingin mati saja. Feeling-nya selama ini benar. Kalau Mei memang sudah memiliki pacar. Agus mencoba membiasakan dirinya dalam situasi ini. Ia ingin terlihat seperti tidak terjadi apa-apa, walaupun hatinya ada apa-apa dan terasa tidak keruan. Rasa antara senang, sedih, dan jengkel campur menjadi satu. Senang karena bisa bertemu Mei; sedih karena dugaannya selama ini benar, Mei sudah memiliki pacar; dan....

Kenapa harus Januar yang menjadi pacar Mei? KENAPAAAAAHHH?


Pertanyaan itulah yang membuat Agus protes terhadap semesta.

Agus tidak menjawab pertanyaan kakaknya. Agus memilih diam. Karena Agus tidak merespons pertanyaan kakaknya, Mei pun angkat suara, “Iya, udah. Kebetulan kami satu kampus. Waktu itu sempet kenalan pas lagi nunggu macet, King. Panjang deh ceritanya.”

“Oiya, aku baru inget kalo Agus juga kuliah di sana. Kalo gitu, berarti aku nggak perlu ngenalin adikku lagi ke kamu, ya,” kata Januar kepada Mei.

Mei pun tersenyum, sedangkan Agus masih terdiam menatap piringnya yang masih kosong sambil meremas garpu dan sendok dengan erat. Ingin rasanya menusuk mata Januar lalu mencongkelnya keluar.


King? Panggilan macam apa itu? Batin Agus bertanya-tanya. Januar dipanggil King? Dia menjadi seorang raja? Lalu, Mei menjadi ratunya? Terus gue jadi apaan? Budak?


Situasi ini menjadi canggung. Di kepala mereka masing-masing menyimpan pertanyaan, namun enggan untuk diucapkan.

“Ya udah, jangan pada diem-dieman dong. Ayo, pada dimakan,” ujar Bu Siska—ibunya Agus dan Januar—memecah hening.

“Tante udah masak banyak nih. Dikenyangin ya, Mei.” 

Mei pun mengangguk malu-malu sambil menyendok nasi dan lauk ke piringnya. Pengalaman pertama makan malam bersama keluarga pacar memang terasa horor. Apalagi harus menjawab pertanyaan-pertanyaan yang ditanyakan Bu Siska.

“Kuliahnya udah semester berapa?”
“Tinggalnya di daerah mana?”
“Udah berapa lama kenal sama Januar?”

Bagusnya, tidak ada pertanyaan “Kamu bisa masak?”, karena akan sangat tidak lucu jika Mei menjawab, “Bisa kok, Tante. Tapi baru bisa masak soto, rendang, dan kari aja... dalam bentuk mi instan.”

Mereka makan malam dengan suasana hangat. Dengan penuh antusias Januar memperkenalkan dan menceritakan sosok Mei lebih detail kepada ibunya. Seolah menyatakan bahwa pencarian cintanya berakhir pada diri Mei.

“Syukurlah anak Tante dapet pacar yang cantik dan sebaik kamu,” ucap Bu Siska kepada Mei.

“Duh, Tante bisa aja. Januar kadang lebay nih. Hehehe,” balas Mei.

Agus yang mendengar percakapan itu seakan panas dingin tubuhnya menjalar. Kupingnya langsung panas, hatinya pun ikut panas. Porsi makan malam Agus kali ini juga hanya sedikit. Ia telah kekenyangan makan rasa cemburu.

Setelah acara makan malam selesai, Januar mengantar Mei pulang, sedangkan Agus sendiri langsung masuk ke kamarnya. Ia tutup pintu kamarnya rapat-rapat, lalu menguncinya. Dan berharap juga dapat mengunci ingatan akan kejadian barusan.

***

Dua minggu telah berlalu, tapi Agus menjalani kehidupannya seperti dua bulan. Saat sakit hati, waktu benar-benar terasa sangat lambat. Banyak hal yang ia renungkan selama dua minggu itu. Agus mengingat-ingat sebuah memori di masa lalunya. Memori yang membuat kesedihannya semakin larut.


Sedari dulu, Januar memang lebih akrab dengan ibunya. Selalu mendapatkan perhatian lebih. Berbeda dengan Agus, yang jarang sekali diperhatikan. Januar selalu menjadi juara kelas dari SD sampai SMA, sedangkan Agus bisa naik kelas saja sudah syukur. Hal itulah yang membuat Agus sering dibandingkan dengan kakaknya sejak kecil.

“Kamu yang rajin dong belajarnya biar dapet ranking. Contoh tuh kakakmu”; “Kamu mulai belajar mandiri dong. Mau sampai kapan berangkat sekolah dibangunin terus? Tiru kebiasaan kakakmu”; dan beberapa perbandingan lainnya yang cukup membuat Agus semakin tidak berarti.

Namun, ayahnya tidak pernah bilang demikian. Hanya ibunya yang memang suka memuji Januar berlebihan. Ayahnya bersikap lebih adil. Beliau selalu sabar dalam membimbing Agus. Ayahnya selalu percaya kalau Agus juga punya kelebihan, tapi mungkin belum terlihat. Mungkin saja Agus memang pas-pasan di bidang akademis, tapi siapa tau nanti Agus punya potensi di bidang lainnya. Kalau Januar lebih dekat dengan ibunya, Agus pun sebaliknya, ia lebih dekat dengan ayahnya.

Tapi sayang, sekarang Pak Rudi (ayah Agus dan Januar) telah tiada karena penyakit diabetes yang menyerangnya. Mereka menjadi anak yatim sejak masih SD, Agus kelas 3 dan Januar kelas 6. Sejak itu, keadaan mereka bertiga benar-benar terpuruk. Bu Siska tidak menyangka kalau harus kehilangan suaminya secepat ini. Januar-lah yang selama ini menghibur ibunya di kala sedih. Januar bersikap lebih dewasa dalam menghadapi kematian ayahnya. Oleh karena itu, ia semakin dekat dan disayang oleh ibunya.

Akrabnya Januar dengan ibunya, membuat Agus semakin tersisihkan. Agus pun merasa semakin kehilangan kasih sayang. Tidak ada yang bisa menjadi tempat bercerita saat sedih. Tidak ada lagi yang membelanya di saat ibunya membandingkan dirinya dengan kakaknya. Apalagi di saat ini, saat perempuan yang ia suka malah bersama Januar. Terlebih lagi ibunya juga sangat mendukung kebersamaan mereka.

Tanpa ada yang tahu, Agus diam-diam menangisi kepedihannya dari dulu hingga sekarang. Ia juga menangis karena rindu akan sosok ayahnya. Agus ingin sekali bertemu dan bertanya sesuatu kepada ayahnya,

“Bagaimana caranya mengikhlaskan seseorang yang sangat kita sayangi?”

***

PS: Maaf baru sempet update proyek WIDY lagi. Sebenernya bagian yang ini udah kelar dari semingguan yang lalu, tapi karena gue lagi liburan di Bandung dan lupa pindahin ke draft, alhasil ketunda deh. Well, selamat menikmati ceritanya.

Bagian sebelumnya: Potongan Ketujuh.

Yang baru tahu cerita bersambung ini dan ingin mengikuti dari awal, bisa lihat di: Halaman Proyek WIDY

Terima kasih.
SHARE

Unknown

  • Image
  • Image
  • Image
  • Image
  • Image
    Blogger Comment

0 comments:

Post a Comment