HUWAHAHAHAHAHA.
Oke, itu ketawa nggak jelas hanya kalimat pembuka aja. Tadinya gue mau pake “Assalamualaikum”, tapi itu ciri khasnya si Haw. Gue nggak mau nulis begitu, takut dikira ngikutin. Halah.
Nggak terasa gue sudah menulis dan update di blog secara rutin—setiap Rabu dan Minggu selalu posting. Kalo nggak salah, hal ini dimulai dari bulan Desember. Nah, sekarang udah April aja, nggak nyangka, ya, gue bisa konsisten begini. Mungkin ini efek karena banyak waktu santainya. Kalo banyak kegiatan nggak yakin bisa serajin ini nulisnya. Hehehe.
Tapi gue bosen rasanya gini-gini aja.
Bukan, itu bukan bosen menulis ataupun untuk status hubungan, tetapi bosen sama status pengangguran. Ya, harus gue akui kalo sampai saat ini status pengangguran masih melekat di diri gue. Kalo dihitung-hitung, kira-kira sudah 6 bulan lebih gue tidak bekerja. Lama juga, ya. Namun, dalam waktu yang terhitung lumayan lama itu, gue belum juga menghasilkan apa-apa.
Menghasilkan yang gue maksud: uang, karya, dan hal bermanfaat. Hmm, uang. Uang memang tidak pernah lepas dari hidup ini. Karena semuanya butuh uang. Tapi uang tidak bisa membeli semuanya.
Uang. Sumber : Klik |
Kalo karya? Menulis di blog termasuk sebuah karya, kan?
Hal bermanfaat, berbagi cerita di tulisan katanya termasuk hal yang bermanfaat juga, ya? Oke, kalo gitu gue mau curhat aja, ah.
Beberapa bulan yang lalu, gue masih menghasilkan uang dari hasil jualan. Yoi. Jadi, waktu itu gue sempet jualan—aneka makanan ringan dan air mineral yang botol—di kampus. Lumayan, penghasilan sehari itu bisa untung 20-50 ribu. Kalo lagi pahit-pahitnya, uang 20 ribu itu bisa buat makan sekali dan isi bensin. Tapi sekarang, gue udah nggak dagang lagi. Sedih.
Itu karena gue udah memasuki semester 5, temen-temen gue hampir baru semua. Sebagai anak Manajemen, gue riset terlebih dahulu sebelum berjualan. Jadi, karena temen-temen gue masih baru dan belum terlalu kenal, kemungkinan dagangan gue laris dan bisa untung sekitar 20-50 ribu hanya 20%.
Hmm, pesimis banget itu, ya? Tapi serius, gue udah memperkirakan semuanya. Temen-temen gue yang baru kebanyakan pasti sudah membawa minum sebelum masuk ke kelas. Yang tidak membawa minum pasti jarang banget. FYI, kelas gue yang sekarang ada di lantai 8. Kalo dulu masih di lantai 5. Untuk mondar-mandir ke kantin yang di lantai 1 pasti masih kuat. Nah, kalo lantai 8? Kebanyakan pada males banget. Emang nggak ada lift, Yog? ADA! Tapi kalo naik lift selalu penuh. Nungguin lift 3 menit, pas liftnya kebuka malah penuh. Itu rasanya buang-buang waktu. Mendingan juga naik tangga, kira-kira udah sampe lantai 6 mungkin dalam waktu 3 menit. Kayak pernah ngitungin aja gue, ya? Sotoy emang si Yoga. Hehehe. Hehe. He.
Sewaktu semester kemarin, gue kadang tinggal bilang di grup kelas untuk tidak membawa minum dari rumah, dan membeli minum sama gue aja. Ambil minumnya dulu, dan bayarnya nanti aja juga nggak masalah. Secara udah kenal. Nah, kalo sekarang? Kalo gue bilang ke grup untuk beli minumnya sama gue aja, bisa-bisa mereka bilang, “Lu siapa ngatur-ngatur hidup gue? HAH?!” Ketika ada yang sudah mengambil minumnya, tetapi belum bayar, pas gue tagih takutnya mereka malah ngomong, “Gue beli di kantin tadi. Ngaku-ngaku aja lu!”
Maaf, gue tidak menuduh teman-teman gue yang sekarang itu jahat. Nggak, gue tidak ingin sejahat itu menilai mereka. Gue hanya mencoba menuliskan realita yang ada. Teman yang kita kenal baik aja kadang bisa menusuk sendiri. Seperti gebetan yang tau-tau jadian sama temen sendiri. Apalagi temen yang baru kenal? Zaman sekarang semakin keras. Udah jarang orang yang jujur. Ini gue nulis sok bijak amat. Oke, abaikan.
Soal membeli makanan, ketika gue masih sekelas sama temen-temen yang lama, yang doyan ngemil hanya yang cewek berbadan kurus dan ideal. Yang bertubuh gemuk ketika gue tawarkan dagangan pasti selalu punya alasan, “Gue lagi diet, Yog.”. Yang cowok paling sekadar bantuin temennya yang sedang kesulitan ( gue ). Sisanya cuma bisa minta aja. Mereka memang mental gratisan. Oke, ini aib temen gue umbar-umbar. Astaghfirullah. Hmm, maaf gue khilaf. Padahal, gue sendiri juga suka gratisan. Wakakakakak.
Bodo, ah. Temen gue paling nggak baca tulisan ini. Ya, namanya juga nulis. Apa yang gue resahkan rasanya pengin gue tulis semuanya. Tapi kalo di antara kalian ada yang baca, maafkan Yoga, ya. Huwahahaha. Kalo di kelas yang lama dan sudah pada kenal, anak-anaknya aja banyak yang begitu. Gimana sama yang baru?
Setelah gue meriset di kelas yang baru itu, gue belum berani dagang lagi karena nggak pengin rugi aja. Namanya juga anak Manajemen; ogah rugi. Ah, kayaknya setiap orang juga ogah rugi, ya?
Nah, mana ada orang yang mau rugi. Tapi yang namanya jualan pasti ada untung ada rugi. Setiap orang juga selalu pengin untung banyak. Dosen gue pernah membahas materi tentang keuntungan, gue lupa ini mata kuliah apa. Begini bunyinya, “Mencari keuntungan yang sebesar-besarnya.” Tapi menurut gue, mencari keuntungan yang sebesar-besarnya malah nggak laku. Gue pernah buktiin sendiri. Jadi waktu itu, gue mencoba jualan donat. Iya, donat, yang tengahnya bolong itu. (Jangan mikir ngeres, yak) Modal dari sananya 1.000 rupiah, beberapa penjual yang lain menjualnya menjadi 1.500. Mereka hanya untung 500, atau setengah dari harga aslinya. Yang berani jual nekat harganya menjadi 2.000. Jadi, kalo hanya laku sebagian saja, pedagang ini sudah balik modal. Hmm, karena menjadi pedagang itu harus nekat, dan gue mengingat kalimat “Mencari keuntungan yang sebesar-besarnya”, donat itu pun dijual dengan harga 5.000 ke temen sekelas. Temen-temen gue langsung pada protes, “Lu jualan apa mau malak?”
Gue menjawab, “Ini harga temen, Bro.” Setelah itu, munculah komentar-komentar yang lain atas harga donat yang dibilang mau malak.
“Mahal amat, Yog. Lu nganggur kenapa jadi gila?
“Lu kira ini donat jeko?”
“Mau umroh, Yog?”
Donat gue nggak laku satu pun. Apa yang salah, ya? Di mata perkuliahan diajarin begitu. Pas gue praktekin malah salah. KACAU!
Yak, semenjak saat itu, gue nggak mau lagi jualan mahal-mahal. Nyokap gue sendiri adalah pedagang, beliau sering bilang, “Ibu nggak pernah berani jual mahal-mahal. Kasihan juga sama tetangga yang pada beli, kita sama-sama orang sederhana saling mengerti susahnya nyari duit aja. Lagian, nyari untung nggak perlu banyak-banyak, yang penting berkah.”
Akhirnya, gue mengerti apa arti dari nikmatnya berjualan. Untung sedikit rasanya gue tetep bahagia, malah kadang balik modal doang. Kalo makanan sisa, gue bagiin ke temen gue. Yap, jualan bukan soal untung yang banyak, tapi tentang berkahnya. Karena rezeki juga udah ada yang ngatur. Nggak ada salahnya untuk berbagi, kan? :)
Mungkin saat ini gue belum bisa menghasilkan dan berbagi banyak hal, tetapi gue mencoba berbagi pengalaman gue dengan menulis cerita tentang mencari uang ini, siapa tau bermanfaat. Aamiinn.
Dan untuk mengakhiri posting-an yang telat ini, gue ingin bilang terima kasih kepada Nyokap yang sering ngajarin gue banyak hal. Makasih, Bu. Oke, gue bego banget bilang makasih di sini. Kayak Nyokap bakalan baca blog gue aja. Huwahahaha. Jadi, ketawa di kalimat pembuka ini karena gue merasa bego bilang makasih sama Nyokap di blog. HUWAHAHA. Bodo, ah.
Terima kasih juga para pembaca yang rela meluangkan waktu santainya untuk membaca curhatan ini. Kalian memang luar biasa. Selamat malam.
0 comments:
Post a Comment